Hidup yang Seperti Nganu
Peresensi: Nur Hadi
Judul Buku : NGANU
Penulis :
Edi Akhiles
Penerbit :
Penerbit DIVA Press
Cetakan :
Pertama, Oktober 2014
Tebal :
172 halaman
Harga :
35.000
ISBN :
978-602-7695-59-7
Celoteh ‘Bos Edi’ kali
ini masih terasa nyelekit, seperti
cubitan kecil tapi mengena sampai ke dalam. Layaknya ‘popcorn’ yang enak dibuat
sebagai camilan saat nonton bioskop, tapi ini ‘mengenyangkan’ jiwa pembacanya.
Pemikiran-pemikiran berat dalam beragam tema diselipkan dalam celoteh ringan. Dari
mulai attitude seseorang, cinta, soal keluh-mengeluh, gadget, K-poper, gaya bicara, sampai ke hal
berat seperti keyakinan, hakikat waktu, dan kehidupan. Mari baca ketika ia
menganalisa perihal kebiasaan facebooker yang
gemar mengumbar kesedihannya di media jejaring sosial tersebut. Soal
kepura-puraan, teman maya yang segalanya bersifat maya, sampai cara berpikir
yang keliru dikritisinya dengan enteng. Kata ‘Bos Edi’, alangkah lebih eloknya
jika kita seharusnya selalu berpandu pada fungsi dulu, baru kemudian mengejar
renik-reniknya (hal. 168).
Cinta, menjadi hal yang
paling enak untuk diricuhi karena setiap orang pasti bakal mengalami. Bos Edi
mengibaratkan bahwa cinta yang bicara akan membuat pemiliknya tahu apakah dia
akan memeluk bantal atau memeluk orang yang dicintainya (hal. 132). Dengan arif
dan matangnya, pemilik Penerbitan DIVA Press ini kemudian menyambungkan dengan
kisah romantis berbau sufistik. Dikisahkan, di Kufah, hiduplah seorang pemuda tampan
yang rajin ibadah dan bekerja. Di perkampungan kaum Nukha’ tanpa sengaja ia
melihat seorang wanita muda yang langsung membuatnya jatuh hati. Namun tak
dinyana, ketika ia mengirim utusan untuk melamar, wanita tersebut ternyata
sudah dijodohkan. Padahal wanita tersebut juga mengalami hal serupa; sama-sama
jatuh hati dengan pemuda itu. Ia bahkan nekat berkirim surat ke si pemuda yang intinya bahwa ia akan
membuka pintu kamarnya lebar-lebar untuk kedatangan si pemuda. Lantas apa
jawaban si pemuda? Semua tawaran kemudahan yang diberikan si wanita ditolaknya
mentah-mentah lantaran rasa takutnya kepada Tuhan. Setelah mendapatkan pesan
itu, si wanita muda itupun meninggalkan gemerlap dunia, membuang semua hal yang
terkait dengannya, dan memilih sepi sehingga akhirnya dia meninggal dunia
karena memendam rasa rindu yang teramat sangat kepada si pemuda. Pada suatu
malam, si pemuda mendapati wanita tersebut dalam mimpinya. Percakapan tentang
hakikat cinta pun terjadi dengan begitu dramatis. Bos Edi sengaja ‘menculik’
kisah ini ke dalam bukunya demi menasihati orang-orang yang berpikiran sempit.
Kehidupan memang selalu menyuguhkan segala yang kita pinta. Tapi tak semua yang
kita pinta lantas serta-merta akan menjadi milik kita. Jika kita gagal
menggenggam pinta kita pada kehidupan, kita hanya perlu mengerti bahwa
kehidupan selalu berbaik hati kepada kita untuk meminta lagi dan lagi (hal.
141).
Kedangkala, ada
serpihan-serpihan dalam hidup ini yang tak perlu dipikir terlalu banyak,
terlalu dalam, karena hanya memerlukan pelaksanaan. Saat kita gagal menangkap
pesan kehidupan ini, kita bisa pun terbentur pada dua kondisi; telat
melaksanakannya atau sama sekali tak pernah melaksanakannya. Bos Edi seakan
sedang memberi banyak catatan kaki pada tingkah-polah kita sehari-hari, yang
kadang dirasa ringan, berat, bahkan kadangkala tidak disadari apa arti
pentingnya. Dalam ‘Apa Benar Sendiri Itu Bahagia’ misalnya, ia mengaku tak
percaya seratus persen dengan pernyataan orang yang mengaku ‘aku bahagia meski
sendirian saja’. Pelan-pelan Bos Edi menguliti dengan catatan-catatan kaki
perihal orang-orang yang hidup bahagia hanya sekadar bahagia, padahal
kebahagiaan juga ada levelnya.
“NGANU” yang menjadi judul buku ini tampaknya sengaja
diambil lantaran pemaknaan kata tersebut yang mewakili seluruh isi buku. Kata
‘Nganu’ yang tak terdefinisikan dalam KBBI, diartikan Bos Edi sebagai imaji.
Apa yang kita pikir dan kontekskan pada sesuatu atau seseorang, maka begitulah
‘nganu’ memberi makna. Meminjam teori filsafat bahasanya Ludwig Wittgenstein,
semuanya bergantung padamu maunya bagaimana, language game-mu bagaimana dalam memandang hidup ini?*(Nur Hadi, Kabar Probolinggo, Rabu 4 februari 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar