Memaknai ‘Ibu’
Saya sempat mengeluh ketika
Panitia menyodorkan naskah-naskah lomba hanya dalam jarak beberapa jam
menjelang pengumuman pemenang. Alasan saya, bagaimana saya bisa menemukan
‘mutiara’ dalam rentang waktu kilat? Sebenarnya mudah saja jika saya memakai
metode kilat, yakni memukul naskah-naskah tersebut dari keberesan EyD. Tapi
seperti pengalaman saya sebelumnya, hampir semua peserta terjungkal pada EyD.
Masalah ini sebenarnya menggambarkan betapa buruknya pengajaran materi Bahasa
Indonesia di sekolah-sekolah. Sebab, dari kecakapan EyD itu dapat langsung
terbaca perihal kecakapan siswa dalam membaca, memaknai, untuk kemudian
(syukur-syukur) menjadi penulis sastra. Saya jadi penasaran bagaimana proses
pengajaran para guru Bahasa Indonesia dalam memberikan materi.
Tapi ternyata saya salah. Hanya dalam waktu singkat akhirnya saya mampu
menemukan ‘mutiara’ itu. Beberapa penulis muda ini ternyata mampu memaknai kata
“ibu” (sesuai tema lomba yang telah ditetapkan oleh Panitia) dengan sangat
jernih dan dalam, menampakkan bahwa daya nalar mereka jauh melampaui anak-anak
muda kebanyakan. Bahkan ada salah seorang peserta yang teknik menulisnya sudah
sangat matang, sampai-sampai saya menaruh curiga, semoga saja karya ini bukan
plagiat.
Baiklah, berikut akan saya sampaikan beberapa poin penting perihal jaring
yang saya gunakan untuk menangkap para juara menulis Lomba Menulis Cerpen Jawa
Pos Radar Kudus kali ini;
1). Dari penulisan judul. Mengapa judul itu amat penting? Sebab judul
adalah etalase tulisan yang berfungsi sebagai daya pikat pertama selain
paragraf pembuka. Judul yang romantis, yang misterius, yang lucu, atau bahkan
yang horor, akan lebih memikat pembaca ketimbang judul yang baku namun kaku. Beberapa penulis telah
berhasil melakukan itu semisal dalam ‘Selamat Hari Ibu, Mama’, ‘Surat Cinta
untuk Mama’, atau ‘Cahaya Air Mata Ibu’. Judul-judul itu terlihat cantik, tak
kaku, mengena tema sekaligus mewakili isi cerita. Coba bandingkan dengan
judul-judul garing berikut; ‘Seluas
Samudera dan Sepanjang Masa’, ‘Keramat di Dunia (Do’a Ibu)’, atau ‘Mamaku Hanya
Sebagai Status’, yang coba berlagak megah namun justru kaku dan terkesan verbal.
2). EyD. Apa sih pentingnya EyD? Pemakaian EyD yang tepat dan teliti, menandakan
bahwa penulisnya tahu betul akan kaidah kepenulisan. Saya amat takjub ketika
membaca semua karya yang disodorkan oleh Panitia, bahwa ternyata tak satu pun dari
penulis yang memiliki kecakapan EyD dalam menulis. Ini berarti menjadi tugas
ekstra bagi guru Bahasa Indonesia. Dibutuhkan kesabaran lagi jika mereka ingin
menjadi penulis yang karyanya bisa mejeng di halaman fiksi media cetak
nasional. Namun demikian, saya memberikan catatan khusus bagi sang juara
pertama lomba ini yang unggul dalam soal teknik.
Teknik yang unik, akan terasa sangat menyegarkan. Ia bisa berfungsi
sebagai pembaharu betapapun tema atau isi hampir sama atau begitu-begitu saja.
Bukankah tema selalu hanya berputar pada persoalan yang sama? Cinta kasih,
persahabatan, penipuan, kemunafikan, rasa iri, dll. Namun, teknik
bercerita/kemasan akan menjadikan cerita terkesan baru. Inilah mengapa banyak
produk penjualan yang amat mementingkan kemasan demi menipu mata, atau
memancing ketertarikan konsumen. Seperti halnya dalam karya sastra. Semacam
Koran Tempo, Redaktur Sastranya bahkan (terkesan) begitu memburu karya-karya
yang unggul dalam soal teknik bercerita.
Sekali lagi, apa sih pentingnya EyD? Redaktur Sastra media massa (koran/majalah),
seringkali akan langsung mendelete
file yang dikirimkan ke mereka saat melihat EyD yang amburadul. Cara cepat ini
digunakan para Redaktur mengingat jumlah pengirim tulisan yang bisa mencapai
ratusan karya perminggunya.
3). Isi. Nah, inilah bagian menarik. Isi, menggambarkan kematangan daya
nalar si penulis. Dalam cerpen pemenang lomba ini misalnya, segala pemaknaannya
tentang proses tumbuh kembang jiwa seorang ibu sekaligus seorang anak yang coba
memahami ibu dikemas dalam narasi yang memikat. Ia memaknai ‘ibu’ sebagai
pengawal jiwa anak, ‘rumah’ jiwa sang anak, sekaligus samudera yang siap
menampung segala hal tentang anaknya. Dengan memakai sudut pandang orang ketiga
(gaya si pemenang ini mengingatkan saya dengan
cara tutur Gao Xingjian—pemenang Nobel Sastra asal China yang gayanya mulai
digandrungi banyak penulis), ia menggambarkan sosok ibu itu. Beda dengan
pemenang kedua yang masih memakai teknik konvensional.
4). Logika dan plot cerita. Selain pemakaian gaya bahasa, logika adalah hal penting
lainnya yang kerap menjadi batu sandungan bagi penulis pemula. Dan hampir semua
cerpen yang diserahkan kepada saya itu, terjungkal pada masalah logika. Apa sih
logika cerita itu?
Dalam ilmu jurnalistik, dikenal konsep 5W+1H. Nah, dalam cerita fiksi pun
sebenarnya tetap memakai konsep itu. Mengapa si tokoh bisa begini begitu. Kapan
si tokoh melakukan ini itu dan lalu tertimpa masalah anu dan anu. Semuanya
harus tergambar dengan jelas, sehingga pembaca tak merasakan ada
kejanggalan/kekurangan dalam cerita. Dalam ‘Cahaya Air Mata Ibu’ karya Erni
Apriliyani misalnya, meskipun teknik menulis (bukan bercerita) sudah rapi,
namun ia kalah soal plot. Ceritanya terkesan kurang greget dan datar. Tak ada
kejutan untuk pembaca. Pesan cerita disampaikan secara verbal, sehingga
terkesan mendakwahi pembaca. Saya sampai kebingungan saat menentukan juara
ketiga, lantaran beberapa cerita yang tersisih itu ada yang kuat di teknik
menulis namun lemah di plot, ada yang kuat di plot namun kacau di teknik
menulis. Akhirnya saya (terpaksa) memenangkan ‘Ini Surat Untukmu’ karya M. Ulil
Albab lantaran kepiawaiannya memainkan plot.
Sebelum saya ucapkan selamat kepada para juara, ada baiknya saya
sampaikan hal ini terlebih dahulu. Tetaplah bangga terhadap hasil karya
sendiri. Jangan sampai melakukan plagiat/penjiplakan terhadap karya orang lain,
sebab hal itu sama saja dengan membohongi diri sendiri.
Selamat teruntuk:
Juara 1, Selamat Hari Ibu, Mama,
karya Nikita Reno Ruth Yuan P. anak SMK Raden Umar Said bidang grafika Kudus.
Hanya terdapat sedikit kesalahan EyD, namun dari segi teknik ia lebih unggul. Daya
nalarnya dalam mengungkapkan sosok seorang ibu yang mengawal anaknya sangat
matang. Belum lagi didukung dengan gaya
bahasa yang lumayan memadai. Teknik menulisnya juga rapi. Dengan sedikit
koreksi dan penambahan cerita demi memenuhi target jumlah karakter, cerpen ini
(menurut saya) siap dilempar ke media massa
sekelas majalah “Gadis”. Untuk Nikita, usahakan selalu memakai kamus saat
menulis.
Juara 2, Surat
Cinta untuk Mama, karya Amelia Hunda Firdausi. Saya sampai berulangkali
membacanya lantaran tak percaya dengan cerpen yang hanya tiga lembar ini
ternyata memang betul bagus. Cerpen ini berkisah tentang seorang anak yang
merindukan seorang sahabat. Ia pun menulis surat untuk sahabatnya itu, yang (tak saya
kira) ternyata adalah ibunya sendiri. Di akhir kisah, saya berhasil dikecohnya
lagi; sang ibu ternyata sudah meninggal. Yang membuat cerpen ini sangat
menyentuh adalah tiga paragraf akhir. Ia seperti berusaha menimbulkan kesadaran
bahwa ketiadaan sosok ibu merupakan sebuah penderitaan batin yang nyata. Kekosongan
meruap. Ia merindukan sosok seorang ibu yang seperti sahabat, sebuah potret
ideal tentang seorang ibu menurut kacamata Amelia. Kalimat-kalimat verbal—yang
terkesan menggurui, dimasukkannya dalam bagian ‘surat’ sehingga tak mengganggu nikmatnya
cerita. Sayangnya, ia lemah di teknik penulisan. Paragrafnya amburadul, seperti
halnya EyD yang kurang sempurna. Andai dua hal itu teratasi, mungkin saya akan
kebingungan untuk menentukan siapa juara pertama.Untuk calon penulis seperti
Amelia, ia harus banyak-banyak membaca, lantaran bakat sudah ada.
Juara 3, Ini Surat Untukmu,
karya M. Ulil Albab, anak MA. NU TBS Kudus. Seperti yang sudah saya bilang di
atas, kebingungan dalam menentukan juara ketiga menjadi masalah serius. Ada tiga judul yang
menurut saya setara lantaran memiliki kelebihan masing-masing. A) ‘Ini Surat Untukmu’;
kuat di plot, lemah di teknik penulisan. Ia saya unggulkan lantaran
kecakapannya dalam membuat ironi. Ibu yang selama ini ia agungkan, ternyata
telah berbohong perihal kematian ayah kandung si tokoh. Kejujuran sang ibu
sengaja diungkap di akhir cerita, di mana ayah kandungnya sebenarnya masih
hidup dan beliau justru adalah kyai yang menjadi pimpinan tempat ia mondok.
Sebenarnya masih banyak kelemahan logika. Tapi plotnya lumayan bisa menarik
kepenasaranan pembaca. B) ‘Cahaya Air Mata Ibu’; kuat di teknik penulisan, tapi
lemah di plot. Cerita terkesan datar. Andai penulisnya mampu memainkan emosi
Tia saat mengalami penyadaran tentang pentingnya sosok ibu, cerpen ini mungkin
bisa menggeser kedudukan pemenang ketiga. Pesan cerita juga disampaikan melalui
kalimat verbal sehingga terkesan menggurui. C) ‘Telah Kautipu Aku, Kak…’; kuat
di teknik penulisan dan plot sudah lumayan. Namun plot itu harus terjungkal
pada kelemahan logika yang fatal. Kemunafikan sosok Dayat tak ditampakkan
secara profesional, sehingga ending
cerita (yang sebenarnya sudah tak terduga) terkesan dipaksakan. Cerita ini juga
sedikit keluar dari tema yang telah dtentukan.
Selamat kepada para pemenang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar