Keluarga, Revolusi Media, dan Anak-Anak
Efek Revolusi Teknologi Digital
Apa yang diramalkan sosiolog Alvin Toffler dalam buku
Future Shock pada 1970-an, tampaknya memang menjadi nyata. Pergeseran teknologi
dari mekanik ke digital yang dimulai sejak dekade ’80-an, perlahan tapi pasti
mulai menampakkan efek sampingnya.
Seperti yang kita tahu, canggihnya beragam teknologi
digital ini tidak saja kian memudahkan kita dalam segala hal. Fungsi mata,
telinga, tangan, bahkan kaki, hampir sepenuhnya tergantikan, dan hanya
menyisakan otak yang entah masih berhubungan dengan hati dan perasaan ataukah
tidak. Ruang dan waktu dikerdilkan dalam berbagai dimensi dan wujud atau
representasi yang lebih ringkas. Dunia seolah telah berada dalam genggaman. Dari
sinilah tampaknya media (yang berbasis teknologi digital) mulai mengambil alih
sejumlah peran. Dengan sekali ‘klik’, peran guru tergantikan. Ia bahkan bisa mengalahkan
penjelasan seorang profesor yang telah ‘menabung’ bertahun-tahun hanya demi
mendalami sebuah ilmu pengetahuan.
Tapi di balik semua yang serba instan itu, ada hal besar
yang sebenarnya telah diabaikan. Ada hal-hal yang sebenarnya tak bisa
digantikan hanya dengan sebuah mesin pencari atau web yang statis; yakni soal
penalaran dan proses pembelajaran. Apa yang terpenting dari sebuah proses
belajar tentu tak hanya sebatas materi yang sudah terserap. Lebih dari itu,
proses kreatif yang telah melatarbelakangi seorang individu dalam menguasai sebuah
substansi, menjadi amat penting lantaran pengalaman dalam tahun-tahun yang ia
tabung. Pengalaman empiris inilah yang menjadikan manusia mampu menularkan
sifat empati, solidaritas, kasih sayang, serta emosi ketika berhadapan langsung
dengan murid sebagai subjek pembelajar.
Media, antara
Malaikat dan Setan
Di sinilah peran media (cetak, terlebih digital) mulai
terlihat kuasanya. Seperti yang pernah diramalkan pula oleh Yasraf Amir Piliang
dalam ‘Dunia yang Dilipat’, internet,
video, dan foto merupakan media yang mampu meredusir dan mengerdilkan ruang dan
waktu ke dalam berbagai dimensi dan ke dalam wujud atau representasi yang lebih
ringkas. Kekuatan bahasa, media, dan tanda, mulai mendominasi sehingga
mengendalikan realitas itu sendiri. Peran guru dan orangtua, seolah bisa
digantikan sekumpulan data-data tak bernyawa. Segala proses yang sejatinya
membutuhkan waktu, seolah bisa didapatkan secara instan dalam hitungan menit
bahkan detik. Generasi digital pun lahir. Budaya copy paste merambah ke berbagai lema kehidupan. Maka jangan heran
jika karakter menjadi sesuatu yang amat penting.
Peran media tanpa bisa ditampik memang urgen. Ia berebut
tempat dengan peran keluarga yang terus-menerus digempur perubahan nilai zaman.
Ketika peran silaturahmi digantikan oleh telepon genggam dan internet (facebook, twitter, dsb.), ketika surat
digantikan oleh email, SMS, BBM, WA, segala
nilai yang seharusnya bisa ditanamkan, ditularkan, atau dicontohkan oleh sebuah
subjek bernama keluarga, bisa terampas oleh media yang sifatnya statis dalam
hal interaksi. Media dan keluarga berebut kontrol atas gaya hidup generasi masa depan. Dari sinilah dibutuhkan
peran aktif keluarga dalam upaya menarik perhatian, mengawasi, sekaligus
membentengi anak-anak dari dampak negatif yang dibawa oleh media—disadari atau
bahkan tidak disadari.
Sistem interaksi dalam sebuah keluarga menjadi kunci
alat kontrol kelayakan konsumsi. Apalagi jika mengingat bahwa anak-anak adalah
mesin fotokopi yang sanggup mengimitasi segala kejadian yang dilihat. Ia
menjadi positif jika mendapatkan bimbingan yang baik serta konsisten, dan ia
bisa menjadi negatif jika tak mendapatkan kontrol serta pengarahan tepat.
Televisi dan internet bisa dituding menjadi biangkerok
utama atas pendewasaan karbitan yang menimbulkan efek negatif tersembunyi. Di
satu sisi ia bisa mengatasnamakan pengenalan/penanaman seni, namun di sisi lain
ia memaksa anak untuk menghilangkan diri sendiri. Mereka dipaksa menjadi sosok-sosok lain yang dianggap ikon
dan layak jadi panutan. Padahal yang dibutuhkan adalah bekal untuk menyiapkan
kemerdekaan yang akan mereka sambut setelah melewati gerbang kanak-kanak.
Inilah kecenderungan yang ketika dewasa kelak akan membentuk mereka menjadi
individu-individu palsu yang tak memiliki jati diri, mudah hanyut dalam arus
euforia zaman, dan tak memiliki semangat inovasi.
Keluarga dan Sekolah
Ketika membicarakan sekolah, anak-anak jelas tak bisa
lepas sebab mereka adalah subjek yang menjadi objek. Sekolah berperan sebagai
tempat pengolah modal dasar bawaan yang oleh Howard Gardner disebut sebagai Multiple Intelligences. Menurutnya,
kecerdasan diartikan sebagai kemampuan untuk menangkap situasi baru serta
kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu. Kecerdasan bergantung pada
konteks, tugas serta tuntutan yang disodorkan kehidupan, dan tidak bergantung
pada nilai IQ, gelar PT, maupun reputasi.
Apakah sekolah kita sudah bisa membangun keidealan
seperti itu? Alih-alih, yang terjadi justru sekolah membatasi pertumbuhan
anak-anak dengan standar nilai seolah nilai adalah capaian maksimal yang bisa
menentukan kesuksesan di masa datang. Padahal kita tahu, bahwa setiap individu
memiliki keunikan dan tak bisa dijadikan robot yang seragam. Itulah sebab
mengapa masih saja dijumpai kasus-kasus penyimpangan di sekolahan. Lagi-lagi,
keluargalah yang bisa dituntut penuh lantaran otoritasnya jelas melebihi para
guru di sekolahan.
Sebagai pengingat, saya kutipkan sajak Agus R. Sardjono
berikut;
“Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu.
Lalu mereka pun belajar sejarah palsu dari buku-buku
palsu.
Di akhir sekolah mereka terperangah melihat hamparan
nilai mereka yang palsu.
Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah mereka ke
rumah-rumah bapak dan ibu guru untuk menyerahkan amplop berisi perhatian dan
rasa hormat palsu.
Sambil tersipu palsu dan membuat tolakan-tolakan palsu,
akhirnya pak guru dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan nilai-nilai palsu yang baru…”
Begitu.*
Nur Hadi, Dimuat Harian Rakyat Sultra, Senin 26 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar