Selasa, 27 Januari 2015

Tembok Penghalang Itu Bernama Sekolahan



Tembok Penghalang Itu Bernama Sekolahan




Judul Buku  :  Orang Jujur Tidak Sekolah
Penulis        :  Andri Rizki Putra
Penerbit       : Penerbit PT Bentang Pustaka
Cetakan       :  Pertama, Oktober 2014
Tebal           :  xi + 260 halaman
ISBN           : 978-602-291-062-6



Selama ini kita tentu percaya bahwa sekolahan adalah satu-satunya lembaga yang mampu mengubah derajat hidup. Namun setelah membaca pengalaman Rizki ini, pendapat itu pasti akan berubah. Rizki yang awalnya menaruh harapan besar kepada sekolah, seketika patah hati hanya karena menolak lembar sontekan jawaban ujian yang beredar di kalangan siswa. Rizki dianggap aneh. Belum lagi gara-gara keterlambatannya membayar SPP setiap bulan, yang menjadikannya sasaran sindiran para guru tiap pengambilan rapor tiba. Diskriminasi yang terjadi berkali-kali membuat Rizki akhirnya berani mengambil keputusan besar; berhenti dari sekolah.
Akhir September 2006 adalah masa awal pencariannya terhadap konsep pendidikan yang diingininya. Melalui internet ia bergerilya mencari format lain selain sekolah yang bisa ditempuh untuk melanjutkan pendidikan. Ia meneliti dan mencari tahu konsep pendidikan yang berlaku di negara ini hingga menemukan bahwa Indonesia mengenal tiga jenis sistem pendidikan, yaitu pendidikan formal (sekolah), pendidikan nonformal (pendidikan kesetaraan), dan pendidikan informal (lembaga kursus dan pelatihan). Mereka yang tak dapat menempuh pendidikan secara formal, dapat mengambil alternatif pendidikan kesetaraan. Perbedaannya hanya terletak di ijazah yang akan didapat. Mereka yang bersekolah akan menempuh UN, sedangkan yang menempuh pendidikan kesetaraan akan menempuh UN Kesetaraan (hal. 50). Melalui jalan lain ini, Rizki justru mulai menyadari bahwa ijazah hanyalah secarik kertas yang pada akhirnya hanya tersimpan rapi di lemari, bukan bukti absolut bahwa seseorang benar-benar memiliki inteligensi memadai. Nilai-nilai indah yang tertulis di  ijazah belum tentu mewakili ‘kemampuan’ pemiliknya, juga belum tentu menggambarkan apakah si pemegang ijazah benar-benar mendapatkan transfer of knowledge di institusi pendidikan tempat ia menimba ilmu (hal. ix).
Buku ini terbaca seperti buku harian. Siapapun pasti akan ikut ‘terbakar’ ketika mengikuti hari demi hari yang dilalui Rizki saat menanamkan tekad bahwa ia takkan tertinggal dari teman-teman sekelasnya dulu, meski ia tak menempuh jalur pendidikan formal. Dengan kerja keras, tekad kuat, dan sedikit ‘akal’, ia pun akhirnya berhasil menamatkan pendidikan kesetaraan bahkan dalam rentang waktu yang terbilang singkat. Terkesan belum puas dengan pencapaian itu, Rizki kemudian memberikan kejutan kepada semua orang bahwa akhirnya ia berhasil menembus UI lewat jalur SNMPTN. Di universitas kenamaan itupun ia tetap mati-matian agar pendidikannya bisa terselesaikan dalam waktu singkat lantaran keterbatasan ekonomi yang menelikung. Dan nyatanya ia berhasil, dengan predikat yang memuaskan pula.
Semasa penggodokan di UI inilah Rizki mulai menengok ke belakang, mencatat ‘lubang-lubang’ yang pernah berhasil ia loncati. Ia juga mengintip laporan ICW yang melaporkan bahwa pembangunan infrastruktur sekolah di Indonesia selalu dihantui penggelapan dana. Per 22 Februari 2013, hanya terdapat beberapa sekolah yang bersih dari korupsi, penyuapan, dan penggelapan. Kebanyakan, 40 persen bujet sekolah tersedot entah ke mana sebelum digunakan untuk pengembangan sekolah. Dari sini Rizki berpendapat, untuk mendapatkan hasil yang maksimal, pembenahan di sektor pendidikan harus dilakukan secara paralel. Selain pembangunan sekolah formal yang lebih banyak di pelbagai wilayah Indonesia, juga harus didukung dengan pengembangan pendidikan nonformal yang tak perlu menunggu pembangunan gedung atau ruang kelas yang lebih besar (hal. 162). Inilah tampaknya yang menjadi motifnya mendirikan Yayasan Pemimpin Anak Bangsa yang kini tak hanya bersarang di Jakarta, tapi mulai merambah Banten dan Sumatera Utara. Meskipun dengan karakteristik kelas yang beragam, mulai dari perumahan, kamar tidur, garasi, institusi pemerintah, sampai ruang kelas TK. Semuanya tampak seperti balas dendam yang begitu elegan terhadap masa lalunya.*


(Nur Hadi, Koran Madura, Jumat 23 Januari 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar