Ketika Cinta Tak Mau Pergi
Peresensi: Nur Hadi
Judul Buku : Only
You
Penulis :
Mustika Amalia
Penerbit :
Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka)
Cetakan :
Pertama, Mei 2014
Tebal :
248 halaman
ISBN
: 978-602-7888-95-1
Kisah romantis ini dimulai ketika Lexa terpesona dengan
lukisan berjudul ‘Ruang Rindu’ yang menariknya pada selaksa kerinduan akan
keutuhan sebuah keluarga (hal. 8). Mati-matian ia berusaha menghubungi pelukis
lukisan yang tak sengaja ditemukannya pada sebuah pameran tersebut, dengan
tujuan untuk memilikinya. Namun siapa sangka, Aditya, pemilik lukisan cantik
itu ternyata bersikeras tak mau menjualnya.
Sifat keras Aditya itu justru menarik rasa penasaran
Lexa untuk kemudian mencari tahu perihal segala yang tersimpan di balik ‘Ruang
Rindu’. Dengan segala macam cara, pemilik Gorgeous Boutique ini mengejar ‘Ruang
Rindu’ sampai akhirnya hatinya justru tertambat dengan sang pelukisnya sendiri.
Cinta Galang, pengusaha muda nan tampan dan kaya raya pemilik Grand New Hotel
yang cabangnya tersebar di berbagai kota Indonesia,
bahkan mentah-mentah ditolaknya. Apalagi setelah Lexa mengetahui sejarah terpendam
di balik ‘Ruang Rindu’ pasca pendakian ke Alun-Alun Surya Kencana (nama puncak
Gunung Gede) atas skenario Sasa yang menginginkan Aditya—kakaknya, melupakan
masa lalu kelamnya dengan Renata yang telah meninggal saat pendakian di lokasi gunung
yang sama (hal. 63).
Plot novel ini menjadi menarik lantaran hampir sepanjang
ceritanya diwarnai dengan penolakan Aditya atas segala usaha Lexa dalam
mendekatinya. Ujungnya tentu saja bisa ditebak, Lexa pun tersungkur, tak hanya
sekali, namun berkali-kali. Apalagi menghadapi perlakuan Aditya yang kadang
bercabang—suatu ketika ia tampak ramah seperti memberi harapan, namun suatu
ketika ia juga tampak jahat. Seperti edelweiss yang memenuhi ‘Ruang Rindu’,
meskipun angin menggugurkan helai demi helai bunganya, tapi bunga(cinta)nya tak
pernah mati. Namun toh puncak ketegaran itu akhirnya runtuh juga tatkala Aditya
berupaya merenggut kegadisannya di sebuah kamar hotel milik Galang (yang
sebenarnya inipun adalah sandiwara Aditya agar gadis itu menjauh darinya).
Pembaca dibuat benar-benar jengkel dengan kelakuan buruk arsitek muda yang
sekaligus pemilik Appetite Café ini.
Ada
beberapa poin yang saya catat setelah menamatkan novel bergenre populer ini. Pertama,
adalah ketika Lexa pada akhirnya mengerti batas-batas pengorbanan yang bisa ia
berikan kepada Aditya (hal. 187). Kedua, adalah kepribadian Lexa yang seperti
edelweiss. Dan ketiga, adalah perihal kecantikan hati Galang yang bisa
mengontrol perasaan cintanya terhadap Lexa (hal. 232). Metafor edelweiss yang
diambil penulis, setali dengan karakter Lexa yang tegar, kuat, dan tak mudah
layu. Namun, ketika akhirnya Lexa mulai menyadarai bahwa perasaan tak
sepenuhnya bisa dipaksakan, ia pun mulai coba berpaling ke arah Galang—meski ia
sebenarnya amat sulit membohongi hatinya sendiri. Lexa baru benar-benar sadar
bahwa hatinya begitu menderita dengan sandiwaranya sendiri tatkala Aditya mulai
menyadari arti kehilangan.
Semua karakter dalam novel ini digarap dengan lumayan
kuat. Yang sedikit membosankan hanyalah alur cerita percintaan yang dibuat
melingkar, persis dengan kisah-kisah sinetron televisi yang mudah sekali
ditebak. Dugaan saya, mengapa novel ini menjadi salah satu naskah pilihan dari
Lomba Menulis Novel ‘Wanita dalam Cerita’, adalah karena kemenonjolan karakter
Lexa sebagai perempuan tangguh yang begitu gigih memertahankan keyakinan, cita,
sekaligus cintanya. Hingga akhirnya ia menemukan kebahagiaan yang diinginkan.*
(Nur Hadi, Kabar Probolinggo, Selasa 10 Februari 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar