Senin, 29 Juni 2015

Menjadi Sarjana yang Tak Gagap Dunia Kerja



Menjadi Sarjana yang Tak Gagap Dunia Kerja

 


Judul Buku  :  Jangan Kuliah Kalau Nggak Bisa Dapat Kerja!
Penulis        :  John Afifi
Penerbit       :  Penerbit Saufa
Cetakan       :  Pertama,  2015
Tebal           :  124 halaman
ISBN           :  978-602-255-876-7


Di era konseptual seperti sekarang, orang-orang berpendidikan tinggi seolah tak ada harganya. Padahal, jika dinalar secara jernih, seharusnya merekalah yang nantinya diharapkan dapat membantu membawa negara ini ke gerbang kemajuan. Namun kenyataan yang terjadi, jumlah pengangguran berpendidikan tinggi justru bertambah tiap tahun. Buku yang ditulis dengan bahasa sederhana ini akan mengajak kita untuk mengubah pola pikir terkait pendidikan agar tak merasa kecewa ketika ijazah yang telah susah payah didapat ternyata tak mampu mewujudkan segudang harapan yang tertimbun.
Ada sebuah kasus menarik yang mungkin bisa kita jadikan cerminan untuk berpikir, yakni ketika ada seorang sarjana dengan predikat kelulusan yang memuaskan namun ternyata mengalami kesulitan ketika mencari pekerjaan di tempat perusahaan-perusahaan bonafide. Sebenarnya, hal ini bersumber dari cara berpikir/pandang orangtua atau mahasiswa itu sendiri. Orangtua berpandangan bahwa kuliah di universitas terkemuka dapat menjamin masa depan yang cerah bagi anaknya. Sedangkan si anak juga berpandangan bhawa kuliah cepat dengan nilai tinggi dan predikat memuaskan dapat membuat dirinya mudah mendapatkan pekerjaan yang diidamkan (hal. 15). Mereka berpikir seolah ijazah adalah penentu masa depan bagi seorang sarjana. Apalagi hal ini didukung dengan sistem pendidikan yang telah dipakai oleh sebagian besar universitas di negeri ini selama berpuluh tahun. Para mahasiswa diarahkan untuk menjadi para pencari kerja, bukannya para pencipta lapangan pekerjaan (hal. 34).
Mari tengok analogi sederhana tentang perubahan zaman. Era agraris terjadi sebelum tahun 1942. Di era ini, mereka yang memiliki banyak peternakan dan perkebunan akan menguasai keadaan. Era industri pun kemudian menggantikannya. Mereka yang tadinya memiliki peternakan dan perkebunan besar akan tergeser posisinya oleh mereka yang memiliki pendidikan tinggi. Era ini kemudian tergeser oleh era informasi yang menganakemaskan siapa saja yang mampu mengakses informasi dengan cepat. Tapi, zaman jelas akan terus berubah. Kebutuhan instansi atau perusahaan terhadap tenaga kerja baru tidak seperti dulu lagi. Era konseptual telah terbuka pintu gerbangnya. Perusahaan cenderung membuat konsep seefektif dan seefisien mungkin, sehingga banyak tenaga kerja terdidik yang fungsinya dapat digantikan mesin. Hanya orang-orang yang kaya konseplah yang bisa diandalkan menjadi pemain. Analogi di atas memberikan gambaran kepada kita, adalah salah besar jika kita masih mempertahankan prinsip era industri (hal. 41).
Pada bagian kedua buku ini, penulis memberikan beberapa saran agar mahasiswa tak gagap terhadap perubahan tersebut. Pertama yakni mengenai pandangan baru prakuliah, yang inti dari kesemuanya adalah menemukan visi, mengetahui minat serta potensi diri sendiri, serta melihat faktor-faktor pendukung yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan tempat kuliah. Dengan begitu, seorang mahasiswa tak akan berpikir yang penting kuliah. Visi dan tujuan yang jelas akan membuatnya melakukan akselerasi demi mencapai apa yang diinginkan.
Kedua, yaitu mengenai proses menjadi mandiri serta tahan banting. Cita-cita memiliki peranan penting lantaran ia merupakan sebuah hasrat yang membuat kita mau berbuat sesuatu yang positif. Proses dalam pencapaiannya itulah yang akan membentuk karakter seorang mahasiswa, apakah ia akan mampu menumbuhkan sikap positif atau justru sebaliknya. Sikap positif akan mendorongnya untuk terus mau belajar, bekerja keras, serta memandang berbagai masalah sebagai ujian kelulusan. Sikap positif akan menuntunnya untuk terus memperkaya diri dengan hard skill serta aktif dalam berbagai kegiatan yang bertujuan mengembangkan kemampuan diri.
Ijazah memang bukan faktor penentu mutlak atas kesuksesan hidup. Namun, setidaknya bisa menjadi faktor pendukung langkah kecil seseorang dalam mencari pekerjaan serta mengembangkan kemampuan. Dengan prinsip dan sikap yang tepat, jangan sampai seorang mahasiswa menjadi gagap dengan kehidupan nyata di luar kampus.*

(Nur Hadi, Jateng Pos, Minggu 14 Juni 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar