Senin, 23 Februari 2015

Pohon Keramat



Pohon Keramat




Tubuhku gigil. Kaki tak bisa kuangkat. Aku bahkan terkencing-kencing saat kelima pohon itu mengaum dan mengobrak-abrik seisi desa. Rumah-rumah dipukulnya dengan dahan-dahannya yang besar, yang menyerupai tangan. Kelima pohon itu memaksa semua orang keluar dari sarang. Mereka bilang akan menghukum semua warga desa karena telah melanggar pantangan.
Aku menjerit ketika salah satu di antara mereka datang menghampiri. Kepanikan semakin menjadi saat kedua kakiku tak juga bisa digerakkan.

“Aku tidak pernah melanggar. Aku anak baik-baik. Tolong jangan hukum aku!”
Pohon itu menggereng. Kedua matanya yang cekung menatap tajam seolah tidak percaya dengan apa yang barusan kuteriakkan.
Emak ngedumel ketika akhirnya aku terbangun dari mimpi itu. Pasalnya aku sudah kelas enam. Aku baru saja ngompol. Dan itu berarti pekerjaan Emak akan bertambah hari ini.
*             *          *

Aku masih merasa tak enak badan ketika Tri, Taha, dan Sobro, menghampiri di teras rumah.
“Mancing yuk, ke Wadhang,” ujar Tri. Maksudnya tanggul Wadhang.
Mimpi buruk itu seketika melintas lagi. Aku pun melontarkan alasan agar bisa urung, “Kata Kakek, sebenarnya tempat itu angker, keramat.”
“Cerita apa kakekmu?” tanya Tri.
Baru empat hari lalu Kakek meninggal. Kata orang-orang, selama belum genap tujuh hari selamatan, roh Kakek akan masih pulang ke rumah sekadar melihat apa yang dilakukan anak cucunya. Dan aku merasa, sepertinya Kakek masih meniupkan cerita-ceritanya ke liang telingaku.
“Sewaktu beliau belum sakit, beliau pernah cerita…”
Tentang lima orang penyamun yang suka merampok orang-orang yang lewat di hutan lereng Gunung Muria. Tanpa mereka tahu, di suatu hari, yang mereka hadang sebenarnya adalah seorang wali. Meski penampilannya adalah seorang lelaki sepuh, namun pakaiannya rapi dengan tongkat yang pucuknya berkilau bersepuh emas. Lelaki sepuh itu bilang hendak menjenguk anaknya.
Mengetahui bahwa kelima orang yang menghadangnya itu adalah para hantu penyebar keresahan di kawasan itu, lelaki sepuh pun kemudian mengajukan persyaratan ketika ditantang berduel. Saat itu, kelima begal itu telah benar-benar terbakar amarah karena tak mampu meringkus lelaki yang umurnya jauh di atas mereka. Lelaki sepuh itu seolah mampu merubah dirinya menjadi bayang-bayang.
Kelima begal itu pun akhirnya menyadari bahwa yang dihadapinya kali ini bukanlah orang biasa. Satu per satu dari mereka lalu menyatakan tobat.
Namun lelaki sepuh itu tak begitu saja menerima penyerahan diri itu. Mereka harus diuji dulu dengan perbuatan. Setelah kelima begal itu manyatakan kesanggupannya, lelaki sepuh itu pun menancapkan tongkatnya ke tanah. Beliau lalu menyuruh mereka untuk menunggui tongkat itu sampai batas waktu beliau kembali dari menjenguk anaknya.
Kelima begal itu gembira alang kepalang dengan keringanan hukuman yang diberikan. Namun siapa sangka, hingga hari berganti ternyata lelaki sepuh itu tak juga kembali untuk mengambil tongkat emas yang telah berubah menjadi kayu biasa itu. Prasangka buruk pun jadi tumbuh dalam kepala mereka.
Karena tak tahan, salah seorang di antara mereka mengusulkan diri untuk menengok lelaki sepuh di rumah anaknya guna mengingatkan janjinya. Kelima begal itu sudah tahu, bahwa anak lelaki sepuh yang mereka duga seorang wali itu adalah seorang lelaki baik hati yang mengabdikan diri kepada penduduk di sebuah desa tak jauh dari puncak Gunung Muria. Hampir semua orang di kawasan lereng Gunung Muria tahu letak rumah lelaki budiman itu, termasuk juga si kelima begal.
Namun keempat begal lainnya tak menyetujui usul tersebut. Mereka tak yakin bahwa salah seorang kawannya itu akan benar-benar pergi menengok lelaki sepuh di rumah anaknya. Mereka curiga bahwa itu hanyalah akal bulus saja untuk melarikan diri dari hukuman. Maka kemudian diputuskan kelima-limanya akan bersama-sama menengok lelaki sepuh guna mengingatkan janjinya.
Ternyata, baru beberapa langkah kelima begal itu meninggalkan tongkat lelaki sepuh, tiba-tiba saja dari arah belakang terdengar suara yang amat mereka kenal. Ya, suara lelaki sepuh itu!
“…Kalian ini sepertinya harus menjadi pohon dulu baru kuat menjalani hukuman. Begitulah cerita Kakek,” ujarku. “Kata Kakek, dosa-dosa kelima begal itu hanya setimpal jika ditebus dengan mengorbankan diri mereka untuk melindungi kawasan sini.”
“Alaah… bohong. Mana ada manusia bisa berubah pohon? Cerita semacam itu cuma ada dalam dongeng,” tukas Tri.
“Tapi bisa saja benar kan? Apa kalian tidak pernah memerhatikan pohon-pohon itu dengan saksama? Ada yang batangnya memang menyerupai wajah manusia. Wajah yang terlihat bersedih. Juga akar-akarnya, mirip seperti kaki-kaki yang saling mengait. Seolah pohon yang satu tidak akan membiarkan pohon yang lain melarikan diri dari tempat itu,” ujar Sobro. Aku yang tadinya tidak ingin melihat lagi pohon-pohon itu, akhirnya malah terbebat penasaran.
“Cis, lihat, kalau benar mereka manusia, pasti bokongku sudah ditendang,” dengan kurang ajarnya Tri membuka jendela celana pendeknya ketika sampai di kaki-kaki kelima pohon raksasa itu. Ia mengencinginya! Membuat Sobro geleng-geleng kepala, Taha tertawa ngakak, dan aku harus membuang muka saat mengambil beberapa sajen[1] yang masih berjajar di sekitaran kaki-kaki pohon itu.
 “Kalau enggak percaya ya sudah. Tapi kakekku dulu juga pernah cerita. Semasa mudanya, banyak orang kerap melihat lelaki tua berjubah putih yang berdiri di antara kelima pohon ini,” Sobro melempar kailnya. Sungai yang berada di kaki-kaki pohon ini tak pernah mengering, meski di puncak kemarau sekalipun. Ikan-ikannya juga paling banyak dibanding di bagian sungai yang lain. Kata orang-orang, ada sumber air yang memancar di salah satu bawah akarnya. Aku jadi berpikir bahwa itu adalah bekas tongkat lelaki sepuh itu.
Leherku meremang. Taha langsung tak bersuara lagi. Hanya Tri yang tersenyum-senyum sendiri, namun tanpa membantah. Mungkin dia juga pernah mendengar tentang cerita itu.
Kami kemudian hening dalam pikiran masing-masing. Suasana yang ada bukan lagi seperti bersantai. Mataku bahkan tak bisa menahan rasa penasaran itu, mencuri-curi pandang berganti-ganti memerhatikan kelima pohon entah yang menjulang di kanan kiri kami; kulit keriputnya yang memberitahukan tentang usia, mencari tahu letak persis wajah mereka, juga membayangkan perseteruan sengit di antara mereka yang masih berlangsung hingga kini. Akar-akarnya.
Kami memang tidak pernah tahu jenis apa sebenarnya pohon itu. Konon mereka hanya ada di kawasan ini.
*             *          *

Hari berikutnya aku demam tinggi sampai tak masuk sekolah. Kelima pohon yang mengamuk itu kerap datang dalam mimpiku. Emaklah yang paling ribut. Mengomeliku habis-habisan, berusaha membuatku berjanji tak akan menyambangi pohon keramat itu lagi. Emak juga mengolesi dahi, dada, tangan, dan kakiku dengan sawanan[2] yang katanya juga ditambahi dengan tanah tempat pohon keramat tumbuh. Katanya, agar demam dan mimpi-mimpi burukku lekas mengendap. Kemudian dari Sobro aku tahu, ternyata Tri juga mengalami hal yang sama!
“Kelima pohon itu mengamuk. Desa-desa di hilir sungai dirusaknya habis-habisan. Banyak orang yang mengungsi ke tempat lain,” cerita Sobro tentang mimpi Tri. Katanya, Tri mulai sedikit percaya dengan keangkeran pohon Jelata.
Emak menyuruhku melupakan mimpi-mimpi itu. Aku dilarang ngomong tentang segala hal yang berkaitan dengan kelima pohon keramat itu. Padahal, mereka para orang tua, kerap ngomong bahwa mimpi selalu memiliki arti. Kenapa mimpi anak-anak seolah harus diabaikan?
Beberapa hari kemudian terdengar kabar bahwa kelima pohon keramat itu akan ditebang oleh orang-orang yang katanya akan mendirikan sebuah tower telepon seluler di desaku. Kelima pohon keramat itu menghalangi kabel-kabel yang sudah ditarik garis lurus dari tower satu ke yang lainnya, juga agar sinyal telepon seluler menjadi lebih baik di kawasan sini. Katanya, beberapa orang tidak menyetujuinya dengan alasan takut kekeramatannya bisa mendatangkan bala. Sementara ada beberapa warga desa lainnya yang justru mendukung rencana itu dan mengusulkan uangnya dibagi rata saja.
Perseteruan pun terjadi. Katanya benar-benar sampai terjadi permusuhan di antara sesama warga. Dari cerita Emak kemudian aku tahu pohon itu akhirnya berhasil dilelang oleh pihak pembangun tower dengan harga yang lumayan. Separuh dari uang itu dimasukkan ke kas desa dan kas pembangunan masjid. Dari cerita Bapak, konon itu siasatnya orang-orang yang mendapatkan jatah demi menyumpal mulut orang-orang yang tidak menyetujui penebangan pohon-pohon itu.
Ketika beberapa bulan kemudian tidak terjadi musibah apapun, orang-orang yang dulu menyetujui penebangan itu sering mengejek mereka yang dulu takut-takut dengan kekeramatan pohon itu. Mereka senang mengolok-olok dengan menunjukkan bukti bahwa di daerah hulu, pohon-pohon yang membuat sungai jadi terlihat angker sudah ditebangi demi kenyamanan lingkungan.  Untunglah bapakku bukan termasuk orang yang setuju dan bukan pula orang yang tak setuju.
Tapi beberapa bulan kemudian, sawah-sawah yang terletak di sekitar kelima pohon keramat itu kini mengalami ancaman erosi. Musim penghujan lalu, banjir berhasil memporandakan semua padi di sana. Tanggul yang membatasi sungai dengan sawah  sempat jebol. Hingga kini, pihak pemilik tower masih dilobi untuk turut menyumbang rencana pembangunan tanggul permanen sepanjang satu kilometeran. Itupun jika tanggul di desa hilir sungai tidak mengalami kerusakan pula. Dari yang kudengar, tanggul mereka juga mulai keropos tergerus air saat penghujan kemarin.
Sungai itu  kini juga sudah tidak lagi menjadi tempat main yang asyik. Airnya hanya melimpah saat penghujan. Tak ada lagi ikan untuk dipancing saat kemarau. Seperti ada cerita yang turut hilang.*****

Kalinyamatan – Jepara, 2013.


(Dimuat Majalah BASIS, edisi 9-10, tahun 63, September 2014)
ilustrasi; pinterest 


[1] Sesajen, semacam persembahan kecil yang diberikan para pemilik hajat(nikahan, khitanan, dsb) kepada tempat-tempat yang dianggap wingit/keramat.
[2] Ramuan yang terdiri dari beberapa tetanaman obat dan bahan-bahan lain yang biasanya berhubungan dengan tempat/keadaan yang membuat sakit/kesurupan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar