Selasa, 17 Maret 2015

Kiai dan Daya Linuwihnya



Benang Merah Para Kiai dengan Soekarno dan Soeharto




Judul Buku  :  Soekarno dan Soeharto di Mata Para Kiai
Penulis        :  Putra Poser Alam
Penerbit       :  Penerbit IRCiSoD
Cetakan       :  Pertama,  Februari 2015
Tebal           :  196 halaman
ISBN           :  978-602-255-812-5


Terserap dari bahasa Tiongkok, ‘kiai’ berasal dari kata ‘kiya’ yang berarti ‘jalan’, dan ‘i’ yang berarti ‘lurus’. Kiai adalah orang yang benar-benar menempuh jalan kebenaran dalam setiap ucapan, keputusan, perbuatan, serta tingkah lakunya dalam kehidupan bermasyarakat (hal. 97). Selain sebagai penasihat, para kiai juga seringkali berperan menjembatani antara para pemimpin tersebut dengan masyarakat luas. Kita tengok misalnya, ketika Presiden Soekarno memanggil K.H. Wahab Hasbullah ke Istana Negara demi meminta nasihat dan saran terkait keamanan menyusul pemberontakan PKI di Madiun, tumbuhnya gerakan DI/TII, serta pertikaian di antara elite politik. Kiai Wahab memberi saran agar diadakan silaturahmi di antara semua pihak yang berseteru. Lantaran momen tersebut berdekatan dengan Idul Fitri, pembungkusan niat dengan nama “halal bihalal” akhirnya berhasil menyatukan para elite yang bertikai dalam satu meja. Meski terkesan sederhana, saling sapa dan saling komunikasi akhirnya menjadikan suasana lebih lunak. Kesan ekslusivisme antara individu maupun golongan melumer (hal. 34). Kiai Wahab seolah mengerti bahwa para elite politik hanya mengalami persoalan kepincangan komunikasi.
Namun tak selamanya Soekarno sejalan dengan para kiai. Dalam kasus pembangunan Tugu Monumen Nasional dan Masjid Istiqlal misalnya, sang proklamator ini sempat bersilang pendapat dengan K.H. Wahid Hasyim. Dengan jawaban yang cerdas ia melenggang meneruskan pembangunan Monas meskipun harus menghadapi tuduhan pelecehan agama lantaran menomorduakan pembangunan Masjid Istiqlal (hal. 39). Ia juga sempat bersitegang dengan ulama yang seorang sastrawan juga, yakni Buya Hamka. Namun di akhir perselisihan itu, akhirnya toh Soekarno meminta maaf dan bahkan mewasiatkan agar Hamka sudi menjadi imam salat jenazahnya. Buku ini juga menguak sisi-sisi di mana dua orang yang pernah memimpin era besar negara ini sedikit banyak terpengaruhi oleh interaksinya dengan para kiai.
Mantan presiden Soeharto juga tak terlepas dari hal tersebut. Beberapa kali ia sempat mendapatkan kritik dari para kiai atas langkah politiknya. Sebut saja sindiran halus yang sempat dilontarkan K.H. Munasir Ali dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-29 di Cipasung (1994). K.H. munasir berkata bahwa dirinya benar-benar orang yang tak tahu diri. Sebab, di usia yang sudah menginjak 70 tahun, masih terobsesi menjadi Ketua Panitia Muktamar, yang semestinya sudah menjadi bagian generasi muda. Sindiran ini rupanya juga menjadi semacam jawaban lantaran Soeharto dengan kekuasaannya yang tak terbatas berusaha mengintervensi NU dengan mendongkel kepemimpinan Gus Dur, serta menawarkan ‘tokoh boneka’nya.
Kita bisa melihat betapa para kiai ini ternyata juga turut memengaruhi laju perkembangan sistem demokrasi yang dianut negeri ini. Peran Gus Dur dalam mendinginkan kasus Situbondo serta kekritisannya atas keberadaan Fordem (Forum Demokrasi) sedikit mencerminkan hal itu. Pemerintah bahkan seringkali berhutang budi kepada mereka lantaran para kiai ini kerap menjadi seperti lampu kuning yang menyala setiap kali hendak terjadi peristiwa penting. Lantaran tingkat keilmuannya, kewaskitaan dan ‘daya linuwih’ menjadi keistimewaan tersendiri bagi para kiai. Sebut saja K.H. Abdullah Faqih. Putra K.H. Rofi’i Zahid, sesepuh Pondok Pesantren Langitan Tuban yang diistimewakan oleh Gus Dur ini sempat bermimpi tentang seekor ular naga besar yang jatuh dari langit. Ribuan massa pun datang dan mencacah naga raksasa itu menjadi tujuh bagian. Tak lama setelahnya, para ulama berkumpul atas undangan Kiai Faqih. Beliau mengimbau agar Soeharto segera turun dari kursi kepresidenan. Jika tidak, akan ada bencana besar (hal. 167). Buku ini berusaha mengurai benang merah peristiwa-peristiwa yang pernah menghubungkan antara para kiai dengan dua orang yang pernah memimpin orde pemerintahan di negeri ini. Bahwa dalam masyarakat Timur, daya linuwih seorang kyai benar-benar membawa pengaruh besar. *

(Nur Hadi, Jawa Pos, Minggu 15 Maret 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar