Warsito dan Masa Depan Penyakit Kanker
Judul Buku : Setrum
Warsito
Penulis :
Fenty Effendy
Penerbit :
Penerbit Noura Books
Cetakan : Pertama, Mei 2017
Tebal : XIX+ 317 halaman
ISBN :
978-602-385-274-1
Bermula dari keengganan mbakyunya
menjalani kemoterapi pasca dideteksi menderita kanker payudara stadium empat,
siapa sangka kalau lelaki yang pernah menjadi pembicara inti termuda di forum The 4th International Conference
on Gas-Liquid-Solid Reactor Engineering—hingga kemudian mencuatkan namanya
di jurnal ilmiah Chemical Engineering
Science No. 54 tahun 1999, ini kemudian berhasil membuktikan bahwa konsep
ECVT temuannya akan bisa menurunkan alat penyintas kanker.
Electrical Capacitance Volume
Tomography (ECVT) merupakan konsep melihat tembus berbasis medan listrik di
luar sembarang yang dihasilkan melalui pemanfaatan “efek medan pinggir”. Tak
hanya dilirik oleh NASA untuk pengembangan sistem pemindaian dinding luar
pesawat ulang-alik dalam menjalankan misinya di luar angkasa (hal. 118), ECVT
juga memungkinkan proses pemindaian tubuh jadi lebih murah dan mudah dibanding CT-Scan dan MRI. Pasien tak
perlu masuk tabung, namun cukup dilewatkan pintu detektor dengan akurasi gambar
tiga dimensi.
“Mekanisme otak, jantung, ginjal, paru-paru, sistem pencernaan, sistem
hormonal, otot-otot, dan berbagai jaringan lainnya, semuanya bekerja berdasar
sistem kelistrikan. Setiap sel di tubuh kita memiliki tegangan antara minus 90
milli-Volt pada saat rileks, sampai minus 40 milli-Volt pada saat
beraktivitas,” begitu ujar doktor lulusan terbaik Shizuoka University ini (hal.
72). Dengan pengetahuan tambahan dari berbagai sumber, lelaki yang di masa mudanya
senang menyalin rumus pada lipatan kertas saat membantu bapaknya di sawah ini
pun kemudian mengambil celah pada proses terjadinya perikatan rantai
mikrotubora demi menjinakkan sel-sel jahat (kanker) dengan ECCT temuannya.
Kesimpulannya itu pun kemudian terbukti. Setelah mbakyunya dinyatakan lolos dari kanker, menyusul kemudian pasien
Willy Saputra pun dinyatakan terbebas dari kanker otak, dan si kecil Seha
Rafika Mumtaz terselamatkan dari sanderaan hidrocefalus. Temuan ini pun
seketika menjadi booming dan menjadi
harapan baru bari ribuan penderita kanker yang merasa putus asa dengan jalan
medis yang selama ini tak memberikan kepastian atas kesembuhan mereka.
Kisah ini kemudian menjadi amat menarik dan begitu kontras ketika sampai
di bagian akhir. ECCT yang dalam perjalanannya berhasil menarik sekitar 3.200
pasien dengan hasil sekitar 47% membaik, 43% tak menunjukkan kemajuan, dan 10%
memburuk ini ternyata mendapatkan penolakan dari sejumlah pemangku dunia medis
itu sendiri (hal. 246). Kegaduhan pun terjadi. Shinta Rini—salah seorang
penderita kanker, dengan lirih bersuara, “Ada yang bertanya, mengobati kanker
kok coba-coba pakai ECCT. Izinkan saya balik bertanya, ketika terapi medis yang
hasilnya masih jauh dari melegakan, bukankah bagi kami itu juga coba-coba?
Kenapa sih ECCT begitu mengusik, sementara pengobatan alternatif lainnya
tidak?” (hal. 250)
Berawal dari surat bertanggal 20 November 2015 dari Sekjen Kementrian
Kesehatan yang meminta Walikota Tangerang untuk menertibkan C-Care dengan
alasan tidak dikenalnya ‘klinik riset’ dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 9
Tahun 2014. Penolakan pun kemudian juga datang dari PP PARABOI melalui surat
edarannya. Warsito pun menanggapinya dengan sikap lunak dan kepala dingin.
Sebab, di luar negeri, praktik sedemikian jamak terjadi. Peserta di Beverungen,
Jerman, di mana ia tampil sebagai undangan khusus, adalah orang-orang yang
menjalankan layanan kesehatan dan mengoperasikan klinik di negara
masing-masing.
Membaca buku ini, kita pun jadi seolah dihadapkan pada pleidoi Warsito
atas tuduhan miring yang bertubi dialamatkan kepadanya. Tak hanya menceritakan
perjuanganan panjangnya selama menekuni riset, baik dalam hal pendanaan,
kondisi keluarga, pengakuan dunia, bahkan godaan jabatan (dia pernah ditawari
posisi menteri), buku ini juga merangkum berita-berita positif terkait kemajuan
penelitian kematian sel kanker akibat medan listrik statis.
Warsito masih begitu optimis dengan temuannya. Dari yang tadinya hanya
untuk kebutuhan efisiensi di industri perminyakan, ternyata misi ruang angkasa
juga butuh. Kemudian dikembangkan lagi untuk alat pemindai tubuh dan otak
manusia, penjinak kanker, pendukung program hutan tanaman industri, bahkan
pengontrol eksplorasi bahan tambang di perut bumi. Betapa pun iklim dunia ilmu
pengetahuan di negeri ini begitu suram, dan ia mulai mafhum mengapa banyak
ilmuwan yang kemudian lebih memilih negeri asing sebagai tanah air kedua.*
Nur Hadi, Radar Sampit, Minggu 26 November 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar