Senin, 27 November 2017

Telaah Kasus Bukit Rigis Lampung dan Buruknya Pengelolaan Konflik Lingkungan



Telaah Kasus Bukit Rigis Lampung dan Buruknya Pengelolaan Konflik Lingkungan




Judul Buku  :  Penanganan Konflik Lingkungan, Kasus Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis Lampung
Penulis        :  Gamal Pasya
Penerbit       :  PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan       :  Pertama, Juni 2017
Tebal           :  272 halaman
ISBN           :  978-602-03-5140-7


Dilatarbelakangi kenyataan bahwa konflik di wilayah Hutan Lindung Bukit Rigis Lampung yang tak kunjung terselesaikan, dan bahkan sempat mendapatkan julukan sebagai “Sumber Bencana” oleh beberapa aparat kehutanan yang sudah hampir pesimis mencari upaya penyelesaian, Gamal mulai bisa melihat bahwa akar semua persoalan itu berasal dari sistem desentralisasi tata kelola sumber daya alam dan lingkungan yang dilakukan sebagai bagian dari penguatan masyarakat dan pemerintahan di daerah. Ketidaksiapan sebagian institusi pemerintahan di daerah dalam menyambut gelora demokrasi, membuat konflik tata kelola SDA dan lingkungan jadi terseret ke ranah politik.
Terbagi dalam empat pokok garis besar, buku begitu runtut dalam merumuskan masalah dan kemudian berusaha menemukan hipotesisnya. Pertama, menelaah kebijakan-kebijakan kehutanan, pengelolaan lingkungan hidup, agraria, tata ruang, dan otonomi daerah dalam penanganan konflik lingkungan pengelolaan kawasan hutan. Dua, meneliti faktor-faktor yang memengaruhi konflik dalam pengelolaan kawasan lindung berkaitan dengan fungsi lingkungan hutan. Ketiga, mengkaji gaya pengelolaan konflik yang diperagakan masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik dan polarisasi konflik yang terjadi. Serta mengembangkan model penanganan konflik lingkungan secara kognitif didasarkan pengalaman yang diperoleh para pihak yang bersengketa.
Gamal juga mengoreksi penjelasan pasal 31 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui perundingan di luar pengadilan dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang berkepentingan (stakeholder), yaitu para pihak yang mengalami kerugian, yang mengakibatkan kerugian, instansi pemerintah yang terkait dengan subjek yang disengketakan serta dapat melibatkan pihak yang mempunyai kepedulian terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Definisi ini dapat membingungkan pemahaman orang mengenai lingkungan hidup, lantaran lingkungan hidup menurut UUPLH sendiri tak hanya mencakup soal pencemaran dan perusakan saja. Seharusnya, sengketa lingkungan hidup juga mencakup kewenangan atau bahkan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup (hal. 75).
Dari catatan atas faktor-faktor penyebab ekskalasi konflik yang berupa bencana antropogenik, tingkat kesejahteraan, persepsi terhadap status fungsi kawasan hutan, kepemilikan lahan pertanian, dan etik ekosentrik, Gamal menawarkan sejumlah kebijakan yang semestinya bisa diambil guna mencari kompromi atau kolaborasi. Kebijakan afirmatif ini memberikan kepastian untuk bertindak, kemudahan-kemudahan, atau memberikan pengecualian, termasuk jika payung hukum yang lebih tinggi belum tersedia.
Sejumlah faktor yang menjadi penyebab fatal lahirnya konflik, Gamal catat dengan tinta tebal bahwa cara-cara frontal dalam mencari jalan keluar atas konflik lingkungan, selamanya justru hanya menimbulkan sejumlah masalah turunan yang tak kunjung padam.
Juli 1994, Tim Koordinasi Pengamanan Hutan (TKPH) yang terdiri atas aparat kepolisian, kehutanan, dan Pemda, melakukan operasi pengusiran penduduk di kawasan hutan di sekitar Desa Purajaya, Purawiwitan, dan Muarajaya, Kecamatan Sumberjaya. Rumah-rumah di 86 lokasi dirobohkan, lebih dari 700 hektare tanaman kopi dibabat dan sebagian dari 1.271 KK ditranslokkan ke Mesuji Lampung Utara. Kedua, yakni apa yang kemudian dikenal sebagai “Operasi Gajah” pada Februari 1995. Pengusiran penduduk di Desa Dwi Kora—Kecamatan Bukit Kemuning, dan Desa Sukapura, Tribudisyukur—Kecamatan Sumberjaya, tersebut juga disertai pembabatan tanaman kopi produktif. Tindak kekerasan yang kemudian juga mengakibatkan kematian tiga ekor satwa TN Way Kambas itu memperlihatkan bahwa penanganan masalah deforestasi yang tidak tepat, justru akan menuai permasalahan turunan yang tak kalah peliknya.
Dengan memerhatikan tingginya preferensi para pihak dalam menyelesaikan konflik melalui negosiasi dan fasilitasi menjadi landasan pengambilan keputusan dalam mengembangkan model penanganan konflik lingkungan, buku ini layak dijadikan acuan.*

Nur Hadi, Lampung Post, Minggu 7 Oktober 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar