Menjadi Sarjana yang Tak Gagap Dunia
Kerja
Judul Buku : Jangan
Kuliah Kalau Nggak Bisa Dapat Kerja!
Penulis :
John Afifi
Penerbit :
Penerbit Saufa
Cetakan :
Pertama, 2015
Tebal :
124 halaman
ISBN :
978-602-255-876-7
Di era konseptual seperti sekarang, orang-orang
berpendidikan tinggi seolah tak ada harganya. Padahal, jika dinalar secara
jernih, seharusnya merekalah yang nantinya diharapkan dapat membantu membawa
negara ini ke gerbang kemajuan. Namun kenyataan yang terjadi, jumlah
pengangguran berpendidikan tinggi justru bertambah tiap tahun. Buku yang
ditulis dengan bahasa sederhana ini akan mengajak kita untuk mengubah pola
pikir terkait pendidikan agar tak merasa kecewa ketika ijazah yang telah susah
payah didapat ternyata tak mampu mewujudkan segudang harapan yang tertimbun.
Ada
sebuah kasus menarik yang mungkin bisa kita jadikan cerminan untuk berpikir,
yakni ketika ada seorang sarjana dengan predikat kelulusan yang memuaskan namun
ternyata mengalami kesulitan ketika mencari pekerjaan di tempat
perusahaan-perusahaan bonafide. Sebenarnya, hal ini bersumber dari cara
berpikir/pandang orangtua atau mahasiswa itu sendiri. Orangtua berpandangan
bahwa kuliah di universitas terkemuka dapat menjamin masa depan yang cerah bagi
anaknya. Sedangkan si anak juga berpandangan bhawa kuliah cepat dengan nilai
tinggi dan predikat memuaskan dapat membuat dirinya mudah mendapatkan pekerjaan
yang diidamkan (hal. 15). Mereka berpikir seolah ijazah adalah penentu masa
depan bagi seorang sarjana. Apalagi hal ini didukung dengan sistem pendidikan
yang telah dipakai oleh sebagian besar universitas di negeri ini selama
berpuluh tahun. Para mahasiswa diarahkan untuk
menjadi para pencari kerja, bukannya para pencipta lapangan pekerjaan (hal.
34).
Mari tengok analogi sederhana tentang perubahan
zaman. Era agraris terjadi sebelum tahun 1942. Di era ini, mereka yang memiliki
banyak peternakan dan perkebunan akan menguasai keadaan. Era industri pun
kemudian menggantikannya. Mereka yang tadinya memiliki peternakan dan
perkebunan besar akan tergeser posisinya oleh mereka yang memiliki pendidikan
tinggi. Era ini kemudian tergeser oleh era informasi yang menganakemaskan siapa
saja yang mampu mengakses informasi dengan cepat. Tapi, zaman jelas akan terus berubah.
Kebutuhan instansi atau perusahaan terhadap tenaga kerja baru tidak seperti
dulu lagi. Era konseptual telah terbuka pintu gerbangnya. Perusahaan cenderung
membuat konsep seefektif dan seefisien mungkin, sehingga banyak tenaga kerja
terdidik yang fungsinya dapat digantikan mesin. Hanya orang-orang yang kaya
konseplah yang bisa diandalkan menjadi pemain. Analogi di atas memberikan
gambaran kepada kita, adalah salah besar jika kita masih mempertahankan prinsip
era industri (hal. 41).
Pada bagian kedua buku ini, penulis memberikan
beberapa saran agar mahasiswa tak gagap terhadap perubahan tersebut. Pertama
yakni mengenai pandangan baru prakuliah, yang inti dari kesemuanya adalah menemukan
visi, mengetahui minat serta potensi diri sendiri, serta melihat faktor-faktor
pendukung yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan
tempat kuliah. Dengan begitu, seorang mahasiswa tak akan berpikir yang penting
kuliah. Visi dan tujuan yang jelas akan membuatnya melakukan akselerasi demi
mencapai apa yang diinginkan.
Kedua, yaitu mengenai proses menjadi mandiri serta
tahan banting. Cita-cita memiliki peranan penting lantaran ia merupakan sebuah
hasrat yang membuat kita mau berbuat sesuatu yang positif. Proses dalam
pencapaiannya itulah yang akan membentuk karakter seorang mahasiswa, apakah ia
akan mampu menumbuhkan sikap positif atau justru sebaliknya. Sikap positif akan
mendorongnya untuk terus mau belajar, bekerja keras, serta memandang berbagai
masalah sebagai ujian kelulusan. Sikap positif akan menuntunnya untuk terus
memperkaya diri dengan hard skill
serta aktif dalam berbagai kegiatan yang bertujuan mengembangkan kemampuan
diri.
Ijazah memang bukan faktor penentu mutlak atas
kesuksesan hidup. Namun, setidaknya bisa menjadi faktor pendukung langkah kecil
seseorang dalam mencari pekerjaan serta mengembangkan kemampuan. Dengan prinsip
dan sikap yang tepat, jangan sampai seorang mahasiswa menjadi gagap dengan
kehidupan nyata di luar kampus.*
(Nur Hadi, Jateng Pos, Minggu 14 Juni 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar