Kucing yang Baik
Kami sedang butuh kucing. Bukan saja karena Minah yang sudah berkali
menjerit-jerit karena memergoki tikus di dapur, atau bunyi berisiknya di atas
plafon yang amat mengganggu, atau juga kotorannya yang tercecer di mana-mana.
Populasi mereka benar-benar sudah meresahkan. Minah bahkan sudah empat kali
membeli centong penanak nasi gara-gara kerap dicuri tikus-tikus yang amat
kelaparan itu.
Kami menduga, tikus-tikus itu meloncat dari genting rumah Warsini di
belakang rumah kami, lalu memanjat tembok belakang rumah yang sepertinya memang
mudah dipanjati karena masih belum dipopok
dengan semen. Mereka lantas berkeliaran di plafon, entah lewat jalan yang mana
lalu berkeliaran menyatroni semua ruangan di rumah kami.
Perangkap tikus sudah bukan penyelesaian yang jitu lagi. Dulu, kami
memang kerap melihat Warsini yang dengan bangga memperlihatkan dua tiga ekor
tikus bodoh yang masuk perangkapnya. Tapi trik itu sekarang sudah tak manjur
lagi. Sepertinya para tikus itu sudah paham apa yang dinamakan perangkap tikus.
Mereka tidak bodoh-bodoh amat. Mereka seperti para koruptor negeri ini. Warsini
juga pernah menggunakan racun tikus. Hanya saja kami khawatir andai nanti ada
tikus yang kelenger di atas plafon. Akhirnya
kami pun memutuskan ini. Memelihara kucing! “Kucing itu KPK,” kataku.
* * *
Minah sudah lebih dulu bekah-bekoh[1].
Padahal justru dialah yang paling menderita dengan serangan para tikus itu. Pasalnya
dia alergi bulu kucing. Setiap berdekatan dengan kucing, hidungnya akan memerah
dan lalu memicu bersin-bersin panjang yang berujung pilek berat. Minah ini
seperti orang-orang lugu yang tak tega dengan hukuman yang diajukan KPK demi
membuat jera para koruptor.
Nanilah yang justru gerak cepat. Tanpa meminta persetujuan dulu dariku,
anak bungsuku itu mengambil seekor kucing Himalaya.
“Tenang, Pak. Asal warnanya enggak hitam enggak apa-apa.” Menurutnya, kucing
hitam itu pembawa sial karena mirip kucingnya para penyihir. Ada-ada saja.
Sejak kapan di Jawa ada penyihir? Nah, kucing yang diadopsinya itu sangat
cantik. Bulu-bulunya akan melambai-lambai indah saat ia mengeringkannya dengan
kipas angin. Nani merawatnya dengan shampo bayi. Ia merawatnya bak adik
sendiri. Kucing ini diberinya nama Himo. Nah, kalau karakter Nani, mirip sekali
dengan orang-orang bodoh yang mengajukan nama-nama mandul sebagai pemegang
kendali KPK. Hehehe, senang sekali mengibaratkan rumahku sebagai panggung
politik kecil. Rumahku negara indi.
Himo benar-benar kelewat manja. Saat tidur, ia lebih suka menemani Nani
daripada tidur berjaga-jaga di dapur. Padahal di sana sudah kusediakan tempat khusus untuknya
(yang lumayan jauh dari tempat kesibukan Minah). Ia juga lebih senang
bermain-main dengan Nani daripada mengendus keberadaan tikus yang kerap beraksi
kapanpun kami lengah. Aku yang sejak semula sudah menduga ini, mulai tak suka akan
keberadaannya. Sudah biaya rawatnya tinggi, tapi tiada guna selain hanya
menjadi teman bermain Nani.
Aku bilang jual saja hewan tak berguna itu. Tapi Nani merengek
mempertahankannya. Ia memang terlihat sangat cinta dengan Himo. Sedari awal ia
bahkan sudah berani bohong, bilang bahwa butuh duit untuk bayar biaya ini itu
di semester awal kuliahnya, tapi akhir kisahnya justru membawa pulang binatang
manja tersebut. Kucing itu membuatnya berani berbuat korupsi. Alasannya, “Bapak
sedang butuh kucing kan?”
Nani akhirnya menyerah mempertahankan binatang itu setelah aku
memperkecil uang belanja ibunya. Himo paling tak tahan dengan lapar, dan akan
gelisah setengah mati jika belum diberi makan. Karena sebagian besar uang
sakunya sendiri jadi kerap tersedot untuk biaya hidup Himo, akhirnya dia
menyerah.
Prasangkaku ternyata keliru. Setelah Himo hilang, sekarang posisinya malah
digantikan Vianka. Kata Nani itu jenis kucing Turkishvan. Hampir mirip dengan
Himo, badan Vivi (Nani memanggilnya begitu) lumayan besar dengan bulu-bulu yang
juga gondrong. Entah karena beratnya yang tujuh kilo atau memang sifat
bawaannya begitu, porsi makannya justru lebih besar dari Himo.
“Kamu ini mau piara pemangsa tikus apa ternak kucing?” ujarku ketika
melihat Vivi sama pahpoh[2]nya
dengan si Himo. Kucing inipun hanya sukses membuat Nani jarang main keluar
bersama teman-temannya. Kebiasaan buruknya yang kemarin bisa kucegah kini
kambuh lagi; ulet-ulet[3]
kucing sampai berjam-jam.
Aku sudah menggunakan trik lama, memperkecil suplai uang yang sekiranya
bisa mendanai keberadaan Vivi di rumah ini. Tapi rupanya Nani sudah mempelajari
kebodohannya di masa lalu. Ia mulai bisa mencari uang sendiri meski dengan
jalan rai ngepluk[4].
Tiap kali diperintah siapapun, dia meminta upah yang besar kecilnya tergantung
berat ringannya pekerjaan. Yang membuatku geleng-geleng kepala, dia bahkan
memasang tarif khusus buatku, karena tahu akulah orang yang paling gerah dengan
keberadaan Vivi.
Sampai pada suatu ketika, di suatu malam saat semua sudah tenggelam dalam
mimpi masing-masing, teriakan cempreng Minah berhasil membangunkan kami semua.
“Itu, Pak, itu, lihat di dapur…,” jawab Minah ketika kuinterogasi.
Begitu mendapati apa yang tadi membuatnya seperti itu, kedua mataku
justru langsung berbinar. Seekor kucing kelabu, dengan seekor tikus yang sudah
tak berdaya dalam gigitan mulutnya, tampak siaga menatapku! Ini dia yang
kucari!
“Hadang, Min, hadang!” perintahku.
Minah geleng-geleng kepala sambil masih menutupi wajahnya. Untunglah
kemudian muncul istriku, yang langsung aku suruh menghadang di dekat pintu yang
memisahkan dapur dengan ruang tengah.
“Buat apa, Pak?” dari nada suaranya, istriku pun nampaknya merasa enggan.
“Ini dia yang aku cari. Kita harus bisa menangkap si pemburu sejati ini.”
“Nanti kalau tikusnya dilepas bagaimana, Pak? Kemarin aku juga nemu kepala tikus di bawah pot bunga di
teras sana,”
Minah menyahut.
“Ya dibuang to, Min. kalau tak
ingin bau, ya dikubur. Ini soal lain. Susah,
mencari kucing yang baik. Sudah,
kalian siaga saja ya? Biar aku yang menangkapnya.”
Kewaspadaan si kelabu itu patut diacungi jempol. Begitu kurentangkan
tangan, belum sempat melangkah maju, dia sudah melompat ke atas memporandakan
tempat Minah biasa berkreasi. Hanya dalam hitungan detik, dia melompat hinggap
sampai di samping kaki istriku dan langsung melesat keluar membawa pergi
buruannya. Sementara istriku hanya bisa melongo menyaksikannya.
“Barangsiapa yang bisa menangkap si kelabu itu untukku, aku kasih hadiah setengah
juta,” ujarku sambil melangkah ke arah si kelabu tadi melarikan diri. Di
belakangku, kudengar suara istriku yang langsung sibuk mempersoalkan tentang
kalimat yang baru saja kuucapkan itu.
* * *
Efek ucapan kemarin malam itu ternyata luar biasa. Minah diam-diam (meski
aku sudah menduganya) belajar menyembuhkan alerginya. Beberapa kali ia coba
mendekati Vivi. Membuat binatang itu jadi seperti memiliki dua ibu. Sayangnya,
setelah Minah mulai bisa akrab dengan kucing manja itu, Nani justru menjualnya
dan menggantinya dengan Mao, kucing jenis Dragon Li yang katanya asli peranakan
China.
“Ini kan
mirip si Preman. Jadi justru akan menguntungkan Mbak Minah untuk uji nyali sebelum berhadapan dengannya,” Nanilah
yang mula-mula memanggil si Kelabu dengan nama si Preman, karena keliaran
kucing itu dalam berburu tikus dan blusak-blusuk
ke rumah tanpa ketahuan siapapun.
“Tapi dia mencakar, Mbak. Lihat,” Minah memperlihatkan dua goresan
berdarah yang menghiasi punggung tangannya. Padahal katanya dia hanya berniat
mengelus kepala si Mao saja. Membuat bibirku tersungging.
Karena fisiknya yang sama persis dengan si Preman (akhirnya aku lebih
menyukai panggilan ini), kusangka Mao bakal menjadi solusi alternatif yang
bagus. Namun ternyata dugaku keliru. Mao memang sangat gesit dan kelewat aktif.
Hobinya mengacak-acak wilayah kekuasaan Minah (dapur). Sayangnya dia hanya bisa
terpaku dan menggereng saat melihat tikus yang hilir-mudik. Satu lagi, Mao
justru paling getol bertengkar dengan si Preman saat berpapasan. Seperti sedang
meributkan daerah kekuasaan. Membuatku jengkel dan kembali mendesak Nani agar
menjual kucing yang bahkan tikus pun tak gentar kepadanya itu.
Seperti biasa Nani menolak. Keputusannya hanya akan lahir dari
keinginannya sendiri. Untunglah di suatu pagi yang cerah aku berhasil membawa
pulang si Preman. Ceritanya begini; Ternyata Preman juga hobi mampir di rumah
Warsini. Mereka cerita, bahwa setiap sore kerap memancing kedatangan si Preman
dengan sekepal nasi dengan remah-remah gimbal udang, teri, bahkan tempe goreng. Mereka
sengaja hanya memberinya sedikit saja agar si Preman mau terus menunggu di
teras dapur sembari mengawasi tikus-tikus yang berseliweran. Kutirulah cara
itu. Karena ingin memiliki si Preman, aku tak mau memberinya sedikit. Kupancing
dia dengan pindang dan kadang bandeng. Pada hari keenam, akhirnya Preman pun
berhasil kutangkap dan kuboyong ke rumah.
Keberadaan si Preman mula-mula kerap menimbulkan huru-hara dalam rumah. Hingga
akhirnya Nani memutuskan menjual si Mao yang saat itu penuh luka pitak karena
kerap bertengkar dengan Preman.
Keberadaan Preman benar-benar seperti penyelamat bagi kami. Para tikus jadi tak pernah muncul-muncul lagi. Mereka
mulai gantian meneror rumah Warsini. Janda itu belum tahu kalau si Preman sudah
kukurung dengan segala kesenangan dalam rumah. Dan begitulah. Aku pun
memanjakan kucing itu agar dia tetap betah menjadi piaraan kami. Nani pun
perlahan mulai menyukainya. Padahal Preman jelas bukan keturunan ras kucing
unggulan.
Tapi empat bulan kemudian semua itu jadi berubah sedemikian rupa. Preman
yang tubuhnya sudah gemuk makmur kehilangan kegesitannya dan berubah menjadi
pemalas yang hanya hobi tidur-tiduran. Teriakan Minah saat memergoki
tikus-tikus raksasa yang menyatroni rumah kami kembali terdengar. Hingga akhirnya,
antara tega dan tak tega, kuputuskan mengusirnya dengan rencana akan mencari
penggantinya lagi.
“Pergi sana,
pergi!” sepakku berkali-kali karena kucing itu telanjur jinak kepadaku.
“Pak Nur, itu kan
kucingku?!” teriak Warsini ketika melihat insiden itu. Dia buru-buru mengambil
binatang itu dan membawanya pulang.
Iya, bawa pergi sana! Dasar kucing jalanan tak tahu diuntung!
Rutukku dalam hati.***
Kalinyamatan, Jepara, 2014.
(Adi Zamzam, Inilah Koran, 20 Desember 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar