Senin, 28 Agustus 2017

Membaca Masa Depan, Sebuah Kata Pengantar untuk Buku Ke-2



Membaca Masa Depan





Masa depan adalah sesuatu yang absurd, yang takkan bisa ditebak dengan rumus apa pun. Inilah yang kemudian menumbuhkan perasaan negatif dalam pikiran Arya Sena. Untuk memberikan efek penyeimbang, saya hadirkan tokoh Bambang Harmoko yang begitu yakin dengan segala usaha dan kerja kerasnya.

Mengingat cerita ini, adalah juga mengingat ketika saya masih memakai mesin ketik manual untuk mengetik setiap cerita setelah selesai saya tulis di buku tulis. Rasanya memang melelahkan sekali. Orangtua saya bahkan sempat menganggap bahwa apa yang saya lakukan adalah sesuatu yang sia-sia.
Mengingat cerita ini, juga mengingat ketika daerah Wareng masih berupa area yang disejukkan oleh deretan pepohonan kapuk randu. Sungai yang mengalir di situ bahkan masih dihuni oleh aneka ikan kali yang melimpah. Tapi siapa tahu, lamunan saya—beberapa tahun kemudian, menjelma menjadi sesuatu yang nyata. Apa yang saya khawatirkan ternyata terjadi. Daerah itu kini telah lenyap dan berganti dengan deretan pabrik yang berhawa panas. Dan sungainya mati tertimbun sampah.
Mengingat cerita ini, adalah mengingat kebaikan Pak Sayid Imron (Impong) yang selalu setia mendengarkan ocehan omong kosong saya tentang dunia literasi—padahal ketika itu saya sendiri masih belum tahu apa-apa. Beliaulah yang meminjami saya mesin ketik manual hingga kemudian mampu beli mesin ketik sendiri (dari honor menulis) lantaran mesin ketik beliau mulai anyang-anyangan (maksudnya rusak).
Mengingat cerita ini sebenarnya juga mengingat keputusasaan saya, lantaran ketika itu Majalah An-Nida (media yang mau menerima karya masa-masa awal saya akhirnya menyerah di dunia nyata dan harus bertransformasi ke dunia maya). Cerbung yang sekiranya saya gunakan untuk ‘menyerang’ Nida cetak ternyata nasibnya ‘hanya’ tayang di media online, sebuah dunia yang bagi saya sendiri sebenarnya masih asing.
Mengingat cerita ini adalah juga mengingat jasa Agus Prayoga yang mengenalkan saya dengan An-Nida, Anwar Musyaddad yang mesti rela melayani kegilaan saya dengan HP 3G untuk mengintip Nida Online, Agus Listiyono yang jadi pengawal dadakan demi berburu komputer bekas, serta teman-teman yang berusaha membawa saya ke dunia lain selain ‘rumah’nya An Nida. Kenangan-kenangan ini mungkin terdengar remeh, namun mesti saya ingat seumur hidup.
Mengingat cerita ini adalah mengingat masa pertama kali saya mengenal email dan facebook.
Dan setelah teringat dengan semua itu, masa depan rasanya bukanlah hal yang absurd lagi lantaran semuanya sepertinya memang telah ditentukan sejak dari masa lalu (saya tiba-tiba jadi jatuh cinta dengan karakter Bambang :-D ).
 Dan setelah tujuh tahun terpendam dalam ‘rumah’nya Nida, saya bersyukur sekali akhirnya kisah sepasang sahabat ini bisa keluar menemui pembacanya di dunia nyata. Alhamdulillah.*


O ya, untuk pemesanan, silakan meluncur ke web penerbit DIVA Press ya...!
            Lewat saya juga bisa. SMS/WA: 085740647371

Tidak ada komentar:

Posting Komentar