Senin, 29 Juni 2015

Nasib Sejumlah Kawasan di Sumatra



Nasib Sejumlah Kawasan di Sumatra




Judul Buku  :  Merobek Sumatra
Penulis        :  Fatris MF
Penerbit       : Penerbit Serambi
Cetakan       :  Pertama, Maret 2015
Tebal           :  202 halaman
ISBN           :  978-602-290-038-2


Membaca catatan perjalanan ini, Anda akan diajak untuk menyelami nasib beberapa entitas budaya Sumatra yang masih bertahan di tengah pesatnya perubahan laju zaman saat ini. Di tengah pemandangan indah yang memesona itu, ternyata ada derita manusia yang ditanggungnya, demikian tulis Fatris. Ia ingin mengajak kita menyusup jauh ke dalam denyut nadi kehidupan Pulau Sumatra, melihat dari dekat perjuangan mereka dalam mempertahankan keyakinan dan jalan hidup.
Marilah tengok ketika Fatris memotret kegelisahan Aman Lepon dan Aman Lau’lau’ ketika mengeluhkan hilangnya garis keturunan sikerei dari mereka. Sikerei, adalah seorang dukun dan penjinak bisa. Proses penobatannya memang tak gampang lantaran harus melalui sejumlah prosesi tertentu. Sekarang, zaman modern telah begitu leluasa masuk tanpa bisa dihambat. Anak-anak mereka mulai diseret arus modernisasi, beragama monoteis, berpakaian, bersekolah, mengenal tulisan, meminum Coca-cola, memakai celana jins, bahkan sudah tidak ada lagi anak muda Mentawai yang ingin tubuhnya ditato. Setelah mencicipi pendidikan di luar Mentawai, tato suku mereka sendiri mereka anggap sebagai ketololan dan primitif, catat Fatris (hal. 5). Sebagai catatan, tato merupakan identitas bagi orang Mentawai. Pada tato, terdapat pengalaman seseorang, dari klan mana ia berasal, atau sehebat apa ia berburu. Cerita ini seolah menjadi kisah sedih lanjutan sejarah eksploitasi atas hutan Mentawai yang tidak pendek. Belanda melakukannya, lalu pemerintah RI. Akhir tahun 1945, pemerintah coba menerapkan relokasi penduduk di Pulau Siberut, tapi gagal. Dilanjutkan pada 1975, masyarakat yang dianggap memiliki pola hidup primitif ini dikelompokkan dalam sebuah perkampungan baru yang dibentuk Departemen Sosial. Orang-orang Mentawai ditekan untuk pindah dari uma mereka. Namun yang terjadi kemudian justru hutan mereka dijarah. Belum lagi dengan gempuran gelombang besar arus pariwisata yang mengalir deras ke sana di era tahun 1980-an (hal. 9).
Nestapa serupa juga dialami oleh Suku Anak Dalam di pedalaman Jambi. Ketika hutan tropis berganti menjadi hutan sawit dan karet, segalanya pun dipaksa berubah. Fatris mencatat, beberapa orang dari klan mereka bahkan sudah ada yang hidup mengemis dari rumah ke rumah warga di perkampungan lantaran tak ada lagi yang bisa diambil dari hutan. Hutan kehilangan kesakralan dan roh-roh suci. Tuberkulosis dan insektisida lancang meracuni bocah-bocah yang tak berdosa (hal. 99). Membuat mereka harus terus bergerak semakin dan semakin ke pedalaman. Namun, di tengah segala kemirisan tersebut, beberapa di antara mereka justru tergila-gila dengan harta benda modern; motor dan telepon genggam yang memutar lagu-lagu pop Minang, seolah tak sadar bahwa semua itulah yang justru hendak merubah dan mencerabut mereka dari entitas budaya asli mereka sendiri.
Catatan Fatris ini terasa sekali mencabik dada lantaran informasi yang ia sajikan tak hanya melulu berdasarkan sumber-sumber pustaka terkait tempat yang ia kunjungi. Ia turut merasa senyap ketika singgah di Sawahlunto yang seperti ular yang sedang mengganti kulit. Kulit lama adalah masa silam yang bekas-bekasnya teronggok di mana-mana, sementara kulit barunya adalah warna-warni kehidupannya hari ini. Sawahlunto berubah dari kota tambang menjadi tujuan wisata. Bekas tempat penambangan batu bara terbesar itu menjadi kota prasasti kesekian tentang keserakahan manusia. Dua abad silam, setelah C. de Groot dan W. H. de Grave mengumumkan penemuannya yang mencengangkan, ratusan juta ton emas hitam di perut bumi Sawahlunto. Lowongan kerja dibuka secara besar-besaran. Kuli kontrak didatangkan dari Jawa, Bali, Madura, dan Bugis. Kota itu kemudian menciptakan tingkatan kelas yang rasial: para tuan, pialang, pedagang, pekerja paksa, hingga perempuan penghibur (hal. 142). Sejarah pun dimulai. Entitas budaya kehidupan kota tambang bertumbuh. Hingga pada 1995, bingarnya kota tambang itu perlahan mulai meredup setelah produksi batu bara Ombilin terus merosot dan tergeser oleh minyak bumi.
Catatan serta foto-foto kritis yang disajikan Fatris dalam buku ini seolah menjadi saksi laju kebudayaan yang tak bisa dihentikan. Bukankah kebudayaan adalah hal yang terus bergerak?*

(Nur Hadi, Koran Jakarta,Rabu 24 Juni 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar