Jumat, 20 September 2019

Cerita Rakyat Sebagai Upaya Edukasi Kebencanaan


Cerita Rakyat Sebagai Upaya Edukasi Kebencanaan




Dikisahkan, ada sepasang muda-mudi yang tengah dirundung kasmaran. Kisah cinta mereka tak mendapatkan restu dari bapak si gadis dengan berbagai alasan. Namun diam-diam, tanpa sepengetahuan sang bapak, dua sejoli ini sebenarnya sering bertemu demi melepas rindu. Dalam sebuah kesempatan—ketika bapak si gadis diketahui bepergian dalam jangka waktu yang lama, sepasang kekasih ini memutuskan untuk bersama-sama menghabiskan rindu ke sebuah bukit yang tak jauh dari perkampungan mereka. Sebuah bukit yang sebenarnya jarang dikunjungi oleh warga lantaran telah dikenal keangkerannya. Di samping memang lokasinya yang berbahaya lantaran di kanan kiri jurang menganga siap menelan mereka jika tak waspada. Nun, dalam perjalanan itu, kenikmatan melepas kangen memang akhirnya menghilangkan kewaspadaan mereka. Dikisahkan, akhirnya salah satu dari mereka terperosok, sementara pasangannya turut jatuh saat berniat menolong.

“Jurang Nganten” dikenal dengan baik sebagai cerita rakyat di beberapa daerah di Jepara. Meski memiliki banyak versi, namun inti dari cerita tersebut antara lain sama-sama bisa dibaca dari pemaknaan kata ‘jurang’ yang dimaknai sebagai dosa, kesalahan, atau pantangan. Serta ‘nganten’ yang identik dengan sifat pemuda/pemudi yang biasanya selalu ingin mencoba segala sesuatu yang menantang, pantang dilarang-larang, dan sembrono. Cerita ini kemudian bahkan berkembang sedemikian masifnya sampai kemudian menimbulkan ‘pantangan’ tak tertulis yang melarang para orangtua di daerah tertentu untuk tak menjodohkan anaknya dengan anak dari daerah tertentu. Bahkan, pasangan pengantin muda pun dilarang melewati daerah tersebut sebelum memenuhi beberapa aturan tak tertulis yang bersifat jaga-jaga.
Cerita-cerita rakyat semacam “Jurang Nganten” ini sebenarnya dimiliki oleh hampir semua desa di wilayah tanah air kita. Di tanah kelahiran saya, semua nama desa bahkan diambil dari intisari cerita rakyat yang terjadi di daerah setempat. Seperti Desa Banyuputih (yang diambil dari kisah perebutan air berwarna putih susu yang mengandung tuah kekebalan/kesaktian), Desa Lebuawu (yang berkonotasi dari debu dan abu), Desa Teluk (yang ditengarai lantaran dulu merupakan pendangkalan sebuah teluk), Ujung Pandan (yang ditengarai lantaran dulu merupakan pantai yang banyak ditumbuhi pandan), dll. Dan pemberian/pengambilan nama itu tentu saja bukanlah berangkat dari ruang yang kosong budaya. Nama-nama tersebut sering mengandung muatan yang berisi nasihat dan wejangan untuk penduduk lokal.
Meminjam kacamata Geertz dalam memandang manusia, sepertinya kita bisa memandang ini sebagai bagian dari bentuk adaptabilitasnya terhadap ekosistem. Sebagai analogi, Geertz menggambarkan bahwa dalam pemikiran ekologi budaya, petani padi di Jawa yang membuat terasiring dapat dianggap, sebagian karena lingkungan alami atau merupakan produksi perkembangan kebudayaan (Geertz, 1963).
Jika menilik budaya awal masyarakat kita yang begitu lekat dengan tradisi animisme dan dinamisme, cerita-cerita rakyat ini bisa dilihat sebagai upaya untuk menyampaikan larangan-larangan (melalui mekanisme pengambilan manfaat dari sebuah cerita) tanpa harus menggurui. Upaya perekayasaan ini (lantaran sebagian cerita rakyat tersebut bersifat fiktif belaka) digunakan sebagai bagian dari pengontrolan kemampuan daya dukung lingkungannya. Senada dengan apa yang pernah digarisbawahi oleh Prof. Oekan Abdullah dalam melihat adanya batasan daya dukung dalam sebuah ekosistem, yang faktor-faktornya tergantung pada kondisi lingkungan (2017). Manusia memerlukan mekanisme biologis sekaligus kultural dalam upaya adaptasi terhadap ekosistemnya (Sutton dan Anderson, 2010). Sehingga penekanan akan perlunya perlindungan pada lingkungan dengan metode yang paling dekat dengan perkembangan masyarakat kala itu tampaknya hanya bisa diwujudkan melalui tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun.
Contoh konkret dari hal ini juga bisa kita lihat saat bencana tsunami menimpa Aceh pada 2004 silam. Mengapa jumlah penduduk Pulau Simeuleu yang menjadi korban justru lebih sedikit jika dibanding dengan penduduk di Aceh daratan, padahal letak pulau tersebut notabene lebih dekat dari pusat gempa? Hal itu terjadi lantaran penduduk Simeuleu masih memegang tradisi lisan kultural perihal smong. Semenit sebelum pukul 08.00 pada 26 Desember 2004, ratusan kerbau yang biasa berendam di muara sungai tiba-tiba berlarian mengungsi ke perbukitan Simeulue. Air laut pun tiba-tiba surut, mengabarkan pertanda. Tsunami telah mereka kenal melalui beragam cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun. Dengan berpedoman pada larangan tak tertulis ini, secara refleks mereka berbondong-bondong melarikan diri ke daerah perbukitan setempat begitu melihat tanda-tanda kehadiran smong. Cerita rakyat pun kemudian (meminjam bahasa Micklin, 1973) menempati posisi sebagai upaya adaptasi manusia dalam menanggapi kondisi lingkungan yang ada dalam rangka keberlangsungan hidupnya. Larangan-larangan dan pantangan-pantangan itu dikemas sedemikian rupa sehingga selain mudah diwariskan, juga lantaran begitu dekat dengan budayanya.
Lantaran proses adaptasi manusia terhadap lingkungannya tidak semata dipengaruhi faktor biogeofisik, tetapi juga faktor sosial budaya yang berakar pada persepsi, tradisi, organisasi sosial, dll., lantas bagaimana dengan perkembangan kondisi larangan-larangan tak tertulis ini di era sekarang?
Di tengah-tengah keberadaan alat pendeteksi gempa yang begitu canggih, akankah orang-orang masih akan akan menengok kondisi pasang surut air laut, formasi awan di langit, atau migrasi hewan-hewan tertentu dari laut sebagai pertanda/isyarat yang diberikan alam? Apakah ini bisa dibaca sebagai ketumpulan insting? Apakah orang-orang semacam alm. Mbah Maridjan—juru kunci Gunung Merapi, adalah hasil produk klenik yang tak patut lagi dikenal oleh generasi penerus? Dari seismograf, kita hanya bisa melihat lompatan-lompatan garis, sementara dari alam, kita bisa membaca sekaligus berbicara terhadap para penghuninya. Dan oleh nenek moyang kita, cara itu diwariskan—salah satunya, melalui cerita rakyat. Posisi cerita rakyat—seperti kata James Danandjaya (2002), jelas masih terlihat lebih luwes sebagai alat pendidik, pembawa pesan (larangan, pantangan, ajaran), pelipur lara, protes sosial, bahkan kadang proyeksi keinginan terpendam. Alat fisik bersifat pasif, sementara cerita bersifat aktif. Dan seharusnya, keluarga menjadi corong awal yang menjadi media penyebarannya. Begitu.*

Nur Hadi, Dimuat Harian Rakyat Sultra Senin 15 April 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar