Selasa, 10 Februari 2015

Hidup yang Seperti Nganu



Hidup yang Seperti Nganu


Peresensi: Nur Hadi

Judul Buku  :  NGANU
Penulis        :  Edi Akhiles
Penerbit       :  Penerbit DIVA Press
Cetakan       :  Pertama, Oktober  2014
Tebal           :  172 halaman
Harga          :  35.000
ISBN           :  978-602-7695-59-7


Celoteh ‘Bos Edi’ kali ini masih terasa nyelekit, seperti cubitan kecil tapi mengena sampai ke dalam. Layaknya ‘popcorn’ yang enak dibuat sebagai camilan saat nonton bioskop, tapi ini ‘mengenyangkan’ jiwa pembacanya. Pemikiran-pemikiran berat dalam beragam tema diselipkan dalam celoteh ringan. Dari mulai attitude seseorang, cinta, soal keluh-mengeluh, gadget, K-poper, gaya bicara, sampai ke hal berat seperti keyakinan, hakikat waktu, dan kehidupan. Mari baca ketika ia menganalisa perihal kebiasaan facebooker yang gemar mengumbar kesedihannya di media jejaring sosial tersebut. Soal kepura-puraan, teman maya yang segalanya bersifat maya, sampai cara berpikir yang keliru dikritisinya dengan enteng. Kata ‘Bos Edi’, alangkah lebih eloknya jika kita seharusnya selalu berpandu pada fungsi dulu, baru kemudian mengejar renik-reniknya (hal. 168).
Cinta, menjadi hal yang paling enak untuk diricuhi karena setiap orang pasti bakal mengalami. Bos Edi mengibaratkan bahwa cinta yang bicara akan membuat pemiliknya tahu apakah dia akan memeluk bantal atau memeluk orang yang dicintainya (hal. 132). Dengan arif dan matangnya, pemilik Penerbitan DIVA Press ini kemudian menyambungkan dengan kisah romantis berbau sufistik. Dikisahkan, di Kufah, hiduplah seorang pemuda tampan yang rajin ibadah dan bekerja. Di perkampungan kaum Nukha’ tanpa sengaja ia melihat seorang wanita muda yang langsung membuatnya jatuh hati. Namun tak dinyana, ketika ia mengirim utusan untuk melamar, wanita tersebut ternyata sudah dijodohkan. Padahal wanita tersebut juga mengalami hal serupa; sama-sama jatuh hati dengan pemuda itu. Ia bahkan nekat berkirim surat ke si pemuda yang intinya bahwa ia akan membuka pintu kamarnya lebar-lebar untuk kedatangan si pemuda. Lantas apa jawaban si pemuda? Semua tawaran kemudahan yang diberikan si wanita ditolaknya mentah-mentah lantaran rasa takutnya kepada Tuhan. Setelah mendapatkan pesan itu, si wanita muda itupun meninggalkan gemerlap dunia, membuang semua hal yang terkait dengannya, dan memilih sepi sehingga akhirnya dia meninggal dunia karena memendam rasa rindu yang teramat sangat kepada si pemuda. Pada suatu malam, si pemuda mendapati wanita tersebut dalam mimpinya. Percakapan tentang hakikat cinta pun terjadi dengan begitu dramatis. Bos Edi sengaja ‘menculik’ kisah ini ke dalam bukunya demi menasihati orang-orang yang berpikiran sempit. Kehidupan memang selalu menyuguhkan segala yang kita pinta. Tapi tak semua yang kita pinta lantas serta-merta akan menjadi milik kita. Jika kita gagal menggenggam pinta kita pada kehidupan, kita hanya perlu mengerti bahwa kehidupan selalu berbaik hati kepada kita untuk meminta lagi dan lagi (hal. 141).
Kedangkala, ada serpihan-serpihan dalam hidup ini yang tak perlu dipikir terlalu banyak, terlalu dalam, karena hanya memerlukan pelaksanaan. Saat kita gagal menangkap pesan kehidupan ini, kita bisa pun terbentur pada dua kondisi; telat melaksanakannya atau sama sekali tak pernah melaksanakannya. Bos Edi seakan sedang memberi banyak catatan kaki pada tingkah-polah kita sehari-hari, yang kadang dirasa ringan, berat, bahkan kadangkala tidak disadari apa arti pentingnya. Dalam ‘Apa Benar Sendiri Itu Bahagia’ misalnya, ia mengaku tak percaya seratus persen dengan pernyataan orang yang mengaku ‘aku bahagia meski sendirian saja’. Pelan-pelan Bos Edi menguliti dengan catatan-catatan kaki perihal orang-orang yang hidup bahagia hanya sekadar bahagia, padahal kebahagiaan juga ada levelnya.
“NGANU” yang menjadi judul buku ini tampaknya sengaja diambil lantaran pemaknaan kata tersebut yang mewakili seluruh isi buku. Kata ‘Nganu’ yang tak terdefinisikan dalam KBBI, diartikan Bos Edi sebagai imaji. Apa yang kita pikir dan kontekskan pada sesuatu atau seseorang, maka begitulah ‘nganu’ memberi makna. Meminjam teori filsafat bahasanya Ludwig Wittgenstein, semuanya bergantung padamu maunya bagaimana, language game-mu bagaimana dalam memandang hidup ini?*


(Nur Hadi, Kabar Probolinggo, Rabu 4 februari 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar