Kekuatan untuk Bangkit dari Kegagalan
dan Masalah Hidup
Judul Buku : Allah,
Cukuplah Engkau sebagai Penolong
Penulis :
Ahmad Rifa’I Rif’an
Penerbit :
Penerbit Mizania
Cetakan :
Pertama, September 2014
Tebal :
154 halaman
ISBN :
978-602-1337-22-6
Dengan bahasa yang sederhana tetapi berbobot, buku
ini mengajarkan kepada kita cara menjadi pribadi yang tangguh dan tak mudah
rapuh. Memandang kegagalan sebagai hal wajar, lalu bangkit melanjutkan
perjuangan. Dalam ‘Live is Never Flat’ penulis mengingatkan, andai keberhasilan
mudah digapai, orang sukses di dunia ini pastilah membludak. Namun lihatlah di
sekeliling kita, bukankah jumlah orang rata-rata lebih banyak ketimbang orang
besar? Karena kebanyakan orang tidak tahan dengan ujian. Mayoritas orang tidak
kuat saat berhadapan dengan masalah. Dia mudah menyerah pada
persoalan-persoalan yang harusnya dihadapi (hal. 13). Beberapa hal yang
bersifat prinsipil juga disinggung dengan elegan. Dalam soal penilaian terhadap
kebahagiaan misalnya. Penulis memberikan banyak rincian atas beberapa hal yang
kadang kita salah kaprah dalam memaknainya. Sebenarnya kita memiliki hak untuk
bisa bahagia tanpa harus menunggu pencapaian pada apa yang kita inginkan. Kita punya
hak untuk meraih ketenangan jiwa tanpa harus menanti tergapainya cita-cita dan
harapan. Jika kita mensyaratkan kemenangan untuk bisa merasakan kebahagiaan,
betapa singkatnya kebahagiaan itu mampir ke jiwa kita. Karena dalam hidup, kita
lebih banyak menghabiskan waktu dalam proses mencapai bahagia ketimbang
merasakan hasil dari proses pencapaian itu. Kita lebih banyak menghabiskan
waktu untuk bertanding ketimbang waktu untuk festivalisasi kemenangan (hal.
35). Proses dari segala apa yang kita upayakan justru bisa menjadi puncak
kenikmatan, jika kita mau menyadarinya.
Pendewasaan diri menjadi hal utama yang diusung buku
inspiratif ini. Tak suka membanding-bandingkan diri dengan orang lain akan
membuat diri lebih fokus terhadap usaha kita. Mengadukan segala masalah hidup
hanya kepada-Nya akan meneguhkan jiwa kita. Berbeda jika menangis, meminta,
atau mengadu kepada manusia karena mungkin kita akan dikatakan manja.
Introspeksi juga merupakan cara terbaik untuk menumbuhkan karakter. Ketika
kemudian kita menemukan kesalahan diri sendiri, jangan takut untuk menanggung
konsekuensinya. Konsekuensi harus dihadapi sebagai media pembelajaran diri,
agar kita tak mengulangi kesalahan itu lagi. Perkara memaafkan juga bisa
dijadikan acuan tentang kedewasaan bersikap. Sama halnya dengan perihal penerimaan
nasihat dari orang lain. Ketika ada seseorang yang menasihatkan kebaikan, orang
dewasa akan cenderung mendengar dan langsung mengamalkannya jika dirasa memang
benar. Namun seorang yang jiwanya masih kerdil akan mudah menjustifikasi si
penasihat tadi sebagai orang sok tahu, sok pintar, dan sok bijak. Padahal bisa
jadi, salah satu cara Tuhan mengingatkan kita adalah dengan mengirimkan
seseorang kepada kita dengan nasihat-nasihatnya. Sikap kita dalam menerima
kritik/nasihat orang lain memperlihatkan seberapa ‘besar’nya kita. Setali
dengan ucapan Schopenhauer, “Orang yang rendah derajatnya merasa senang sekali
bila dapat menemukan kesalahan atau ketololan orang besar.” Pengkritik adalah
ampelas. Indikasi kedewasaan selanjutnya adalah kesabaran. Ketika ada seseorang
yang mengungkapkan bahwa sabar itu ada batasnya, hakikatnya dia tidak sabar.
Kesabaran itu sebenarnya tak memiliki batas. Jikapun disebut sebagai batas,
batas kesabaran adalah ketika kebahagiaan dan kebaikan hidup telah diperoleh.
Bagian lain yang coba dibidik oleh penulis buku ini
adalah beberapa sikap yang layak dipelihara untuk membangkitkan jiwa. Ahmad
Rifa’i bilang, Tuhan tidak pernah iseng kepada makhluk-Nya. Dengan beragam
kesulitan, sebenarnya Dia hendak menghebatkan kita. Jangan ada waktu untuk
memanjakan keluhan dan kesedihan. Beri porsi kepasrahan sewajarnya saja. Coba
bayangkan, seandainya kehidupan ini lurus-lurus saja. Dan tips terbaik agar
senantiasa bersinar setiap hari adalah jagalah impian-impian besar, jagalah
rasa syukur, serta teruslah menebar manfaat bagi sebanyak mungkin sesama.*
(Nur Hadi, Kabar Probolinggo, Kamis 5 Februari 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar