Nasib Sejumlah Kawasan di Sumatra
Judul Buku : Merobek
Sumatra
Penulis :
Fatris MF
Penerbit :
Penerbit Serambi
Cetakan :
Pertama, Maret 2015
Tebal :
202 halaman
ISBN
: 978-602-290-038-2
Membaca catatan perjalanan ini, Anda akan
diajak untuk menyelami nasib beberapa entitas budaya Sumatra yang masih
bertahan di tengah pesatnya perubahan laju zaman saat ini. Di tengah
pemandangan indah yang memesona itu, ternyata ada derita manusia yang
ditanggungnya, demikian tulis Fatris. Ia ingin mengajak kita menyusup jauh ke
dalam denyut nadi kehidupan Pulau Sumatra, melihat dari dekat perjuangan mereka
dalam mempertahankan keyakinan dan jalan hidup.
Marilah
tengok ketika Fatris memotret kegelisahan Aman Lepon dan Aman Lau’lau’ ketika
mengeluhkan hilangnya garis keturunan sikerei
dari mereka. Sikerei, adalah seorang
dukun dan penjinak bisa. Proses penobatannya memang tak gampang lantaran harus
melalui sejumlah prosesi tertentu. Sekarang, zaman modern telah begitu leluasa
masuk tanpa bisa dihambat. Anak-anak mereka mulai diseret arus modernisasi,
beragama monoteis, berpakaian, bersekolah, mengenal tulisan, meminum Coca-cola,
memakai celana jins, bahkan sudah tidak ada lagi anak muda Mentawai yang ingin
tubuhnya ditato. Setelah mencicipi pendidikan di luar Mentawai, tato suku
mereka sendiri mereka anggap sebagai ketololan dan primitif, catat Fatris (hal.
5). Sebagai catatan, tato merupakan identitas bagi orang Mentawai. Pada tato,
terdapat pengalaman seseorang, dari klan mana ia berasal, atau sehebat apa ia
berburu. Cerita ini seolah menjadi kisah sedih lanjutan sejarah eksploitasi
atas hutan Mentawai yang tidak pendek. Belanda melakukannya, lalu pemerintah
RI. Akhir tahun 1945, pemerintah coba menerapkan relokasi penduduk di Pulau
Siberut, tapi gagal. Dilanjutkan pada 1975, masyarakat yang dianggap memiliki
pola hidup primitif ini dikelompokkan dalam sebuah perkampungan baru yang
dibentuk Departemen Sosial. Orang-orang Mentawai ditekan untuk pindah dari uma mereka. Namun yang terjadi kemudian
justru hutan mereka dijarah. Belum lagi dengan gempuran gelombang besar arus
pariwisata yang mengalir deras ke sana di era tahun 1980-an (hal. 9).
Nestapa
serupa juga dialami oleh Suku Anak Dalam di pedalaman Jambi. Ketika hutan tropis
berganti menjadi hutan sawit dan karet, segalanya pun dipaksa berubah. Fatris
mencatat, beberapa orang dari klan mereka bahkan sudah ada yang hidup mengemis
dari rumah ke rumah warga di perkampungan lantaran tak ada lagi yang bisa
diambil dari hutan. Hutan kehilangan kesakralan dan roh-roh suci. Tuberkulosis
dan insektisida lancang meracuni bocah-bocah yang tak berdosa (hal. 99). Membuat
mereka harus terus bergerak semakin dan semakin ke pedalaman. Namun, di tengah
segala kemirisan tersebut, beberapa di antara mereka justru tergila-gila dengan
harta benda modern; motor dan telepon genggam yang memutar lagu-lagu pop
Minang, seolah tak sadar bahwa semua itulah yang justru hendak merubah dan
mencerabut mereka dari entitas budaya asli mereka sendiri.
Catatan
Fatris ini terasa sekali mencabik dada lantaran informasi yang ia sajikan tak
hanya melulu berdasarkan sumber-sumber pustaka terkait tempat yang ia kunjungi.
Ia turut merasa senyap ketika singgah di Sawahlunto yang seperti ular yang
sedang mengganti kulit. Kulit lama adalah masa silam yang bekas-bekasnya
teronggok di mana-mana, sementara kulit barunya adalah warna-warni kehidupannya
hari ini. Sawahlunto berubah dari kota tambang menjadi tujuan wisata. Bekas
tempat penambangan batu bara terbesar itu menjadi kota prasasti kesekian
tentang keserakahan manusia. Dua abad silam, setelah C. de Groot dan W. H. de
Grave mengumumkan penemuannya yang mencengangkan, ratusan juta ton emas hitam
di perut bumi Sawahlunto. Lowongan kerja dibuka secara besar-besaran. Kuli
kontrak didatangkan dari Jawa, Bali,
Madura, dan Bugis. Kota itu kemudian menciptakan tingkatan kelas yang rasial:
para tuan, pialang, pedagang, pekerja paksa, hingga perempuan penghibur (hal.
142). Sejarah pun dimulai. Entitas budaya kehidupan kota tambang bertumbuh.
Hingga pada 1995, bingarnya kota tambang itu perlahan mulai meredup setelah
produksi batu bara Ombilin terus merosot dan tergeser oleh minyak bumi.
Catatan serta foto-foto kritis yang disajikan
Fatris dalam buku ini seolah menjadi saksi laju kebudayaan yang tak bisa
dihentikan. Bukankah kebudayaan adalah hal yang terus bergerak?*
(Nur Hadi, Koran Jakarta,Rabu 24 Juni 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar