Selasa, 17 Maret 2015

Tentang Antara Aku, Ibu, dan Gadis Kecil yang Kehilangan Ibunya



Tentang Antara Aku, Ibu, dan Gadis Kecil yang Kehilangan Ibunya




Adalah rindu yang membangunkanku pagi ini. Mataku langsung menemukan angka istimewa di kalender. Sebuah tanggal yang telah berumur empatpuluh lima tahun lebih, yang mengingatkanku pada seorang perempuan.
Kenangan mengepul dari sebuah potret di atas meja belajarku. Dia selalu tersenyum. Senyum yang kadang terasa luka, namun entah mengapa selalu menguarkan rindu. Apapun yang terjadi dia akan selalu tersenyum untukku. Pun saat menghadapi tugas-tugas dari dosen hukum pidana yang jarang senyum itu.
Ketika itu semua temanku sampai tersedak.
“Kamu waktu itu ikut ‘goyang’ enggak?”[1] pancing lelaki gaek itu, coba membangunkan kelas.
Sebuah loncatan besar, kata teman-temanku. Sebab lelaki uban yang pernah menjadi singa meja hijau itu terkenal pelit gurauan. Kasus terfiktif yang pernah dilontarkan. Tapi aku justru hampir muntah. Tumpukan buku tentang hukum pidana mendadak menjelma buku diary Ibu yang menguarkan kesedihan.

Cahaya telah menerobos celah jendela. Aku si rindu udara segar sekarang. Bangkit. Tak kupeduli seprei masai. Kuhirup dalam-dalam. Kubayangkan senyum itu datang menghampiriku setelah meletakkan segelas teh di meja belajar. Jika tak juga gegas, kelambu akan dibukanya lebar-lebar hingga cahaya bebas menjajah semua, terutama mataku.
“Kau sudah bertambah satu tahun sekarang. Itu berarti jatah Ibu untuk menjagamu sudah berkurang satu tahun pula. Belajarlah untuk bangun sendiri.”
   *          *          *

Bertahun-tahun aku bangun sendiri. Walau kehidupan kadang amat buruk dan tak bersahabat. Aku sangat menginginkan kejujuran perempuan itu.
“Ayahmu sudah meninggal. Tak usah kau bertanya-tanya tentang dia.”
“Makamnya di mana, Bu?”
Kuregangkan tubuh sejenak. Dia muncul lagi ketika pelan kuhirup teh. Kubayangkan dia  memukulku untuk menggiring ke kamar mandi. Aku meraung-raung di sana kemudian. Memanggil Ayah. Berharap lelaki itu muncul untuk membela kemalasanku.
Di kamar mandilah aku sering membayangkan Ayah. Aku yakin wajahku mirip wajah lelaki itu. Wajahku sama sekali tak mirip wajah Ibu. Karena itulah aku kerap memanggilnya dengan wajahku sendiri di bayang air bak kamar mandi. Aku tanyai dia, kenapa kau tega meninggalkanku? Apa yang membuatmu pergi? Lalu jika sudah bosan, kutonjok wajah lelaki itu. Bertahun-tahun. Masa cengeng ini berakhir ketika aku SMP.
Kujenguk akun facebooknya. Tak ada aktivitas selama seminggu ini. Menimbang-nimbang. Baguskah jika kusampaikan kalimat bahagia itu di wallnya? Mestinya aku juga bisa langsung telepon lewat HP. Tapi entahlah. Hambar saja rasanya. Mataku pun bergerilya. Mengingat-ingat apa saja tentang kesukaannya.
“Aku hanya ingin tahu, Bu. Apa tidak boleh?” Saat itu aku sudah lepas dari  seragam putih abu-abu.
“Sudah kubilang, dia sudah mati. Apa kau lebih percaya dengan mulut mereka dibanding dengan mulut ibumu ini?” Aku tahu dia bohong.
 “Kenapa tak menikah lagi saja, Bu? Carikan aku ayah baru, yang lebih bertanggungjawab,” dengan nada gurau, saat kami sedang berkebun.
Binar matanya seketika suram. Seolah mawar di tangannya tak lagi berbau harum. Dia lalu pergi meninggalkanku. Sejak saat itulah tak pernah kuungkit perihal lelaki kabut dalam masa lalunya.
*             *          *

Langit cerah. Semua terlihat begitu sibuknya dengan tujuan masing-masing. Entah apa yang menggerakkan mereka, tak ada yang peduli dengan hal itu. Begitulah kehidupan di kota ini. Dan aku rasa, adalah rindu yang menggerakkanku pagi ini. Lalu-lalang manusia terasa hening. Suara-suara terbungkam. Gang-gang yang terlewati menjelma  sudut-sudut gelap dalam hatiku yang menyimpan ratusan kisah dengan perempuan itu.
Aku si penunggu sekarang. Toko bunga yang kutuju telat buka. Di tempat itu aku bertemu dengan seorang gadis kecil.
“Menunggu siapa, Dik?”
Rambut sebahunya kemerahan tertimpa cahaya pagi. Terlihat disisir, namun tak bisa disembunyikannya bahwa mahkota itu kurang terawat. Seperti bajunya yang kumal, juga wajahnya yang tirus. Warna kulitnya pun seperti peta kehidupan yang mudah dilihat dengan mata telanjang. Hitam dan kusam.
“Mau beli hadiah buat Ibu,” senyumnya.
“Bunga?” heranku. Ia mengangguk mantap.
Dan percakapan pun sambung-menyambung. Aku harus bersyukur karena mendapatkan teman membunuh bosan.
“Tak punya bapak?”
“Tapi ibu Tika amat penyayang,” masih terlihat riang. Membuatku menoleh ke lain tempat, membuang kenangan menyakitkan yang hendak melintas dalam benak.
Ketika pintu toko bunga itu dibuka, kubayangkan rangkaian kalimat yang akan kusertakan dalam paket kirimanku.
“Uangmu kurang ini,” kalimat lelaki pemilik toko menyadarkanku dari lamun. Kulihat tangan mungil itu buru-buru meletakkan kembali dua kuntum mawar yang sudah diambil.
“Ambil satu. Ini juga masih kurang seratus perak,” lelaki itu menghitung kembali uang receh di tangannya.
“Biar saya yang bayar, Mas. Kamu mau ambil berapa tangkai, Tika?”
Tiba-tiba  gadis kecil itu meraih tangan kananku dan menciuminya berkali-kali.
“Kenapa cuma ambil empat kuntum?”
“Yang ini karena Ibu telah mau menerimaku, yang ini karena Ibu telah merawat dan menjagaku, yang ini karena Ibu telah mengajariku banyak hal, dan yang ini karena  Ibu selalu mendo’akanku,” senyumnya merekah.
Ada yang tertampar dalam dadaku. Spontan aku berbalik ke arah lelaki tadi dan minta beberapa kuntum lagi. “Kutambah beberapa kuntum lagi ya, biar ibumu senang.”
“Jangan, Kak, kebanyakan!”
“Heh, apa kau pikir jasa ibumu hanya empat itu saja?” kutertawakan diriku sendiri.
Terlihat berpikir sejenak. Lalu, “Kakak benar,” menerima enam kuntum lagi dariku.
“Sekalian kuantar ya? Aku ingin melihat perempuan yang sangat beruntung itu.”
Ia menatapku lekat. Entah kenapa.
“Ayo naik,” kuhidupkan sepeda motor.
Ia menggeleng, “Aku suka jalan kaki.”
“Naik ini jadi lebih cepat.”
“Aku enggak mau cepat-cepat,” ia benar-benar menolak tawaranku.
Adalah rasa penasaran yang membuatku urung melaju dan akhirnya memilih menuntun sepeda motor mengikuti gadis kecil itu.
 “Rumah ibuku jauh loh, Kak,” ia seolah memperingatkan, bahwa aku akan menyesal atau tak kuat mengikutinya. Ia tak mengerti bahwa empat mawar yang dibelinya tadi telah menaklukkan sisa-sisa kemarahanku terhadap Ibu.
Sepanjang perjalanannya, ia berceloteh panjang lebar tentang ibunya. Berkelok-kelok kisahnya, seperti gang demi gang yang kami lewati. Ia bilang ibunya bukan ibu kandung. Ibu kandungnya adalah orang yang membuangnya di tempat sampah ketika ia baru berumur beberapa hari. Ia pernah sekolah empat tahun, tapi kemudian memutuskan berhenti saat ibunya sakit-sakitan. Akhirnya ia pun turut bekerja mengais rejeki dari satu pembuangan sampah ke pembuangan sampah lainnya.
Ceritanya turut memanggil masa laluku. Aku seperti digiring ke kursi terdakwa. Hakimnya adalah sebagian diriku yang lain. Ada banyak kesalahan yang ditimpakannya kepadaku. Hingga aku tak berkutik dan hanya bisa mengaku salah.
“Kakak capek kan?” menertawai keringatku yang berleleran.
“Kau tak capek?” aku tersenyum.
“Dulu kami sering melewati jalanan ini bersama,” ia bercerita lagi. Setiap lekuk jalan selalu menyimpan cerita. Seolah kenangan itu terasa begitu nikmat mengalahkan rasa capek dan belitan nasibnya. Kenanganku dengan Ibu diam-diam juga kuputar sendiri.
“Sudah sampai, Kak.”
Aku terlongong ketika ia mengajak berbelok. “Kuburan?”
“Iya, sudah setahun Ibu meninggal. Aku lupa tak pernah menanyakan kapan tanggal lahirnya. Jadi setiap tanggal limabelas kuanggap itu hari ulang tahunnya. Ibu meninggal tanggal limabelas…,” tak kulihat duka di matanya. Meski ia cerita bahwa ibunya  menderita karena tumor yang bersarang di leher. Empat rumah sakit menolaknya karena biaya. Kartu jaminan kesehatan bukanlah jimat yang ampuh.
Kakiku bergetar saat menepikan sepeda motor di bawah teduh kamboja. Aku sering membayangkan ini, ketika Ibu mati, atau aku tak pernah ada.
Tika memperkenalkan aku dengan ibunya. Ia juga bilang ke nisan bisu itu bahwa aku membelikannya banyak mawar. Ia berceloteh dari A sampai Z seolah telah berbilang tahun tak pernah berkunjung.
Nisan itu menjelma wajah Ibu. Aku bahkan hampir tak pernah hangat dengannya sejak tanpa sengaja menemukan diary tua di antara buku-buku usang di gudang.
“Aku akan tetap merawatnya, meskipun aku akan dikucilkan oleh semua, meski jalan hidupku akan penuh duri nanti…”
“Kakak mau pulang sekarang?” tolehnya ketika mencium kegelisahanku.
“Iya, maaf ya. Kakak ada perlu penting.”
Ia tersenyum. Senyum yang membuat rinduku terhadap Ibu menyemak penuh di dada.
Sudah kuputuskan. Aku tak jadi memaketkan mawar itu lewat jasa pengiriman barang. Akan kupersembahkan langsung tanda cintaku ke sisi Ibu. Aku ingin pulang, sambil mengenang semua pengorbanan Ibu di setiap jengkal langkahku.*****

Kalinyamatan – Jepara, 2012.


 


(Adi Zamzam, Jurnal Nasional, 24 Maret 2013)


[1] Sebuah kasus dari Miftah Fadhli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar