Senin, 27 November 2017

Warsito dan Masa Depan Penyakit Kanker



Warsito dan Masa Depan Penyakit Kanker




 
Judul Buku  :  Setrum Warsito
Penulis        :  Fenty Effendy
Penerbit       :  Penerbit Noura Books
Cetakan       : Pertama, Mei 2017
Tebal           : XIX+ 317 halaman
ISBN           :  978-602-385-274-1


Bermula dari keengganan mbakyunya menjalani kemoterapi pasca dideteksi menderita kanker payudara stadium empat, siapa sangka kalau lelaki yang pernah menjadi pembicara inti termuda di forum The 4th International Conference on Gas-Liquid-Solid Reactor Engineering—hingga kemudian mencuatkan namanya di jurnal ilmiah Chemical Engineering Science No. 54 tahun 1999, ini kemudian berhasil membuktikan bahwa konsep ECVT temuannya akan bisa menurunkan alat penyintas kanker.
Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) merupakan konsep melihat tembus berbasis medan listrik di luar sembarang yang dihasilkan melalui pemanfaatan “efek medan pinggir”. Tak hanya dilirik oleh NASA untuk pengembangan sistem pemindaian dinding luar pesawat ulang-alik dalam menjalankan misinya di luar angkasa (hal. 118), ECVT juga memungkinkan proses pemindaian tubuh jadi lebih murah dan  mudah dibanding CT-Scan dan MRI. Pasien tak perlu masuk tabung, namun cukup dilewatkan pintu detektor dengan akurasi gambar tiga dimensi.
“Mekanisme otak, jantung, ginjal, paru-paru, sistem pencernaan, sistem hormonal, otot-otot, dan berbagai jaringan lainnya, semuanya bekerja berdasar sistem kelistrikan. Setiap sel di tubuh kita memiliki tegangan antara minus 90 milli-Volt pada saat rileks, sampai minus 40 milli-Volt pada saat beraktivitas,” begitu ujar doktor lulusan terbaik Shizuoka University ini (hal. 72). Dengan pengetahuan tambahan dari berbagai sumber, lelaki yang di masa mudanya senang menyalin rumus pada lipatan kertas saat membantu bapaknya di sawah ini pun kemudian mengambil celah pada proses terjadinya perikatan rantai mikrotubora demi menjinakkan sel-sel jahat (kanker) dengan ECCT temuannya.
Kesimpulannya itu pun kemudian terbukti. Setelah mbakyunya dinyatakan lolos dari kanker, menyusul kemudian pasien Willy Saputra pun dinyatakan terbebas dari kanker otak, dan si kecil Seha Rafika Mumtaz terselamatkan dari sanderaan hidrocefalus. Temuan ini pun seketika menjadi booming dan menjadi harapan baru bari ribuan penderita kanker yang merasa putus asa dengan jalan medis yang selama ini tak memberikan kepastian atas kesembuhan mereka.
Kisah ini kemudian menjadi amat menarik dan begitu kontras ketika sampai di bagian akhir. ECCT yang dalam perjalanannya berhasil menarik sekitar 3.200 pasien dengan hasil sekitar 47% membaik, 43% tak menunjukkan kemajuan, dan 10% memburuk ini ternyata mendapatkan penolakan dari sejumlah pemangku dunia medis itu sendiri (hal. 246). Kegaduhan pun terjadi. Shinta Rini—salah seorang penderita kanker, dengan lirih bersuara, “Ada yang bertanya, mengobati kanker kok coba-coba pakai ECCT. Izinkan saya balik bertanya, ketika terapi medis yang hasilnya masih jauh dari melegakan, bukankah bagi kami itu juga coba-coba? Kenapa sih ECCT begitu mengusik, sementara pengobatan alternatif lainnya tidak?” (hal. 250)
Berawal dari surat bertanggal 20 November 2015 dari Sekjen Kementrian Kesehatan yang meminta Walikota Tangerang untuk menertibkan C-Care dengan alasan tidak dikenalnya ‘klinik riset’ dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2014. Penolakan pun kemudian juga datang dari PP PARABOI melalui surat edarannya. Warsito pun menanggapinya dengan sikap lunak dan kepala dingin. Sebab, di luar negeri, praktik sedemikian jamak terjadi. Peserta di Beverungen, Jerman, di mana ia tampil sebagai undangan khusus, adalah orang-orang yang menjalankan layanan kesehatan dan mengoperasikan klinik di negara masing-masing.
Membaca buku ini, kita pun jadi seolah dihadapkan pada pleidoi Warsito atas tuduhan miring yang bertubi dialamatkan kepadanya. Tak hanya menceritakan perjuanganan panjangnya selama menekuni riset, baik dalam hal pendanaan, kondisi keluarga, pengakuan dunia, bahkan godaan jabatan (dia pernah ditawari posisi menteri), buku ini juga merangkum berita-berita positif terkait kemajuan penelitian kematian sel kanker akibat medan listrik statis.
Warsito masih begitu optimis dengan temuannya. Dari yang tadinya hanya untuk kebutuhan efisiensi di industri perminyakan, ternyata misi ruang angkasa juga butuh. Kemudian dikembangkan lagi untuk alat pemindai tubuh dan otak manusia, penjinak kanker, pendukung program hutan tanaman industri, bahkan pengontrol eksplorasi bahan tambang di perut bumi. Betapa pun iklim dunia ilmu pengetahuan di negeri ini begitu suram, dan ia mulai mafhum mengapa banyak ilmuwan yang kemudian lebih memilih negeri asing sebagai tanah air kedua.*

Nur Hadi, Radar Sampit, Minggu 26 November 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar