Pohon Keramat
Tubuhku gigil. Kaki tak bisa kuangkat. Aku bahkan terkencing-kencing saat
kelima pohon itu mengaum dan mengobrak-abrik seisi desa. Rumah-rumah dipukulnya
dengan dahan-dahannya yang besar, yang menyerupai tangan. Kelima pohon itu
memaksa semua orang keluar dari sarang. Mereka bilang akan menghukum semua
warga desa karena telah melanggar pantangan.
Aku menjerit ketika salah satu di antara mereka datang menghampiri.
Kepanikan semakin menjadi saat kedua kakiku tak juga bisa digerakkan.
“Aku tidak pernah melanggar. Aku anak baik-baik. Tolong jangan hukum
aku!”
Pohon itu menggereng. Kedua matanya yang cekung menatap tajam seolah
tidak percaya dengan apa yang barusan kuteriakkan.
Emak ngedumel ketika akhirnya aku terbangun dari mimpi itu. Pasalnya aku
sudah kelas enam. Aku baru saja ngompol. Dan itu berarti pekerjaan Emak akan
bertambah hari ini.
* * *
Aku masih merasa tak enak badan ketika Tri, Taha, dan Sobro, menghampiri
di teras rumah.
“Mancing yuk, ke Wadhang,” ujar Tri. Maksudnya tanggul Wadhang.
Mimpi buruk itu seketika melintas lagi. Aku pun melontarkan alasan agar
bisa urung, “Kata Kakek, sebenarnya tempat itu angker, keramat.”
“Cerita apa kakekmu?” tanya Tri.
Baru empat hari lalu Kakek meninggal. Kata orang-orang, selama belum
genap tujuh hari selamatan, roh Kakek akan masih pulang ke rumah sekadar
melihat apa yang dilakukan anak cucunya. Dan aku merasa, sepertinya Kakek masih
meniupkan cerita-ceritanya ke liang telingaku.
“Sewaktu beliau belum sakit, beliau pernah cerita…”
Tentang lima
orang penyamun yang suka merampok orang-orang yang lewat di hutan lereng Gunung
Muria. Tanpa mereka tahu, di suatu hari, yang mereka hadang sebenarnya adalah
seorang wali. Meski penampilannya adalah seorang lelaki sepuh, namun pakaiannya
rapi dengan tongkat yang pucuknya berkilau bersepuh emas. Lelaki sepuh itu
bilang hendak menjenguk anaknya.
Mengetahui bahwa kelima orang yang menghadangnya itu adalah para hantu
penyebar keresahan di kawasan itu, lelaki sepuh pun kemudian mengajukan persyaratan
ketika ditantang berduel. Saat itu, kelima begal itu telah benar-benar terbakar
amarah karena tak mampu meringkus lelaki yang umurnya jauh di atas mereka.
Lelaki sepuh itu seolah mampu merubah dirinya menjadi bayang-bayang.
Kelima begal itu pun akhirnya menyadari bahwa yang dihadapinya kali ini
bukanlah orang biasa. Satu per satu dari mereka lalu menyatakan tobat.
Namun lelaki sepuh itu tak begitu saja menerima penyerahan diri itu.
Mereka harus diuji dulu dengan perbuatan. Setelah kelima begal itu manyatakan
kesanggupannya, lelaki sepuh itu pun menancapkan tongkatnya ke tanah. Beliau
lalu menyuruh mereka untuk menunggui tongkat itu sampai batas waktu beliau
kembali dari menjenguk anaknya.
Kelima begal itu gembira alang kepalang dengan keringanan hukuman yang
diberikan. Namun siapa sangka, hingga hari berganti ternyata lelaki sepuh itu
tak juga kembali untuk mengambil tongkat emas yang telah berubah menjadi kayu
biasa itu. Prasangka buruk pun jadi tumbuh dalam kepala mereka.
Karena tak tahan, salah seorang di antara mereka mengusulkan diri untuk
menengok lelaki sepuh di rumah anaknya guna mengingatkan janjinya. Kelima begal
itu sudah tahu, bahwa anak lelaki sepuh yang mereka duga seorang wali itu
adalah seorang lelaki baik hati yang mengabdikan diri kepada penduduk di sebuah
desa tak jauh dari puncak Gunung Muria. Hampir semua orang di kawasan lereng
Gunung Muria tahu letak rumah lelaki budiman itu, termasuk juga si kelima
begal.
Namun keempat begal lainnya tak menyetujui usul tersebut. Mereka tak
yakin bahwa salah seorang kawannya itu akan benar-benar pergi menengok lelaki
sepuh di rumah anaknya. Mereka curiga bahwa itu hanyalah akal bulus saja untuk
melarikan diri dari hukuman. Maka kemudian diputuskan kelima-limanya akan
bersama-sama menengok lelaki sepuh guna mengingatkan janjinya.
Ternyata, baru beberapa langkah kelima begal itu meninggalkan tongkat
lelaki sepuh, tiba-tiba saja dari arah belakang terdengar suara yang amat
mereka kenal. Ya, suara lelaki sepuh itu!
“…Kalian ini sepertinya harus menjadi pohon dulu baru kuat menjalani
hukuman. Begitulah cerita Kakek,” ujarku. “Kata Kakek, dosa-dosa kelima begal
itu hanya setimpal jika ditebus dengan mengorbankan diri mereka untuk
melindungi kawasan sini.”
“Alaah… bohong. Mana ada manusia bisa berubah pohon? Cerita semacam itu
cuma ada dalam dongeng,” tukas Tri.
“Tapi bisa saja benar kan?
Apa kalian tidak pernah memerhatikan pohon-pohon itu dengan saksama? Ada yang batangnya memang
menyerupai wajah manusia. Wajah yang terlihat bersedih. Juga akar-akarnya, mirip
seperti kaki-kaki yang saling mengait. Seolah pohon yang satu tidak akan
membiarkan pohon yang lain melarikan diri dari tempat itu,” ujar Sobro. Aku
yang tadinya tidak ingin melihat lagi pohon-pohon itu, akhirnya malah terbebat
penasaran.
“Cis, lihat, kalau benar mereka manusia, pasti bokongku sudah ditendang,”
dengan kurang ajarnya Tri membuka jendela celana pendeknya ketika sampai di
kaki-kaki kelima pohon raksasa itu. Ia mengencinginya! Membuat Sobro
geleng-geleng kepala, Taha tertawa ngakak, dan aku harus membuang muka saat
mengambil beberapa sajen[1]
yang masih berjajar di sekitaran kaki-kaki pohon itu.
“Kalau enggak percaya ya sudah.
Tapi kakekku dulu juga pernah cerita. Semasa mudanya, banyak orang kerap
melihat lelaki tua berjubah putih yang berdiri di antara kelima pohon ini,”
Sobro melempar kailnya. Sungai yang berada di kaki-kaki pohon ini tak pernah mengering,
meski di puncak kemarau sekalipun. Ikan-ikannya juga paling banyak dibanding di
bagian sungai yang lain. Kata orang-orang, ada sumber air yang memancar di
salah satu bawah akarnya. Aku jadi berpikir bahwa itu adalah bekas tongkat
lelaki sepuh itu.
Leherku meremang. Taha langsung tak bersuara lagi. Hanya Tri yang
tersenyum-senyum sendiri, namun tanpa membantah. Mungkin dia juga pernah mendengar
tentang cerita itu.
Kami kemudian hening dalam pikiran masing-masing. Suasana yang ada bukan
lagi seperti bersantai. Mataku bahkan tak bisa menahan rasa penasaran itu,
mencuri-curi pandang berganti-ganti memerhatikan kelima pohon entah yang
menjulang di kanan kiri kami; kulit keriputnya yang memberitahukan tentang
usia, mencari tahu letak persis wajah mereka, juga membayangkan perseteruan
sengit di antara mereka yang masih berlangsung hingga kini. Akar-akarnya.
Kami memang tidak pernah tahu jenis apa sebenarnya pohon itu. Konon
mereka hanya ada di kawasan ini.
* * *
Hari berikutnya aku demam tinggi sampai tak masuk sekolah. Kelima pohon
yang mengamuk itu kerap datang dalam mimpiku. Emaklah yang paling ribut.
Mengomeliku habis-habisan, berusaha membuatku berjanji tak akan menyambangi
pohon keramat itu lagi. Emak juga mengolesi dahi, dada, tangan, dan kakiku
dengan sawanan[2]
yang katanya juga ditambahi dengan tanah tempat pohon keramat tumbuh. Katanya,
agar demam dan mimpi-mimpi burukku lekas mengendap. Kemudian dari Sobro aku
tahu, ternyata Tri juga mengalami hal yang sama!
“Kelima pohon itu mengamuk. Desa-desa di hilir sungai dirusaknya
habis-habisan. Banyak orang yang mengungsi ke tempat lain,” cerita Sobro
tentang mimpi Tri. Katanya, Tri mulai sedikit percaya dengan keangkeran pohon
Jelata.
Emak menyuruhku melupakan mimpi-mimpi itu. Aku dilarang ngomong tentang
segala hal yang berkaitan dengan kelima pohon keramat itu. Padahal, mereka para
orang tua, kerap ngomong bahwa mimpi selalu memiliki arti. Kenapa mimpi
anak-anak seolah harus diabaikan?
Beberapa hari kemudian terdengar kabar bahwa kelima pohon keramat itu
akan ditebang oleh orang-orang yang katanya akan mendirikan sebuah tower telepon seluler di desaku. Kelima
pohon keramat itu menghalangi kabel-kabel yang sudah ditarik garis lurus dari tower satu ke yang lainnya, juga agar
sinyal telepon seluler menjadi lebih baik di kawasan sini. Katanya, beberapa
orang tidak menyetujuinya dengan alasan takut kekeramatannya bisa mendatangkan
bala. Sementara ada beberapa warga desa lainnya yang justru mendukung rencana
itu dan mengusulkan uangnya dibagi rata saja.
Perseteruan pun terjadi. Katanya benar-benar sampai terjadi permusuhan di
antara sesama warga. Dari cerita Emak kemudian aku tahu pohon itu akhirnya berhasil
dilelang oleh pihak pembangun tower dengan harga yang lumayan. Separuh dari
uang itu dimasukkan ke kas desa dan kas pembangunan masjid. Dari cerita Bapak, konon
itu siasatnya orang-orang yang mendapatkan jatah demi menyumpal mulut orang-orang
yang tidak menyetujui penebangan pohon-pohon itu.
Ketika beberapa bulan kemudian tidak terjadi musibah apapun, orang-orang
yang dulu menyetujui penebangan itu sering mengejek mereka yang dulu
takut-takut dengan kekeramatan pohon itu. Mereka senang mengolok-olok dengan
menunjukkan bukti bahwa di daerah hulu, pohon-pohon yang membuat sungai jadi
terlihat angker sudah ditebangi demi kenyamanan lingkungan. Untunglah bapakku bukan termasuk orang yang
setuju dan bukan pula orang yang tak setuju.
Tapi beberapa bulan kemudian, sawah-sawah yang terletak di sekitar kelima
pohon keramat itu kini mengalami ancaman erosi. Musim penghujan lalu, banjir
berhasil memporandakan semua padi di sana.
Tanggul yang membatasi sungai dengan sawah
sempat jebol. Hingga kini, pihak pemilik tower masih dilobi untuk turut menyumbang rencana pembangunan
tanggul permanen sepanjang satu kilometeran. Itupun jika tanggul di desa hilir
sungai tidak mengalami kerusakan pula. Dari yang kudengar, tanggul mereka juga
mulai keropos tergerus air saat penghujan kemarin.
Sungai itu kini juga sudah tidak
lagi menjadi tempat main yang asyik. Airnya hanya melimpah saat penghujan. Tak
ada lagi ikan untuk dipancing saat kemarau. Seperti ada cerita yang turut
hilang.*****
Kalinyamatan – Jepara, 2013.
ilustrasi; pinterest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar