Selasa, 10 Februari 2015

Ketika Cinta Tak Mau Pergi



Ketika Cinta Tak Mau Pergi


Peresensi: Nur Hadi

Judul Buku  :  Only You
Penulis        :  Mustika Amalia
Penerbit       : Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka)
Cetakan       :  Pertama, Mei 2014
Tebal           :  248 halaman
ISBN           : 978-602-7888-95-1


Kisah romantis ini dimulai ketika Lexa terpesona dengan lukisan berjudul ‘Ruang Rindu’ yang menariknya pada selaksa kerinduan akan keutuhan sebuah keluarga (hal. 8). Mati-matian ia berusaha menghubungi pelukis lukisan yang tak sengaja ditemukannya pada sebuah pameran tersebut, dengan tujuan untuk memilikinya. Namun siapa sangka, Aditya, pemilik lukisan cantik itu ternyata bersikeras tak mau menjualnya.
Sifat keras Aditya itu justru menarik rasa penasaran Lexa untuk kemudian mencari tahu perihal segala yang tersimpan di balik ‘Ruang Rindu’. Dengan segala macam cara, pemilik Gorgeous Boutique ini mengejar ‘Ruang Rindu’ sampai akhirnya hatinya justru tertambat dengan sang pelukisnya sendiri. Cinta Galang, pengusaha muda nan tampan dan kaya raya pemilik Grand New Hotel yang cabangnya tersebar di berbagai kota Indonesia, bahkan mentah-mentah ditolaknya. Apalagi setelah Lexa mengetahui sejarah terpendam di balik ‘Ruang Rindu’ pasca pendakian ke Alun-Alun Surya Kencana (nama puncak Gunung Gede) atas skenario Sasa yang menginginkan Aditya—kakaknya, melupakan masa lalu kelamnya dengan Renata yang telah meninggal saat pendakian di lokasi gunung yang sama (hal. 63).
Plot novel ini menjadi menarik lantaran hampir sepanjang ceritanya diwarnai dengan penolakan Aditya atas segala usaha Lexa dalam mendekatinya. Ujungnya tentu saja bisa ditebak, Lexa pun tersungkur, tak hanya sekali, namun berkali-kali. Apalagi menghadapi perlakuan Aditya yang kadang bercabang—suatu ketika ia tampak ramah seperti memberi harapan, namun suatu ketika ia juga tampak jahat. Seperti edelweiss yang memenuhi ‘Ruang Rindu’, meskipun angin menggugurkan helai demi helai bunganya, tapi bunga(cinta)nya tak pernah mati. Namun toh puncak ketegaran itu akhirnya runtuh juga tatkala Aditya berupaya merenggut kegadisannya di sebuah kamar hotel milik Galang (yang sebenarnya inipun adalah sandiwara Aditya agar gadis itu menjauh darinya). Pembaca dibuat benar-benar jengkel dengan kelakuan buruk arsitek muda yang sekaligus pemilik Appetite Café ini.
Ada beberapa poin yang saya catat setelah menamatkan novel bergenre populer ini. Pertama, adalah ketika Lexa pada akhirnya mengerti batas-batas pengorbanan yang bisa ia berikan kepada Aditya (hal. 187). Kedua, adalah kepribadian Lexa yang seperti edelweiss. Dan ketiga, adalah perihal kecantikan hati Galang yang bisa mengontrol perasaan cintanya terhadap Lexa (hal. 232). Metafor edelweiss yang diambil penulis, setali dengan karakter Lexa yang tegar, kuat, dan tak mudah layu. Namun, ketika akhirnya Lexa mulai menyadarai bahwa perasaan tak sepenuhnya bisa dipaksakan, ia pun mulai coba berpaling ke arah Galang—meski ia sebenarnya amat sulit membohongi hatinya sendiri. Lexa baru benar-benar sadar bahwa hatinya begitu menderita dengan sandiwaranya sendiri tatkala Aditya mulai menyadari arti kehilangan.
Semua karakter dalam novel ini digarap dengan lumayan kuat. Yang sedikit membosankan hanyalah alur cerita percintaan yang dibuat melingkar, persis dengan kisah-kisah sinetron televisi yang mudah sekali ditebak. Dugaan saya, mengapa novel ini menjadi salah satu naskah pilihan dari Lomba Menulis Novel ‘Wanita dalam Cerita’, adalah karena kemenonjolan karakter Lexa sebagai perempuan tangguh yang begitu gigih memertahankan keyakinan, cita, sekaligus cintanya. Hingga akhirnya ia menemukan kebahagiaan yang diinginkan.*

(Nur Hadi, Kabar Probolinggo, Selasa 10 Februari 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar