Perempuan yang Ingin Hidup di dalam Mimpi
Ada yang terasa begitu lamban di sini. Ada yang terlihat begitu hidup di
sana. Apakah kenyataan memang selalu terasa begitu, dan mimpi selalu terlihat
seperti itu?
* * *
Jam lima pagi. Lelakinya masih mendengkur setelah semalaman mencumbu
dirinya. Tapi ia harus bangun, betapapun kepala masih terasa berat. Menyiapkan
sarapan untuk anak-anak yang tidak boleh terlambat sekolah. Membuat menu baru
yang beda dari menu kemarin dan kemarinnya lagi.
Masih banyak pekerjaan lainnya yang mengantre untuk diselesaikan. Bagi
perempuan rumahan seperti dirinya, hal sekecil apapun yang bisa membuat rumah
terasa nyaman, adalah sebuah pekerjaan yang harus dikerjakan.
“Aline, bangun tidur rapikan dulu tempat tidurmu!”
“Nadya, pakaian kotornya jangan ditabung dalam kamar terus!”
“Trishia, mainannya nanti dirapikan kembali ya!”
Dan hal itu masih ditambah dengan tuntutan-tuntutan yang meskipun terasa
ringan di lidah lelakinya, namun terasa menjengkelkan baginya.
“Kayaknya kamu bertambah gemuk sedikit.”
“Pengeluaran yang enggak terlalu penting ditekan sedikit ya.”
“Aku tak melarangmu bekerja, tapi aku tak mau rumah terlihat berantakan.”
Hampir setiap hari seperti itu. Tak bisa lepas. Tak bisa ditinggalkan.
Bahkan terkadang terasa amat membosankan. Ia pernah coba meninggalkan rumah.
Dua hari dua malam di rumah baru sahabat karib yang sengaja mengundangnya
menginap. Tanpa si bungsu Trishia. Belum genap sehari semalam HPnya sudah
terjaga mengabarkan rumah yang kangen, rumah yang sepi, dan rumah yang
berantakan. Dan ini kenyataan. Ia tak bisa lepas dari kenyataan.
Adakah tempat aman yang bisa membebaskannya dari kenyataan? Mimpi. Ya,
mimpi. Mimpi mungkin bisa dijadikan tempat liburan sejenak.
Sadar dengan hal itu, ia pun kemudian berencana mengatur mimpi-mimpinya. Konon,
mimpi bisa diatur atau sedikit banyak bisa dipengaruhi. Caranya dengan terus
memikirkan apa yang dingini, terutama menjelang tidur. Maka, setiap beranjak
memejamkan mata, ia hilangkan suami dan ketiga anaknya…
* * *
Ia perempuan yang sendirian sekarang. tinggal di sebuah rumah namun tak
terikat dengan rumah itu. Ia bebas melakukan apapun, dan waktu bisa ia setir
sesuka hati.
Di satu hari ia bangun jam enam pagi. Di hari berikutnya ia bangun jam
sembilan pagi. Pernah bahkan ia dibangunkan lapar jam tiga sore.
Cuci baju kadang seminggu sekali, kadang tiap sepuluh hari sekali, saat
semangatnya muncul kadang tiga hari sudah ia tandangi. Piring kotor, lantai
kotor, halaman rumah kotor, tempat tidur yang masai, dapur berantakan, atau
rumah yang bak kapal pecah, bukanlah sesuatu yang mengganggunya karena ia bisa
membereskannya kapanpun ia mau.
Uang juga bukan sesuatu yang harus ia kejar. Ia memiliki banyak saham,
tabungan selama masa kuliah yang kini telah berkembang.
Ia pencinta sastra. Sesekali ia juga menulis sastra. Cerpen dan puisi
menjadi temannya bersenang-senang saat malam hari. Sementara pagi hari ia
pergunakan untuk berganti-ganti main ke rumah teman, menjadi wartawan tanpa
surat kabar, atau sesuka hati pergi ke tempat manapun yang ia mau.
Ia menikmati kebebasannya meski semua saudara tuanya kerap
mempermasalahkan hal itu.
“Apa kau tak memikirkan masa tuamu nanti? Siapa yang akan merawatmu
kelak?” kakak perempuannya yang sulung.
“Apa kau mau selamanya merepotkanku seperti ini?” sindir kakak lelakinya
yang nomor tiga. Yang kebagian mengantarkan ke dokter jika ia sakit berat.
“Aku yakin, Ibu dan Bapak pasti akan selalu mengomelimu jika tahu
keadaanmu justru seperti ini sepeninggal mereka,” kakak perempuannya yang nomor
dua pun tak kalah sadis.
Namun ia tak pernah mempermasalahkan gaya hidupnya sendiri. Ia memang tak
mau pusing dengan segala yang bersifat mengikat dan membelenggu. Meski ia amat
menyukai anak-anak, tapi ia punya cara sendiri dalam mengungkapkan kecintaannya
itu.
Pada hari Sabtu Minggu ia punya jadwal khusus dengan anak-anak kurang
beruntung yang tinggal di sekitar tempat tinggalnya. Ia mengajari mereka baca
tulis. Tak setengah-setengah ia melakukan itu. Fasilitas ia berikan cuma-cuma.
Ia bahkan memberika reward bagi anak asuhnya yang karyanya mampu masuk
media massa.
Semua kesibukannya itu membenamkan kesadarannya tentang umur. Itulah
kenapa segala peringatan atau sindiran perihal kesendiriannya selalu akan masuk
telinga kanan keluar telinga kiri. Baginya, asal ia bahagia menjalani semua,
apa yang mesti dipersoalkan lagi?
Hanya saja, di celah kecil jalanan waktu, ada juga terselip sebuah
keinginan yang kadang mengganggu malam-malamnya. Sebuah kehidupan lain yang
kadang membuatnya cemburu…
* * *
Cermin oh cermin. Ia kerap memerhatikan dengan seksama perempuan dalam
cermin yang rutin ia jumpai menjelang dan setelah bangun tidur. Adakah yang
kurang dalam kehidupannya?
Suaminya seorang pekerja keras. Meski tak sampai bergelimang harta, tapi
semua kebutuhan tercukupi. Sandang, pangan, papan, pendidikan anak-anak, cinta,
ketenangan…
“Andai Tuhan memanggil salah satu dari kita, dan itu pasti, aku ingin aku
saja yang dipanggil duluan.”
“Kau ini mau enaknya saja. Kalau kau pergi duluan, bagaimana dengan
pendidikan anak-anakmu, hm? Beda kalau
aku yang pergi duluan. Risikonya lebih kecil.”
“Apa kau pikir mencarikan makan sekaligus menjaga mereka itu mudah?”
“Kau bisa cari istri lagi.”
“Kau juga bisa cari suami lagi nanti.”
“Aku tak yakin bisa mencari lelaki yang mampu tulus ikhlas mencintai yang
bukan darah dagingnya.”
“Apa kamu pikir aku akan tega anak-anakku diasuh oleh perempuan yang tak
sepenuh hati mencintai mereka?”
“Kamu saja yang mencari, aku tidak mau.”
“Aku juga tidak mau.”
“Kita mati bersama?”
“Mmm…?”
“Mmm…”
Dan malam bergulir tanpa terasa. Segala lelah diendapkan sempurna. Semua
masalah didekap bersama. Segala resah dibagi berdua. Saling mengikat dan
terikat satu sama lain.
Hari menggulung waktu. Musim silih ganti bertamu. Hatinya buku harian
tanpa batasan halaman. Ia banyak mencatat. Semakin ke depan, ada sebuah risau
yang kadang terpancar di wajah perempuan dalam cermin itu.
Apakah tugasnya hanya sebagai pengantar anak-anak meraih bintang? Apakah
fungsinya hanya menjadi punggung lelaki? Banyak pertanyaan yang kerap
membuatnya terlempar ke dunia lain. Sebuah dunia di mana ia bisa lebih bebas
menjadi diri sendiri…
* * *
Kepuasan batin, itulah yang membuatnya betah mendermakan hidup kepada
yang lain. Itu juga yang ia katakan kepada seorang wartawan ketika diwawancarai dengan kapasitas sebagai pekerja
sosial. Termasuk alasan kenapa ia masih betah hidup sendiri. Ia tak mau
menyandarkan kebahagiaan pada pandangan orang lain.
“Aku menyukaimu. Aku menyukai semua yang ada padamu. Jangan khawatir, aku
takkan mengungkung kebebasanmu setelah nanti,” ujar seorang pria kepadanya di
sebuah percakapan dua mata.
“Kamu belum melihat semua yang ada padaku.”
“Memangnya masih ada yang kamu sembunyikan?”
“Iya.”
“Aku akan berusaha tidak keberatan dengan hal itu.”
“Ah, tidak. Aku tidak yakin kau akan bisa menerimanya.”
“Apa itu yang kau tidak yakin aku akan bisa menerimanya?”
“Sudahlah…”
Ia memang tak yakin dengan para lelaki yang berniat mendekatinya. Ia
belum menemukan seorang pun yang memiliki pandangan lain atas pernikahan. Ia
tak mau diikat atau terikat. Ia tak mau merasa terjajah. Meski di salah satu
kamar dalam hatinya ada sebuah perasaan yang kerap membuatnya rindu dengan
sebuah dunia lain. Dunia yang dimiliki kebanyakan perempuan…
* * *
Ia selalu berusaha agar kenyataan terasa menyenangkan, meski di salah
satu kamar dalam hatinya ada sebuah dunia lain yang kelihatannya mampu
membuatnya lebih hidup. Ia perempuan yang kerap tergoda dengan kehidupan
khayali. Ia perempuan yang ingin hidup di dunia mimpi.*****
Kalinyamatan – Jepara, 2013.
(Adi Zamzam, Jurnal Nasional 15 Desember 2013)
ilustrasi; lifehacker/pinterest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar