Jurus Jitu Mengobati Patah Hati
Judul Buku : Patah
Hati? Woles Aja!
Penulis :
Putri Velisya
Penerbit :
Penerbit DIVA Press
Cetakan :
Pertama, November 2014
Tebal :
148 halaman
ISBN :
978-602-255-749-4
Siapa sih yang tak pernah
mengalami patah hati? Patah hati enggak melulu soal asmara. Bisa jadi bermuara dari soal
cita-cita atau keinginan yang tak kesampaian. Broken
heart syndrome atau takotsubo
cardiomyopathy pertama kali dikenalkan pada tahun 1991 oleh dokter asal
Jepang. Gejalanya mirip dengan penyakit jantung. Penderitanya sering
mengeluhkan nyeri dada, sesak napas, dan perasaan lesu yang diakibatkan
kesedihan mendalam. Perasaan negatif seperti ketakutan, kemarahan, kesedihan,
kesepian, kegelisahan, dan depresi, bisa berpengaruh buruk terhadap kesehatan
fisik. Anterior cingulated cortex
adalah bagian depan otak yang akan langsung bereaksi ketika kita patah hati
(hal. 10). Thomas Buckley, ketua peneliti Heart Foundation bahkan mendapatkan
hasil penelitian bahwa patah hati lebih signifikan berpengaruh pada jantung
seseorang (hal.13). Simpelnya, antara pikiran, otak, dan tubuh terkait erat.
Menurut Kubler Ross,
psikiater terkemuka asal Swiss, terdapat lima fase yang akan dilewati seseorang
ketika berkabung (yang masuk dalam wilayah patah hati). Pertama, denial (mengingkari); reaksi fisik yang
terjadi adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernapasan, detak
jantung cepat, menangis gelisah, dan tak tahu harus berbuat apa. Pada fase ini
orang-orang yang berada di dekitarnya lebih baik tak memberi nasihat. Cukup
diam dan dengarkan mereka saja. Kedua, anger
(marah); reaksi yang terjadi kesedihan yang memuncak akan membuatnya murka dan
lalu mengambil keputusan yang sama sekali tanpa pertimbangan. Dukungan bisa
diberikan dengan tindakan tenang. Tunjukkan bahwa Anda bisa menguasai emosi.
Ketiga, bargaining (tawar-menawar);
dia akan bernegoisasi dengan pikirannya sendiri, mencari sisi baik dari apa
yang terjadi, mencari penghiburan. Pada fase ini, orang yang berada di
sekitarnya disarankan mulai memberikan masukan/dorongan ke arah yang lebih
baik. Keempat, depression (bersedih
yang mendalam); sering menarik diri, tak mudah diajak bicara, terlihat seperti
putus asa, menolak makanan, susah tidur, dan letih. Butuh proses dalam
menjalani kesedihan di fase ini hingga akhirnya sadar bahwa lubang menganga itu
tak perlu diperbaiki. Kelima, acceptance
(menerima); telah menerima kenyataan yang dialaminya. Perhatiannya mulai
beralih pada objek baru (hal. 20-26).
Pada bab ketiga buku ini
diuraikan beberapa perkara yang menjadi sebab patah hati. Salah satunya adalah princess syndrome, yakni keadaan mental
yang membuat pengidapnya merasa bahwa dia seorang tuan putri. Dia merasa
dirinya berharga, pusat dari semesta, dan semua orang harus menuruti apa pun
maunya karena dialah yang paling berhak bahagia. Dia sering meminta sesuatu
yang tak masuk akal, materialistis, memiliki emosi ekstrem, senang memanjakan
diri sendiri, tak peduli pada isu sosial, tak adil, dan keras kepala. Pemicu
lainnya bisa berupa; tak adanya sahabat yang bisa menjadi penghibur yang baik,
adanya harapan palsu, lupa dicintai, ambisi yang masih labil, dibully, tak adanya sarana penyalur emosi,
sampai tak adanya perkataan ‘maaf, tolong, dan terima kasih’.
Baiknya buku ini adalah
adanya bab penutup yang berisi beberapa tips untuk mengobati patah hati. Ikhlas,
menjadi kunci pertama, yakni mengusahakan segala sesuatu sebaik mungkin dan
menerima segala hasilnya dengan rela. Selanjutnya yaitu jangan balas dendam,
lantaran dendam tak ada habisnya. Cara terbaik untuk membalas dendam adalah
dengan memperbaiki diri agar menjadi orang yang
lebih baik. Tips berikutnya yaitu memberi tanpa berharap balasan,
berolahraga secara rutin (di samping dapat mengurangi stress, juga dapat
meningkatkan kekuatan otak, menumbuhkan perasaan bahagia, serta rasa percaya
diri), serta mempertebal keimanan.
Memang tak mudah untuk
mengatur pikiran saat hati sedang dilanda patah hati. Namun, banyak pula yang
dapat mengelola energi patah hati menjadi daya dorong untuk hal-hal positif.*
(Nur Hadi, Koran Muria, Minggu 12 April 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar