Cerita Rakyat Sebagai Upaya Edukasi
Kebencanaan
Dikisahkan,
ada sepasang muda-mudi yang tengah dirundung kasmaran. Kisah cinta mereka tak
mendapatkan restu dari bapak si gadis dengan berbagai alasan. Namun diam-diam, tanpa
sepengetahuan sang bapak, dua sejoli ini sebenarnya sering bertemu demi melepas
rindu. Dalam sebuah kesempatan—ketika bapak si gadis diketahui bepergian dalam
jangka waktu yang lama, sepasang kekasih ini memutuskan untuk bersama-sama
menghabiskan rindu ke sebuah bukit yang tak jauh dari perkampungan mereka.
Sebuah bukit yang sebenarnya jarang dikunjungi oleh warga lantaran telah
dikenal keangkerannya. Di samping memang lokasinya yang berbahaya lantaran di
kanan kiri jurang menganga siap menelan mereka jika tak waspada. Nun, dalam
perjalanan itu, kenikmatan melepas kangen memang akhirnya menghilangkan
kewaspadaan mereka. Dikisahkan, akhirnya salah satu dari mereka terperosok,
sementara pasangannya turut jatuh saat berniat menolong.
“Jurang
Nganten” dikenal dengan baik sebagai cerita rakyat di beberapa daerah di
Jepara. Meski memiliki banyak versi, namun inti dari cerita tersebut antara
lain sama-sama bisa dibaca dari pemaknaan kata ‘jurang’ yang dimaknai sebagai
dosa, kesalahan, atau pantangan. Serta ‘nganten’ yang identik dengan sifat pemuda/pemudi
yang biasanya selalu ingin mencoba segala sesuatu yang menantang, pantang
dilarang-larang, dan sembrono. Cerita ini kemudian bahkan berkembang sedemikian
masifnya sampai kemudian menimbulkan ‘pantangan’ tak tertulis yang melarang
para orangtua di daerah tertentu untuk tak menjodohkan anaknya dengan anak dari
daerah tertentu. Bahkan, pasangan pengantin muda pun dilarang melewati daerah
tersebut sebelum memenuhi beberapa aturan tak tertulis yang bersifat jaga-jaga.
Cerita-cerita
rakyat semacam “Jurang Nganten” ini sebenarnya dimiliki oleh hampir semua desa
di wilayah tanah air kita. Di tanah kelahiran saya, semua nama desa bahkan
diambil dari intisari cerita rakyat yang terjadi di daerah setempat. Seperti Desa
Banyuputih (yang diambil dari kisah perebutan air berwarna putih susu yang
mengandung tuah kekebalan/kesaktian), Desa Lebuawu (yang berkonotasi dari debu
dan abu), Desa Teluk (yang ditengarai lantaran dulu merupakan pendangkalan
sebuah teluk), Ujung Pandan (yang ditengarai lantaran dulu merupakan pantai
yang banyak ditumbuhi pandan), dll. Dan pemberian/pengambilan nama itu tentu
saja bukanlah berangkat dari ruang yang kosong budaya. Nama-nama tersebut
sering mengandung muatan yang berisi nasihat dan wejangan untuk penduduk lokal.
Meminjam
kacamata Geertz dalam memandang manusia, sepertinya kita bisa memandang ini
sebagai bagian dari bentuk adaptabilitasnya terhadap ekosistem. Sebagai
analogi, Geertz menggambarkan bahwa dalam pemikiran ekologi budaya, petani padi
di Jawa yang membuat terasiring dapat dianggap, sebagian karena lingkungan
alami atau merupakan produksi perkembangan kebudayaan (Geertz, 1963).
Jika
menilik budaya awal masyarakat kita yang begitu lekat dengan tradisi animisme
dan dinamisme, cerita-cerita rakyat ini bisa dilihat sebagai upaya untuk
menyampaikan larangan-larangan (melalui mekanisme pengambilan manfaat dari
sebuah cerita) tanpa harus menggurui. Upaya perekayasaan ini (lantaran sebagian
cerita rakyat tersebut bersifat fiktif belaka) digunakan sebagai bagian dari
pengontrolan kemampuan daya dukung lingkungannya. Senada dengan apa yang pernah
digarisbawahi oleh Prof. Oekan Abdullah dalam melihat adanya batasan daya
dukung dalam sebuah ekosistem, yang faktor-faktornya tergantung pada kondisi
lingkungan (2017). Manusia memerlukan mekanisme biologis sekaligus kultural
dalam upaya adaptasi terhadap ekosistemnya (Sutton dan Anderson, 2010).
Sehingga penekanan akan perlunya perlindungan pada lingkungan dengan metode
yang paling dekat dengan perkembangan masyarakat kala itu tampaknya hanya bisa
diwujudkan melalui tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun.
Contoh
konkret dari hal ini juga bisa kita lihat saat bencana tsunami menimpa Aceh
pada 2004 silam. Mengapa jumlah penduduk Pulau Simeuleu yang menjadi korban
justru lebih sedikit jika dibanding dengan penduduk di Aceh daratan, padahal
letak pulau tersebut notabene lebih dekat dari pusat gempa? Hal itu terjadi
lantaran penduduk Simeuleu masih memegang tradisi lisan kultural perihal smong. Semenit sebelum pukul 08.00 pada
26 Desember 2004, ratusan kerbau yang biasa berendam di muara sungai tiba-tiba
berlarian mengungsi ke perbukitan Simeulue. Air laut pun tiba-tiba surut,
mengabarkan pertanda. Tsunami telah mereka kenal melalui beragam cerita rakyat
yang diwariskan secara turun-temurun. Dengan berpedoman pada larangan tak
tertulis ini, secara refleks mereka berbondong-bondong melarikan diri ke daerah
perbukitan setempat begitu melihat tanda-tanda kehadiran smong. Cerita rakyat pun kemudian (meminjam bahasa Micklin, 1973) menempati
posisi sebagai upaya adaptasi manusia dalam menanggapi kondisi lingkungan yang
ada dalam rangka keberlangsungan hidupnya. Larangan-larangan dan
pantangan-pantangan itu dikemas sedemikian rupa sehingga selain mudah
diwariskan, juga lantaran begitu dekat dengan budayanya.
Lantaran
proses adaptasi manusia terhadap lingkungannya tidak semata dipengaruhi faktor
biogeofisik, tetapi juga faktor sosial budaya yang berakar pada persepsi,
tradisi, organisasi sosial, dll., lantas bagaimana dengan perkembangan kondisi
larangan-larangan tak tertulis ini di era sekarang?
Di
tengah-tengah keberadaan alat pendeteksi gempa yang begitu canggih, akankah
orang-orang masih akan akan menengok kondisi pasang surut air laut, formasi
awan di langit, atau migrasi hewan-hewan tertentu dari laut sebagai
pertanda/isyarat yang diberikan alam? Apakah ini bisa dibaca sebagai ketumpulan
insting? Apakah orang-orang semacam alm. Mbah Maridjan—juru kunci Gunung
Merapi, adalah hasil produk klenik yang tak patut lagi dikenal oleh generasi
penerus? Dari seismograf, kita hanya bisa melihat lompatan-lompatan garis,
sementara dari alam, kita bisa membaca sekaligus berbicara terhadap para
penghuninya. Dan oleh nenek moyang kita, cara itu diwariskan—salah satunya,
melalui cerita rakyat. Posisi cerita rakyat—seperti kata James Danandjaya
(2002), jelas masih terlihat lebih luwes sebagai alat pendidik, pembawa pesan
(larangan, pantangan, ajaran), pelipur lara, protes sosial, bahkan kadang
proyeksi keinginan terpendam. Alat fisik bersifat pasif, sementara cerita
bersifat aktif. Dan seharusnya, keluarga menjadi corong awal yang menjadi media
penyebarannya. Begitu.*
Nur Hadi, Dimuat Harian Rakyat Sultra Senin 15 April 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar