Jumat, 17 April 2015

Jurus Jitu Mengobati Patah Hati



Jurus Jitu Mengobati Patah Hati



Judul Buku  :  Patah Hati? Woles Aja!
Penulis        :  Putri Velisya
Penerbit       :  Penerbit DIVA Press
Cetakan       :  Pertama, November  2014
Tebal           :  148  halaman
ISBN           :  978-602-255-749-4


Siapa sih yang tak pernah mengalami patah hati? Patah hati enggak melulu soal asmara. Bisa jadi bermuara dari soal cita-cita atau keinginan yang tak kesampaian.  Broken heart syndrome atau takotsubo cardiomyopathy pertama kali dikenalkan pada tahun 1991 oleh dokter asal Jepang. Gejalanya mirip dengan penyakit jantung. Penderitanya sering mengeluhkan nyeri dada, sesak napas, dan perasaan lesu yang diakibatkan kesedihan mendalam. Perasaan negatif seperti ketakutan, kemarahan, kesedihan, kesepian, kegelisahan, dan depresi, bisa berpengaruh buruk terhadap kesehatan fisik. Anterior cingulated cortex adalah bagian depan otak yang akan langsung bereaksi ketika kita patah hati (hal. 10). Thomas Buckley, ketua peneliti Heart Foundation bahkan mendapatkan hasil penelitian bahwa patah hati lebih signifikan berpengaruh pada jantung seseorang (hal.13). Simpelnya, antara pikiran, otak, dan tubuh terkait erat.
Menurut Kubler Ross, psikiater terkemuka asal Swiss, terdapat lima fase yang akan dilewati seseorang ketika berkabung (yang masuk dalam wilayah patah hati). Pertama, denial (mengingkari); reaksi fisik yang terjadi adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis gelisah, dan tak tahu harus berbuat apa. Pada fase ini orang-orang yang berada di dekitarnya lebih baik tak memberi nasihat. Cukup diam dan dengarkan mereka saja. Kedua, anger (marah); reaksi yang terjadi kesedihan yang memuncak akan membuatnya murka dan lalu mengambil keputusan yang sama sekali tanpa pertimbangan. Dukungan bisa diberikan dengan tindakan tenang. Tunjukkan bahwa Anda bisa menguasai emosi. Ketiga, bargaining (tawar-menawar); dia akan bernegoisasi dengan pikirannya sendiri, mencari sisi baik dari apa yang terjadi, mencari penghiburan. Pada fase ini, orang yang berada di sekitarnya disarankan mulai memberikan masukan/dorongan ke arah yang lebih baik. Keempat, depression (bersedih yang mendalam); sering menarik diri, tak mudah diajak bicara, terlihat seperti putus asa, menolak makanan, susah tidur, dan letih. Butuh proses dalam menjalani kesedihan di fase ini hingga akhirnya sadar bahwa lubang menganga itu tak perlu diperbaiki. Kelima, acceptance (menerima); telah menerima kenyataan yang dialaminya. Perhatiannya mulai beralih pada objek baru (hal. 20-26).
Pada bab ketiga buku ini diuraikan beberapa perkara yang menjadi sebab patah hati. Salah satunya adalah princess syndrome, yakni keadaan mental yang membuat pengidapnya merasa bahwa dia seorang tuan putri. Dia merasa dirinya berharga, pusat dari semesta, dan semua orang harus menuruti apa pun maunya karena dialah yang paling berhak bahagia. Dia sering meminta sesuatu yang tak masuk akal, materialistis, memiliki emosi ekstrem, senang memanjakan diri sendiri, tak peduli pada isu sosial, tak adil, dan keras kepala. Pemicu lainnya bisa berupa; tak adanya sahabat yang bisa menjadi penghibur yang baik, adanya harapan palsu, lupa dicintai, ambisi yang masih labil, dibully, tak adanya sarana penyalur emosi, sampai tak adanya perkataan ‘maaf, tolong, dan terima kasih’.
Baiknya buku ini adalah adanya bab penutup yang berisi beberapa tips untuk mengobati patah hati. Ikhlas, menjadi kunci pertama, yakni mengusahakan segala sesuatu sebaik mungkin dan menerima segala hasilnya dengan rela. Selanjutnya yaitu jangan balas dendam, lantaran dendam tak ada habisnya. Cara terbaik untuk membalas dendam adalah dengan memperbaiki diri agar menjadi orang yang  lebih baik. Tips berikutnya yaitu memberi tanpa berharap balasan, berolahraga secara rutin (di samping dapat mengurangi stress, juga dapat meningkatkan kekuatan otak, menumbuhkan perasaan bahagia, serta rasa percaya diri), serta mempertebal keimanan.
Memang tak mudah untuk mengatur pikiran saat hati sedang dilanda patah hati. Namun, banyak pula yang dapat mengelola energi patah hati menjadi daya dorong untuk hal-hal positif.*

(Nur Hadi, Koran Muria, Minggu 12 April 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar