Tentang Antara Aku, Ibu, dan Gadis Kecil yang
Kehilangan Ibunya
Adalah rindu yang membangunkanku pagi ini. Mataku langsung menemukan
angka istimewa di kalender. Sebuah tanggal yang telah berumur empatpuluh lima
tahun lebih, yang mengingatkanku pada seorang perempuan.
Kenangan mengepul dari sebuah potret di atas meja belajarku. Dia selalu
tersenyum. Senyum yang kadang terasa luka, namun entah mengapa selalu
menguarkan rindu. Apapun yang terjadi dia akan selalu tersenyum untukku. Pun saat
menghadapi tugas-tugas dari dosen hukum pidana yang jarang senyum itu.
Ketika itu semua temanku sampai tersedak.
“Kamu waktu itu ikut ‘goyang’ enggak?”[1]
pancing lelaki gaek itu, coba membangunkan kelas.
Sebuah loncatan besar, kata teman-temanku. Sebab lelaki uban yang pernah
menjadi singa meja hijau itu terkenal pelit gurauan. Kasus terfiktif yang
pernah dilontarkan. Tapi aku justru hampir muntah. Tumpukan buku tentang hukum
pidana mendadak menjelma buku diary Ibu yang menguarkan kesedihan.
Cahaya telah menerobos celah jendela. Aku si rindu udara segar sekarang.
Bangkit. Tak kupeduli seprei masai. Kuhirup dalam-dalam. Kubayangkan senyum itu
datang menghampiriku setelah meletakkan segelas teh di meja belajar. Jika tak
juga gegas, kelambu akan dibukanya lebar-lebar hingga cahaya bebas menjajah
semua, terutama mataku.
“Kau sudah bertambah satu tahun sekarang. Itu berarti jatah Ibu untuk
menjagamu sudah berkurang satu tahun pula. Belajarlah untuk bangun sendiri.”
* * *
Bertahun-tahun aku bangun sendiri. Walau kehidupan kadang amat buruk dan
tak bersahabat. Aku sangat menginginkan kejujuran perempuan itu.
“Ayahmu sudah meninggal. Tak usah kau bertanya-tanya tentang dia.”
“Makamnya di mana, Bu?”
Kuregangkan tubuh sejenak. Dia muncul lagi ketika pelan kuhirup teh. Kubayangkan
dia memukulku untuk menggiring ke kamar
mandi. Aku meraung-raung di sana kemudian. Memanggil Ayah. Berharap lelaki itu
muncul untuk membela kemalasanku.
Di kamar mandilah aku sering membayangkan Ayah. Aku yakin wajahku mirip
wajah lelaki itu. Wajahku sama sekali tak mirip wajah Ibu. Karena itulah aku
kerap memanggilnya dengan wajahku sendiri di bayang air bak kamar mandi. Aku
tanyai dia, kenapa kau tega meninggalkanku? Apa yang membuatmu pergi? Lalu jika
sudah bosan, kutonjok wajah lelaki itu. Bertahun-tahun. Masa cengeng ini
berakhir ketika aku SMP.
Kujenguk akun facebooknya. Tak ada aktivitas selama seminggu ini.
Menimbang-nimbang. Baguskah jika kusampaikan kalimat bahagia itu di wallnya?
Mestinya aku juga bisa langsung telepon lewat HP. Tapi entahlah. Hambar saja
rasanya. Mataku pun bergerilya. Mengingat-ingat apa saja tentang kesukaannya.
“Aku hanya ingin tahu, Bu. Apa tidak boleh?” Saat itu aku sudah
lepas dari seragam putih abu-abu.
“Sudah kubilang, dia sudah mati. Apa kau lebih percaya dengan mulut
mereka dibanding dengan mulut ibumu ini?” Aku tahu dia bohong.
“Kenapa tak menikah lagi saja,
Bu? Carikan aku ayah baru, yang lebih bertanggungjawab,” dengan nada gurau,
saat kami sedang berkebun.
Binar matanya seketika suram. Seolah mawar di tangannya tak lagi berbau
harum. Dia lalu pergi meninggalkanku. Sejak saat itulah tak pernah kuungkit
perihal lelaki kabut dalam masa lalunya.
* * *
Langit cerah. Semua terlihat begitu sibuknya dengan tujuan masing-masing.
Entah apa yang menggerakkan mereka, tak ada yang peduli dengan hal itu.
Begitulah kehidupan di kota ini. Dan aku rasa, adalah rindu yang menggerakkanku
pagi ini. Lalu-lalang manusia terasa hening. Suara-suara terbungkam. Gang-gang
yang terlewati menjelma sudut-sudut
gelap dalam hatiku yang menyimpan ratusan kisah dengan perempuan itu.
Aku si penunggu sekarang. Toko bunga yang kutuju telat buka. Di tempat
itu aku bertemu dengan seorang gadis kecil.
“Menunggu siapa, Dik?”
Rambut sebahunya kemerahan tertimpa cahaya pagi. Terlihat disisir, namun
tak bisa disembunyikannya bahwa mahkota itu kurang terawat. Seperti bajunya
yang kumal, juga wajahnya yang tirus. Warna kulitnya pun seperti peta kehidupan
yang mudah dilihat dengan mata telanjang. Hitam dan kusam.
“Mau beli hadiah buat Ibu,” senyumnya.
“Bunga?” heranku. Ia mengangguk mantap.
Dan percakapan pun sambung-menyambung. Aku harus bersyukur karena
mendapatkan teman membunuh bosan.
“Tak punya bapak?”
“Tapi ibu Tika amat penyayang,” masih terlihat riang. Membuatku menoleh
ke lain tempat, membuang kenangan menyakitkan yang hendak melintas dalam benak.
Ketika pintu toko bunga itu dibuka, kubayangkan rangkaian kalimat yang
akan kusertakan dalam paket kirimanku.
“Uangmu kurang ini,” kalimat lelaki pemilik toko menyadarkanku dari
lamun. Kulihat tangan mungil itu buru-buru meletakkan kembali dua kuntum mawar
yang sudah diambil.
“Ambil satu. Ini juga masih kurang seratus perak,” lelaki itu menghitung
kembali uang receh di tangannya.
“Biar saya yang bayar, Mas. Kamu mau ambil berapa tangkai, Tika?”
Tiba-tiba gadis kecil itu meraih
tangan kananku dan menciuminya berkali-kali.
“Kenapa cuma ambil empat kuntum?”
“Yang ini karena Ibu telah mau menerimaku, yang ini karena Ibu telah
merawat dan menjagaku, yang ini karena Ibu telah mengajariku banyak hal, dan
yang ini karena Ibu selalu
mendo’akanku,” senyumnya merekah.
Ada yang tertampar dalam dadaku. Spontan aku berbalik ke arah lelaki tadi
dan minta beberapa kuntum lagi. “Kutambah beberapa kuntum lagi ya, biar ibumu
senang.”
“Jangan, Kak, kebanyakan!”
“Heh, apa kau pikir jasa ibumu hanya empat itu saja?” kutertawakan diriku
sendiri.
Terlihat berpikir sejenak. Lalu, “Kakak benar,” menerima enam kuntum lagi
dariku.
“Sekalian kuantar ya? Aku ingin melihat perempuan yang sangat beruntung
itu.”
Ia menatapku lekat. Entah kenapa.
“Ayo naik,” kuhidupkan sepeda motor.
Ia menggeleng, “Aku suka jalan kaki.”
“Naik ini jadi lebih cepat.”
“Aku enggak mau cepat-cepat,” ia benar-benar menolak tawaranku.
Adalah rasa penasaran yang membuatku urung melaju dan akhirnya memilih
menuntun sepeda motor mengikuti gadis kecil itu.
“Rumah ibuku jauh loh, Kak,” ia
seolah memperingatkan, bahwa aku akan menyesal atau tak kuat mengikutinya. Ia
tak mengerti bahwa empat mawar yang dibelinya tadi telah menaklukkan sisa-sisa
kemarahanku terhadap Ibu.
Sepanjang perjalanannya, ia berceloteh panjang lebar tentang ibunya.
Berkelok-kelok kisahnya, seperti gang demi gang yang kami lewati. Ia bilang
ibunya bukan ibu kandung. Ibu kandungnya adalah orang yang membuangnya di
tempat sampah ketika ia baru berumur beberapa hari. Ia pernah sekolah empat
tahun, tapi kemudian memutuskan berhenti saat ibunya sakit-sakitan. Akhirnya ia
pun turut bekerja mengais rejeki dari satu pembuangan sampah ke pembuangan
sampah lainnya.
Ceritanya turut memanggil masa laluku. Aku seperti digiring ke kursi
terdakwa. Hakimnya adalah sebagian diriku yang lain. Ada banyak kesalahan yang
ditimpakannya kepadaku. Hingga aku tak berkutik dan hanya bisa mengaku salah.
“Kakak capek kan?” menertawai keringatku yang berleleran.
“Kau tak capek?” aku tersenyum.
“Dulu kami sering melewati jalanan ini bersama,” ia bercerita lagi.
Setiap lekuk jalan selalu menyimpan cerita. Seolah kenangan itu terasa begitu
nikmat mengalahkan rasa capek dan belitan nasibnya. Kenanganku dengan Ibu
diam-diam juga kuputar sendiri.
“Sudah sampai, Kak.”
Aku terlongong ketika ia mengajak berbelok. “Kuburan?”
“Iya, sudah setahun Ibu meninggal. Aku lupa tak pernah menanyakan kapan
tanggal lahirnya. Jadi setiap tanggal limabelas kuanggap itu hari ulang
tahunnya. Ibu meninggal tanggal limabelas…,” tak kulihat duka di matanya. Meski
ia cerita bahwa ibunya menderita karena
tumor yang bersarang di leher. Empat rumah sakit menolaknya karena biaya. Kartu
jaminan kesehatan bukanlah jimat yang ampuh.
Kakiku bergetar saat menepikan sepeda motor di bawah teduh kamboja. Aku
sering membayangkan ini, ketika Ibu mati, atau aku tak pernah ada.
Tika memperkenalkan aku dengan ibunya. Ia juga bilang ke nisan bisu itu
bahwa aku membelikannya banyak mawar. Ia berceloteh dari A sampai Z seolah
telah berbilang tahun tak pernah berkunjung.
Nisan itu menjelma wajah Ibu. Aku bahkan hampir tak pernah hangat
dengannya sejak tanpa sengaja menemukan diary tua di antara buku-buku usang di
gudang.
“Aku akan tetap merawatnya, meskipun aku akan dikucilkan oleh semua,
meski jalan hidupku akan penuh duri nanti…”
“Kakak mau pulang sekarang?” tolehnya ketika mencium kegelisahanku.
“Iya, maaf ya. Kakak ada perlu penting.”
Ia tersenyum. Senyum yang membuat rinduku terhadap Ibu menyemak penuh di
dada.
Sudah kuputuskan. Aku tak jadi memaketkan mawar itu lewat jasa pengiriman
barang. Akan kupersembahkan langsung tanda cintaku ke sisi Ibu. Aku ingin
pulang, sambil mengenang semua pengorbanan Ibu di setiap jengkal langkahku.*****
Kalinyamatan – Jepara, 2012.
(Adi Zamzam, Jurnal Nasional, 24 Maret 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar