Jumat, 03 Juli 2015

Laporan Pertanggungjawaban Lomba Cerpen Jawa Pos Radar Kudus (20 Desember 2014)



Memaknai ‘Ibu’

Saya sempat mengeluh ketika Panitia menyodorkan naskah-naskah lomba hanya dalam jarak beberapa jam menjelang pengumuman pemenang. Alasan saya, bagaimana saya bisa menemukan ‘mutiara’ dalam rentang waktu kilat? Sebenarnya mudah saja jika saya memakai metode kilat, yakni memukul naskah-naskah tersebut dari keberesan EyD. Tapi seperti pengalaman saya sebelumnya, hampir semua peserta terjungkal pada EyD. Masalah ini sebenarnya menggambarkan betapa buruknya pengajaran materi Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Sebab, dari kecakapan EyD itu dapat langsung terbaca perihal kecakapan siswa dalam membaca, memaknai, untuk kemudian (syukur-syukur) menjadi penulis sastra. Saya jadi penasaran bagaimana proses pengajaran para guru Bahasa Indonesia dalam memberikan materi.

Tapi ternyata saya salah. Hanya dalam waktu singkat akhirnya saya mampu menemukan ‘mutiara’ itu. Beberapa penulis muda ini ternyata mampu memaknai kata “ibu” (sesuai tema lomba yang telah ditetapkan oleh Panitia) dengan sangat jernih dan dalam, menampakkan bahwa daya nalar mereka jauh melampaui anak-anak muda kebanyakan. Bahkan ada salah seorang peserta yang teknik menulisnya sudah sangat matang, sampai-sampai saya menaruh curiga, semoga saja karya ini bukan plagiat.
Baiklah, berikut akan saya sampaikan beberapa poin penting perihal jaring yang saya gunakan untuk menangkap para juara menulis Lomba Menulis Cerpen Jawa Pos Radar Kudus kali ini;
1). Dari penulisan judul. Mengapa judul itu amat penting? Sebab judul adalah etalase tulisan yang berfungsi sebagai daya pikat pertama selain paragraf pembuka. Judul yang romantis, yang misterius, yang lucu, atau bahkan yang horor, akan lebih memikat pembaca ketimbang judul yang baku namun kaku. Beberapa penulis telah berhasil melakukan itu semisal dalam ‘Selamat Hari Ibu, Mama’, ‘Surat Cinta untuk Mama’, atau ‘Cahaya Air Mata Ibu’. Judul-judul itu terlihat cantik, tak kaku, mengena tema sekaligus mewakili isi cerita. Coba bandingkan dengan judul-judul garing berikut; ‘Seluas Samudera dan Sepanjang Masa’, ‘Keramat di Dunia (Do’a Ibu)’, atau ‘Mamaku Hanya Sebagai Status’, yang coba berlagak megah namun justru kaku dan terkesan verbal.
2). EyD. Apa sih pentingnya EyD? Pemakaian EyD yang tepat dan teliti, menandakan bahwa penulisnya tahu betul akan kaidah kepenulisan. Saya amat takjub ketika membaca semua karya yang disodorkan oleh Panitia, bahwa ternyata tak satu pun dari penulis yang memiliki kecakapan EyD dalam menulis. Ini berarti menjadi tugas ekstra bagi guru Bahasa Indonesia. Dibutuhkan kesabaran lagi jika mereka ingin menjadi penulis yang karyanya bisa mejeng di halaman fiksi media cetak nasional. Namun demikian, saya memberikan catatan khusus bagi sang juara pertama lomba ini yang unggul dalam soal teknik.
Teknik yang unik, akan terasa sangat menyegarkan. Ia bisa berfungsi sebagai pembaharu betapapun tema atau isi hampir sama atau begitu-begitu saja. Bukankah tema selalu hanya berputar pada persoalan yang sama? Cinta kasih, persahabatan, penipuan, kemunafikan, rasa iri, dll. Namun, teknik bercerita/kemasan akan menjadikan cerita terkesan baru. Inilah mengapa banyak produk penjualan yang amat mementingkan kemasan demi menipu mata, atau memancing ketertarikan konsumen. Seperti halnya dalam karya sastra. Semacam Koran Tempo, Redaktur Sastranya bahkan (terkesan) begitu memburu karya-karya yang unggul dalam soal teknik bercerita.
Sekali lagi, apa sih pentingnya EyD? Redaktur Sastra media massa (koran/majalah), seringkali akan langsung mendelete file yang dikirimkan ke mereka saat melihat EyD yang amburadul. Cara cepat ini digunakan para Redaktur mengingat jumlah pengirim tulisan yang bisa mencapai ratusan karya perminggunya.
3). Isi. Nah, inilah bagian menarik. Isi, menggambarkan kematangan daya nalar si penulis. Dalam cerpen pemenang lomba ini misalnya, segala pemaknaannya tentang proses tumbuh kembang jiwa seorang ibu sekaligus seorang anak yang coba memahami ibu dikemas dalam narasi yang memikat. Ia memaknai ‘ibu’ sebagai pengawal jiwa anak, ‘rumah’ jiwa sang anak, sekaligus samudera yang siap menampung segala hal tentang anaknya. Dengan memakai sudut pandang orang ketiga (gaya si pemenang ini mengingatkan saya dengan cara tutur Gao Xingjian—pemenang Nobel Sastra asal China yang gayanya mulai digandrungi banyak penulis), ia menggambarkan sosok ibu itu. Beda dengan pemenang kedua yang masih memakai teknik konvensional.
4). Logika dan plot cerita. Selain pemakaian gaya bahasa, logika adalah hal penting lainnya yang kerap menjadi batu sandungan bagi penulis pemula. Dan hampir semua cerpen yang diserahkan kepada saya itu, terjungkal pada masalah logika. Apa sih logika cerita itu?
Dalam ilmu jurnalistik, dikenal konsep 5W+1H. Nah, dalam cerita fiksi pun sebenarnya tetap memakai konsep itu. Mengapa si tokoh bisa begini begitu. Kapan si tokoh melakukan ini itu dan lalu tertimpa masalah anu dan anu. Semuanya harus tergambar dengan jelas, sehingga pembaca tak merasakan ada kejanggalan/kekurangan dalam cerita. Dalam ‘Cahaya Air Mata Ibu’ karya Erni Apriliyani misalnya, meskipun teknik menulis (bukan bercerita) sudah rapi, namun ia kalah soal plot. Ceritanya terkesan kurang greget dan datar. Tak ada kejutan untuk pembaca. Pesan cerita disampaikan secara verbal, sehingga terkesan mendakwahi pembaca. Saya sampai kebingungan saat menentukan juara ketiga, lantaran beberapa cerita yang tersisih itu ada yang kuat di teknik menulis namun lemah di plot, ada yang kuat di plot namun kacau di teknik menulis. Akhirnya saya (terpaksa) memenangkan ‘Ini Surat Untukmu’ karya M. Ulil Albab lantaran kepiawaiannya memainkan plot.
Sebelum saya ucapkan selamat kepada para juara, ada baiknya saya sampaikan hal ini terlebih dahulu. Tetaplah bangga terhadap hasil karya sendiri. Jangan sampai melakukan plagiat/penjiplakan terhadap karya orang lain, sebab hal itu sama saja dengan membohongi diri sendiri.
Selamat teruntuk:
Juara 1, Selamat Hari Ibu, Mama, karya Nikita Reno Ruth Yuan P. anak SMK Raden Umar Said bidang grafika Kudus. Hanya terdapat sedikit kesalahan EyD, namun dari segi teknik ia lebih unggul. Daya nalarnya dalam mengungkapkan sosok seorang ibu yang mengawal anaknya sangat matang. Belum lagi didukung dengan gaya bahasa yang lumayan memadai. Teknik menulisnya juga rapi. Dengan sedikit koreksi dan penambahan cerita demi memenuhi target jumlah karakter, cerpen ini (menurut saya) siap dilempar ke media massa sekelas majalah “Gadis”. Untuk Nikita, usahakan selalu memakai kamus saat menulis.
Juara 2, Surat Cinta untuk Mama, karya Amelia Hunda Firdausi. Saya sampai berulangkali membacanya lantaran tak percaya dengan cerpen yang hanya tiga lembar ini ternyata memang betul bagus. Cerpen ini berkisah tentang seorang anak yang merindukan seorang sahabat. Ia pun menulis surat untuk sahabatnya itu, yang (tak saya kira) ternyata adalah ibunya sendiri. Di akhir kisah, saya berhasil dikecohnya lagi; sang ibu ternyata sudah meninggal. Yang membuat cerpen ini sangat menyentuh adalah tiga paragraf akhir. Ia seperti berusaha menimbulkan kesadaran bahwa ketiadaan sosok ibu merupakan sebuah penderitaan batin yang nyata. Kekosongan meruap. Ia merindukan sosok seorang ibu yang seperti sahabat, sebuah potret ideal tentang seorang ibu menurut kacamata Amelia. Kalimat-kalimat verbal—yang terkesan menggurui, dimasukkannya dalam bagian ‘surat’ sehingga tak mengganggu nikmatnya cerita. Sayangnya, ia lemah di teknik penulisan. Paragrafnya amburadul, seperti halnya EyD yang kurang sempurna. Andai dua hal itu teratasi, mungkin saya akan kebingungan untuk menentukan siapa juara pertama.Untuk calon penulis seperti Amelia, ia harus banyak-banyak membaca, lantaran bakat sudah ada.
Juara 3, Ini Surat Untukmu, karya M. Ulil Albab, anak MA. NU TBS Kudus. Seperti yang sudah saya bilang di atas, kebingungan dalam menentukan juara ketiga menjadi masalah serius. Ada tiga judul yang menurut saya setara lantaran memiliki kelebihan masing-masing. A) ‘Ini Surat Untukmu’; kuat di plot, lemah di teknik penulisan. Ia saya unggulkan lantaran kecakapannya dalam membuat ironi. Ibu yang selama ini ia agungkan, ternyata telah berbohong perihal kematian ayah kandung si tokoh. Kejujuran sang ibu sengaja diungkap di akhir cerita, di mana ayah kandungnya sebenarnya masih hidup dan beliau justru adalah kyai yang menjadi pimpinan tempat ia mondok. Sebenarnya masih banyak kelemahan logika. Tapi plotnya lumayan bisa menarik kepenasaranan pembaca. B) ‘Cahaya Air Mata Ibu’; kuat di teknik penulisan, tapi lemah di plot. Cerita terkesan datar. Andai penulisnya mampu memainkan emosi Tia saat mengalami penyadaran tentang pentingnya sosok ibu, cerpen ini mungkin bisa menggeser kedudukan pemenang ketiga. Pesan cerita juga disampaikan melalui kalimat verbal sehingga terkesan menggurui. C) ‘Telah Kautipu Aku, Kak…’; kuat di teknik penulisan dan plot sudah lumayan. Namun plot itu harus terjungkal pada kelemahan logika yang fatal. Kemunafikan sosok Dayat tak ditampakkan secara profesional, sehingga ending cerita (yang sebenarnya sudah tak terduga) terkesan dipaksakan. Cerita ini juga sedikit keluar dari tema yang telah dtentukan.
Selamat kepada para pemenang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar