Rabu, 08 April 2015

Membermaknakan Kegiatan Belajar-Mengajar



Membermaknakan Kegiatan Belajar-Mengajar



Judul Buku  :  CTL Contextual Teaching & Learning
Penulis        :  Elaine B. Johnson, Ph.D.
Penerbit       :  Penerbit Kaifa
Cetakan       :  Pertama,  Desember 2014
Tebal           :  349 halaman
ISBN           :  978-602-8994-93-4


Anda mungkin telah mengenal beberapa metode dan pendekatan belajar seperti Quantum Learning, Accelerated Learning, Active Learning, Cooperative Learning, dan Brain Based Learning. Buku yang disusun oleh seorang pengajar yang telah menerima penghargaan dari University of Chicago atas metode mengajarnya yang luar biasa ini, akan mendedah tentang sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa seorang pembelajar akan mau dan mampu menyerap materi pelajaran jika mereka dapat menangkap makna pelajaran tersebut. Buku ini mendedah dasar-dasar filosofi tersebut dari sudut pandang ilmu psikologi, ilmu saraf, fisika, serta biologi modern.
Buku ini menjelaskan penerapan delapan komponen CTL secara panjang lebar. Yakni; membuat keterkaitan yang bermakna, pembelajaran mandiri, melakukan pekerjaan yang berarti, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, serta menggunakan penilaian autentik.
Dipengaruhi oleh pandangan ilmiah baru abad ke-20, para pendidik merasa perlu berpikir ulang mengenai cara mengajar. Pembelajaran dan pengajaran kontekstual, sebagai sebuah sistem mengajar didasarkan pada pikiran bahwa makna muncul dari hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks memberikan makna pada isi. Semakin banyak keterkaitan yang ditemukan siswa dalam suatu konteks yang luas, semakin bermaknalah isinya bagi mereka. Jadi, sebagian besar tugas guru adalah menyediakan konteks (hal. 35). Kadang, waktu para siswa dan mahasiswa hanya dihabiskan untuk mengisi buku tugas, mendengarkan pengajar, dan menyelesaikan latihan-latihan yang membosankan. Alih-alih mengikuti ujian yang mengungkapkan pemahaman, mereka hanya mengikuti ujian-ujian yang mengukur daya hafal fakta. CTL coba mengatasi keterbatasan sistem pendidikan tradisional, menolak dualisme—menyatukan pemikiran dengan tindakan.
Para pendidik yang menyetujui pandangan ilmu pengetahuan bahwa alam semesta itu hidup, tidak diam, dan ditopang oleh prinsip kesaling-bergantungan, diferensiasi, dan organisasi diri, harus memeluk pandangan dan cara berpikir baru mengenai pembelajaran dan pengajaran. CTL mencerminkan prinsip kesaling-bergantungan mewujudkan diri. Hal ini tampak jelas ketika subjek yang berbeda dihubungkan, dan ketika kemitraan menggabungkan sekolah dengan dunia bisnis dan komunitas. CTL juga menantang para siswa untuk saling menghormati keunikan masing-masing, menghormati perbedaan-perbedaan, menjadi kreatif, bekerja sama, menghasilkan gagasan dan hasil baru yang berbeda, dan menyadari bahwa keragaman adalah tanda kemantapan dan kekuatan. Sementara dalam pengorganisasian diri akan terlihat ketika siswa mencari dan menemukan kemampuan dan minat mereka sendiri yang berbeda, mendapat umpan balik yang diberikan oleh penilaian autentik, mengulas usaha-usaha mereka dalam tuntunan tujuan yang jelas dan standar yang tinggi, dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada siswa yang membuat hati mereka bernyanyi (hal. 86).
Sementara itu, pembelajaran mandiri diharapkan dapat memberi kesempatan luar biasa kepada siswa untuk mempertajam kesadaran mereka akan lingkungan, juga memungkinkan siswa untuk membuat pilihan-pilihan positif tentang bagaimana mereka akan mengatasi kegelisahan dan kekacauan dalam kehidupan sehari-hari. Pola ini akan memungkinkan mereka bertindak berdasar inisiatif sendiri untuk membentuk lingkungan (hal. 179). Sedangkan berpikir kreatif dan kritis merupakan dua sisi mata uang. Saat mereka memperbaiki, menggunakan, dan meningkatkan kapasitas mereka, mereka meningkatkan kesempatan untuk memperkaya tak hanya kehidupan mereka sendiri, tetapi juga kehidupan masyarakat (hal. 222). Semua hal itu harus berada di bawah bimbingan tanpa tekanan sedikitpun, melainkan dengan penghargaan yang baik. Tentu saja, demi mencapai standar tinggi, karena kesejahteraan mereka pada abad ke-21 bergantung pada hal itu.*

Nur Hadi, Harian Singgalang Minggu 5 April 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar