Benang Merah Para Kiai dengan Soekarno
dan Soeharto
Judul Buku : Soekarno
dan Soeharto di Mata Para Kiai
Penulis :
Putra Poser Alam
Penerbit :
Penerbit IRCiSoD
Cetakan :
Pertama, Februari 2015
Tebal :
196 halaman
ISBN :
978-602-255-812-5
Terserap dari bahasa Tiongkok, ‘kiai’ berasal dari
kata ‘kiya’ yang berarti ‘jalan’, dan
‘i’ yang berarti ‘lurus’. Kiai adalah
orang yang benar-benar menempuh jalan kebenaran dalam setiap ucapan, keputusan,
perbuatan, serta tingkah lakunya dalam kehidupan bermasyarakat (hal. 97). Selain
sebagai penasihat, para kiai juga seringkali berperan menjembatani antara para
pemimpin tersebut dengan masyarakat luas. Kita tengok misalnya, ketika Presiden
Soekarno memanggil K.H. Wahab Hasbullah ke Istana Negara demi meminta nasihat
dan saran terkait keamanan menyusul pemberontakan PKI di Madiun, tumbuhnya
gerakan DI/TII, serta pertikaian di antara elite politik. Kiai Wahab memberi
saran agar diadakan silaturahmi di antara semua pihak yang berseteru. Lantaran
momen tersebut berdekatan dengan Idul Fitri, pembungkusan niat dengan nama “halal bihalal” akhirnya berhasil
menyatukan para elite yang bertikai dalam satu meja. Meski terkesan sederhana,
saling sapa dan saling komunikasi akhirnya menjadikan suasana lebih lunak.
Kesan ekslusivisme antara individu maupun golongan melumer (hal. 34). Kiai
Wahab seolah mengerti bahwa para elite politik hanya mengalami persoalan
kepincangan komunikasi.
Namun tak selamanya Soekarno sejalan dengan para
kiai. Dalam kasus pembangunan Tugu Monumen Nasional dan Masjid Istiqlal
misalnya, sang proklamator ini sempat bersilang pendapat dengan K.H. Wahid
Hasyim. Dengan jawaban yang cerdas ia melenggang meneruskan pembangunan Monas
meskipun harus menghadapi tuduhan pelecehan agama lantaran menomorduakan
pembangunan Masjid Istiqlal (hal. 39). Ia juga sempat bersitegang dengan ulama
yang seorang sastrawan juga, yakni Buya Hamka. Namun di akhir perselisihan itu,
akhirnya toh Soekarno meminta maaf dan bahkan mewasiatkan agar Hamka sudi
menjadi imam salat jenazahnya. Buku ini juga menguak sisi-sisi di mana dua
orang yang pernah memimpin era besar negara ini sedikit banyak terpengaruhi
oleh interaksinya dengan para kiai.
Mantan presiden Soeharto juga tak terlepas dari hal
tersebut. Beberapa kali ia sempat mendapatkan kritik dari para kiai atas
langkah politiknya. Sebut saja sindiran halus yang sempat dilontarkan K.H.
Munasir Ali dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-29 di Cipasung (1994). K.H.
munasir berkata bahwa dirinya benar-benar orang yang tak tahu diri. Sebab, di
usia yang sudah menginjak 70 tahun, masih terobsesi menjadi Ketua Panitia
Muktamar, yang semestinya sudah menjadi bagian generasi muda. Sindiran ini
rupanya juga menjadi semacam jawaban lantaran Soeharto dengan kekuasaannya yang
tak terbatas berusaha mengintervensi NU dengan mendongkel kepemimpinan Gus Dur,
serta menawarkan ‘tokoh boneka’nya.
Kita bisa melihat betapa para kiai ini ternyata juga
turut memengaruhi laju perkembangan sistem demokrasi yang dianut negeri ini.
Peran Gus Dur dalam mendinginkan kasus Situbondo serta kekritisannya atas
keberadaan Fordem (Forum Demokrasi) sedikit mencerminkan hal itu. Pemerintah
bahkan seringkali berhutang budi kepada mereka lantaran para kiai ini kerap
menjadi seperti lampu kuning yang menyala setiap kali hendak terjadi peristiwa
penting. Lantaran tingkat keilmuannya, kewaskitaan dan ‘daya linuwih’ menjadi
keistimewaan tersendiri bagi para kiai. Sebut saja K.H. Abdullah Faqih. Putra
K.H. Rofi’i Zahid, sesepuh Pondok Pesantren Langitan Tuban yang diistimewakan
oleh Gus Dur ini sempat bermimpi tentang seekor ular naga besar yang jatuh dari
langit. Ribuan massa pun datang dan mencacah naga raksasa itu menjadi tujuh
bagian. Tak lama setelahnya, para ulama berkumpul atas undangan Kiai Faqih.
Beliau mengimbau agar Soeharto segera turun dari kursi kepresidenan. Jika
tidak, akan ada bencana besar (hal. 167). Buku ini berusaha mengurai benang
merah peristiwa-peristiwa yang pernah menghubungkan antara para kiai dengan dua
orang yang pernah memimpin orde pemerintahan di negeri ini. Bahwa dalam
masyarakat Timur, daya linuwih
seorang kyai benar-benar membawa pengaruh besar. *
(Nur Hadi, Jawa Pos, Minggu 15 Maret 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar