Sabtu, 06 Juni 2015

Makna Sastra di Mata Para Maestro


Makna Sastra di Mata Para Maestro
(Versi 1)



Judul Buku  : Menggali Sumur dengan Ujung Jarum
Penerjemah  : Tia Setiadi
Penerbit       :  Penerbit DIVA Press
Cetakan       :  Pertama, April 2015
Tebal           :  208 halaman
ISBN           :  978-602-255-852-1


Apa sih yang menarik dari sastra? Bagaimana jika pertanyaan itu dilemparkan kepada para kampiunnya? Kata Orhan Pamuk, rahasia penulis sebenarnya bukanlah inspirasi—sebab tak jelas betul dari mana gerangan datangnya—melainkan kekeraskepalaan dan kesabarannya (hal. 147). Keras kepala dalam menekuni apa yang hendak diceritakan serta kesabarannya dalam menggali apa yang hendak ia suguhkan kepada pembaca. Ketika Pamuk memilih jalur sastra, ia telah memiliki banyak alasan untuk menulis. Bukan hanya lantaran menyukai bau kertas dan tinta, tapi ia telah menemukan gairah dan kebahagiaan di sana. Ia tak ingin dunia melupakannya. Ia marah kapada apa-apa yang tak sesuai dengan pandangan pribadi. Dan untuk meluapkan itu, ia telah menemukan kepercayaan terhadap sastra untuk menampungnya, lebih dari kepercayaannya pada yang lain.
Pun dengan kebutaan yang dialami Jorge Luis Borges, kebutaan tak dianggap sebagai musibah, namun justru sebagai hadiah. Kebutaan memberinya Anglo-Saxon, memberinya sastra Skandinavia, memberinya pengetahuan tentang sastra Abad Pertengahan yang sebelumnya ia abaikan, dan terutama mengenalkannya pada pelbagai karya yang baik atau buruk. Borges bilang, karena ia telah kehilangan dunia yang tampak, maka ia harus menciptakan suatu dunia yang lain (hal. 99). Ia tak memperkenankan kebutaan mengintimidasi kemerdekaannya. Seorang penulis, mesti percaya bahwa apa pun yang terjadi padanya merupakan sebuah instrumen demi suatu tujuan. Segala sesuatu yang terjadi, termasuk penghinaan, rasa malu, kemalangan, justru bagaikan lempung, ibarat bahan untuk karya seninya. Jikalau seorang buta berpikir dengan cara demikian, maka selamatlah dia.
Sementara Naguib Mahfouz menganggap sastra sebagai optimisme atas kelamnya masa lampau. Dengan kerendahhatian ia berharap sastra akan mampu menghapus pengeksploitasian atas pihak tertentu. Sastra dapat menjadi jalan lain untuk menghidupkan nilai-nilai moral, cita-cita, dan kebijakan yang disia-siakan, serta dapat mengubah cara-cara tak etis, kebohongan, penipuan, pengkhianatan (hal. 176). Meminjam pepatah Turki yang disitir menjadi judul buku ini ‘menggali sumur dengan sebuah jarum’, dengan sastra sebenarnya kita bisa menembus ke yang paling terdalam dari ragam makna kehidupan.*

(Nur Hadi, Solopos, Minggu 25 Mei 2015) 


Menggali Kedalaman Sastra dari Para Maestro
(Versi ke 2)


Senyawa dengan pepatah Turki yang disitir Orhan Pamuk dalam pidato Nobelnya, buku ini ingin mengajak kita untuk ‘menggali sumur dengan sebuah jarum’. Kata Pamuk, rahasia penulis sebenarnya bukanlah inspirasi—sebab tak jelas betul dari mana gerangan datangnya—melainkan kekeraskepalaan dan kesabarannya (hal. 147). Keras kepala dalam menekuni apa yang hendak diceritakan serta kesabarannya dalam menggali dan terus menggali apa yang hendak ia suguhkan kepada pembaca.
Ketika Pamuk memilih jalur sastra, ia telah memiliki banyak alasan untuk menulis. Bukan hanya lantaran menyukai bau kertas dan tinta, tapi ia juga telah menemukan gairah dan kebahagiaan di sana. Ia tak ingin dunia melupakannya begitu saja. Ia marah kapada apa-apa yang tak sesuai dengan pandangan pribadi. Dan untuk meluapkan amarahnya itu, ia telah menemukan kepercayaan terhadap sastra untuk menampungnya, lebih dari kepercayaannya pada yang lain. Sosok sang ayah yang diam-diam jatuh hati dengan sastra tampaknya memberikan pengaruh besar kepada peraih Nobel Sastra 2006 ini. Lelaki itu telah mewariskan sebuah koper berisikan catatan-catatan perjalanan (ayah Pamuk adalah seorang pengusaha) dengan sudut pandang yang mengesankan mengingatkan dengan cara para penulis besar dunia dalam memandang perubahan di sekelilingnya. Ini pun kemudian bisa kita baca pada cerpen “Kerabat Jauh Seorang Pemuda Membeli Dompet untuk Tunangannya”, yakni ketika muda-mudi Turki mulai terkontaminasi dengan apa yang disebut pergaulan ‘bebas dan modern’ (hal.66).
Naguib Mahfouz, penerima Nobel Sastra 1988, yang merasa lahir dari dua peradaban juga menyatakan bahwa seharusnya sastra bisa menjadikan Dunia Maju dengan Dunia Ketiga satu keluarga. Setiap manusia menanggung kewajiban dengan tingkat apa yang peroleh dari pengetahuan, kebijaksanaan, dan peradaban. Kita mesti turut serta melakukan tindakan mulia sesuai status kita, dengan sastra yang berperan sebagai mata yang membuka kesadaran setiap jiwa (hal. 176).
Pun dengan kebutaan yang dialami Jorge Luis Borges, ternyata justru bisa menjadi heroisme yang mengharukan. Kebutaan tak dianggap sebagai musibah, namun justru sebagai hadiah. Kebutaan memberinya Anglo-Saxon, memberinya sastra Skandinavia,  memberinya pengetahuan tentang sastra Abad Pertengahan yang sebelumnya ia abaikan, dan terutama mengenalkannya pada pelbagai karya yang baik atau buruk. Borges bilang, karena ia telah kehilangan dunia yang tampak, maka ia harus menciptakan suatu dunia yang lain (hal. 99). Di sanalah ia justru mulai menemukan dunia para nenek moyangnya yang jauh, sekelompok suku bangsa yang mendayung menyeberangi laut-laut utara yang berbadai, dari Jerman, Denmark, dan Low Countries. Ia tak memperkenankan kebutaan mengintimidasi kemerdekaannya. Seorang penulis, mesti percaya bahwa apa pun yang terjadi padanya merupakan sebuah instrumen demi suatu tujuan. Segala sesuatu yang terjadi, termasuk penghinaan, rasa malu, kemalangan, justru bagaikan lempung, ibarat bahan untuk karya seninya. Semua terjadi untuk ditransformasi dari keadaan nestapa menjadi suatu dunia lain yang kekal. Jikalau seorang buta berpikir dengan cara demikian, maka selamatlah dia.
Ketika menulis, Borges tak memikirkan tentang pembaca (sebab pembaca adalah karakter imajiner), ia juga tak memikirkan dirinya sendiri. Tapi ia justru berpikir tentang apa yang sedang ia bawa dan bangun semampunya untuk tak merusaknya (dalam tulisan). Hampir senada dengan keinginan Seamus Heaney, penerima Nobel Sastra 1995. Di pertengahan tahun 1970-an, ketika keluarga kecilnya menempati Co. Wicklow selatan Dublin, dengan suasana yang riuh oleh berita-berita pengeboman IRA di Belfast, serangan-serangan di Dublin oleh para militer loyalis dari utara, serta kabar buruk mengenai penangkapan kawan-kawannya yang dicurigai terlibat pembunuhan berbau politik, membuatnya merasa tertantang namun tetap teguh dalam statusnya sebagai yang tak terlibat perang. Apa yang ia damba bukanlah stabilitas yang anteng, melainkan pelarian aktif dari batu apung relativisme, lantaran itu adalah cara terbaik menghargai puisi dengan tanpa kecemasan atau apologi. Begitu.*



(Nur Hadi, Lampung Post, Minggu 2 Agustus 2015)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar