Telaah Kasus Bukit Rigis Lampung dan
Buruknya Pengelolaan Konflik Lingkungan
Judul Buku : Penanganan
Konflik Lingkungan, Kasus Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis Lampung
Penulis :
Gamal Pasya
Penerbit :
PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan :
Pertama, Juni 2017
Tebal : 272 halaman
ISBN :
978-602-03-5140-7
Dilatarbelakangi kenyataan bahwa konflik di wilayah Hutan
Lindung Bukit Rigis Lampung yang tak kunjung terselesaikan, dan bahkan sempat
mendapatkan julukan sebagai “Sumber Bencana” oleh beberapa aparat kehutanan
yang sudah hampir pesimis mencari upaya penyelesaian, Gamal mulai bisa melihat
bahwa akar semua persoalan itu berasal dari sistem desentralisasi tata kelola
sumber daya alam dan lingkungan yang dilakukan sebagai bagian dari penguatan
masyarakat dan pemerintahan di daerah. Ketidaksiapan sebagian institusi
pemerintahan di daerah dalam menyambut gelora demokrasi, membuat konflik tata
kelola SDA dan lingkungan jadi terseret ke ranah politik.
Terbagi dalam empat pokok garis besar, buku begitu runtut
dalam merumuskan masalah dan kemudian berusaha menemukan hipotesisnya. Pertama,
menelaah kebijakan-kebijakan kehutanan, pengelolaan lingkungan hidup, agraria,
tata ruang, dan otonomi daerah dalam penanganan konflik lingkungan pengelolaan
kawasan hutan. Dua, meneliti faktor-faktor yang memengaruhi konflik dalam
pengelolaan kawasan lindung berkaitan dengan fungsi lingkungan hutan. Ketiga,
mengkaji gaya pengelolaan konflik yang diperagakan masing-masing pihak yang
terlibat dalam konflik dan polarisasi konflik yang terjadi. Serta mengembangkan
model penanganan konflik lingkungan secara kognitif didasarkan pengalaman yang
diperoleh para pihak yang bersengketa.
Gamal juga mengoreksi penjelasan pasal 31 Undang-Undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) bahwa penyelesaian sengketa lingkungan
hidup melalui perundingan di luar pengadilan dilakukan secara sukarela oleh
para pihak yang berkepentingan (stakeholder),
yaitu para pihak yang mengalami kerugian, yang mengakibatkan kerugian, instansi
pemerintah yang terkait dengan subjek yang disengketakan serta dapat melibatkan
pihak yang mempunyai kepedulian terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Definisi
ini dapat membingungkan pemahaman orang mengenai lingkungan hidup, lantaran
lingkungan hidup menurut UUPLH sendiri tak hanya mencakup soal pencemaran dan
perusakan saja. Seharusnya, sengketa lingkungan hidup juga mencakup kewenangan
atau bahkan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup (hal. 75).
Dari catatan atas faktor-faktor penyebab ekskalasi
konflik yang berupa bencana antropogenik, tingkat kesejahteraan, persepsi
terhadap status fungsi kawasan hutan, kepemilikan lahan pertanian, dan etik
ekosentrik, Gamal menawarkan sejumlah kebijakan yang semestinya bisa diambil
guna mencari kompromi atau kolaborasi. Kebijakan afirmatif ini memberikan
kepastian untuk bertindak, kemudahan-kemudahan, atau memberikan pengecualian,
termasuk jika payung hukum yang lebih tinggi belum tersedia.
Sejumlah faktor yang menjadi penyebab fatal lahirnya
konflik, Gamal catat dengan tinta tebal bahwa cara-cara frontal dalam mencari
jalan keluar atas konflik lingkungan, selamanya justru hanya menimbulkan
sejumlah masalah turunan yang tak kunjung padam.
Juli 1994, Tim Koordinasi Pengamanan Hutan (TKPH) yang
terdiri atas aparat kepolisian, kehutanan, dan Pemda, melakukan operasi
pengusiran penduduk di kawasan hutan di sekitar Desa Purajaya, Purawiwitan, dan
Muarajaya, Kecamatan Sumberjaya. Rumah-rumah di 86 lokasi dirobohkan, lebih
dari 700 hektare tanaman kopi dibabat dan sebagian dari 1.271 KK ditranslokkan
ke Mesuji Lampung Utara. Kedua, yakni apa yang kemudian dikenal sebagai
“Operasi Gajah” pada Februari 1995. Pengusiran penduduk di Desa Dwi
Kora—Kecamatan Bukit Kemuning, dan Desa Sukapura, Tribudisyukur—Kecamatan
Sumberjaya, tersebut juga disertai pembabatan tanaman kopi produktif. Tindak
kekerasan yang kemudian juga mengakibatkan kematian tiga ekor satwa TN Way
Kambas itu memperlihatkan bahwa penanganan masalah deforestasi yang tidak tepat,
justru akan menuai permasalahan turunan yang tak kalah peliknya.
Dengan memerhatikan tingginya preferensi para pihak dalam
menyelesaikan konflik melalui negosiasi dan fasilitasi menjadi landasan
pengambilan keputusan dalam mengembangkan model penanganan konflik lingkungan,
buku ini layak dijadikan acuan.*
Nur Hadi, Lampung Post, Minggu 7 Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar