Kamis, 26 September 2019

Keluarga, Revolusi Media, dan Anak-Anak


Keluarga, Revolusi Media, dan Anak-Anak



Efek Revolusi Teknologi Digital
Apa yang diramalkan sosiolog Alvin Toffler dalam buku Future Shock pada 1970-an, tampaknya memang menjadi nyata. Pergeseran teknologi dari mekanik ke digital yang dimulai sejak dekade ’80-an, perlahan tapi pasti mulai menampakkan efek sampingnya.

Seperti yang kita tahu, canggihnya beragam teknologi digital ini tidak saja kian memudahkan kita dalam segala hal. Fungsi mata, telinga, tangan, bahkan kaki, hampir sepenuhnya tergantikan, dan hanya menyisakan otak yang entah masih berhubungan dengan hati dan perasaan ataukah tidak. Ruang dan waktu dikerdilkan dalam berbagai dimensi dan wujud atau representasi yang lebih ringkas. Dunia seolah telah berada dalam genggaman. Dari sinilah tampaknya media (yang berbasis teknologi digital) mulai mengambil alih sejumlah peran. Dengan sekali ‘klik’, peran guru  tergantikan. Ia bahkan bisa mengalahkan penjelasan seorang profesor yang telah ‘menabung’ bertahun-tahun hanya demi mendalami sebuah ilmu pengetahuan.
Tapi di balik semua yang serba instan itu, ada hal besar yang sebenarnya telah diabaikan. Ada hal-hal yang sebenarnya tak bisa digantikan hanya dengan sebuah mesin pencari atau web yang statis; yakni soal penalaran dan proses pembelajaran. Apa yang terpenting dari sebuah proses belajar tentu tak hanya sebatas materi yang sudah terserap. Lebih dari itu, proses kreatif yang telah melatarbelakangi seorang individu dalam menguasai sebuah substansi, menjadi amat penting lantaran pengalaman dalam tahun-tahun yang ia tabung. Pengalaman empiris inilah yang menjadikan manusia mampu menularkan sifat empati, solidaritas, kasih sayang, serta emosi ketika berhadapan langsung dengan murid sebagai subjek pembelajar.
Media, antara Malaikat dan Setan
Di sinilah peran media (cetak, terlebih digital) mulai terlihat kuasanya. Seperti yang pernah diramalkan pula oleh Yasraf Amir Piliang dalam ‘Dunia yang Dilipat’, internet, video, dan foto merupakan media yang mampu meredusir dan mengerdilkan ruang dan waktu ke dalam berbagai dimensi dan ke dalam wujud atau representasi yang lebih ringkas. Kekuatan bahasa, media, dan tanda, mulai mendominasi sehingga mengendalikan realitas itu sendiri. Peran guru dan orangtua, seolah bisa digantikan sekumpulan data-data tak bernyawa. Segala proses yang sejatinya membutuhkan waktu, seolah bisa didapatkan secara instan dalam hitungan menit bahkan detik. Generasi digital pun lahir. Budaya copy paste merambah ke berbagai lema kehidupan. Maka jangan heran jika karakter menjadi sesuatu yang amat penting.
Peran media tanpa bisa ditampik memang urgen. Ia berebut tempat dengan peran keluarga yang terus-menerus digempur perubahan nilai zaman. Ketika peran silaturahmi digantikan oleh telepon genggam dan internet (facebook, twitter, dsb.), ketika surat digantikan oleh email, SMS, BBM, WA, segala nilai yang seharusnya bisa ditanamkan, ditularkan, atau dicontohkan oleh sebuah subjek bernama keluarga, bisa terampas oleh media yang sifatnya statis dalam hal interaksi. Media dan keluarga berebut kontrol atas gaya hidup generasi masa depan. Dari sinilah dibutuhkan peran aktif keluarga dalam upaya menarik perhatian, mengawasi, sekaligus membentengi anak-anak dari dampak negatif yang dibawa oleh media—disadari atau bahkan tidak disadari.
Sistem interaksi dalam sebuah keluarga menjadi kunci alat kontrol kelayakan konsumsi. Apalagi jika mengingat bahwa anak-anak adalah mesin fotokopi yang sanggup mengimitasi segala kejadian yang dilihat. Ia menjadi positif jika mendapatkan bimbingan yang baik serta konsisten, dan ia bisa menjadi negatif jika tak mendapatkan kontrol serta pengarahan tepat.
Televisi dan internet bisa dituding menjadi biangkerok utama atas pendewasaan karbitan yang menimbulkan efek negatif tersembunyi. Di satu sisi ia bisa mengatasnamakan pengenalan/penanaman seni, namun di sisi lain ia memaksa anak untuk menghilangkan diri sendiri. Mereka dipaksa  menjadi sosok-sosok lain yang dianggap ikon dan layak jadi panutan. Padahal yang dibutuhkan adalah bekal untuk menyiapkan kemerdekaan yang akan mereka sambut setelah melewati gerbang kanak-kanak. Inilah kecenderungan yang ketika dewasa kelak akan membentuk mereka menjadi individu-individu palsu yang tak memiliki jati diri, mudah hanyut dalam arus euforia zaman, dan tak memiliki semangat inovasi.
Keluarga dan Sekolah
Ketika membicarakan sekolah, anak-anak jelas tak bisa lepas sebab mereka adalah subjek yang menjadi objek. Sekolah berperan sebagai tempat pengolah modal dasar bawaan yang oleh Howard Gardner disebut sebagai Multiple Intelligences. Menurutnya, kecerdasan diartikan sebagai kemampuan untuk menangkap situasi baru serta kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu. Kecerdasan bergantung pada konteks, tugas serta tuntutan yang disodorkan kehidupan, dan tidak bergantung pada nilai IQ, gelar PT, maupun reputasi.
Apakah sekolah kita sudah bisa membangun keidealan seperti itu? Alih-alih, yang terjadi justru sekolah membatasi pertumbuhan anak-anak dengan standar nilai seolah nilai adalah capaian maksimal yang bisa menentukan kesuksesan di masa datang. Padahal kita tahu, bahwa setiap individu memiliki keunikan dan tak bisa dijadikan robot yang seragam. Itulah sebab mengapa masih saja dijumpai kasus-kasus penyimpangan di sekolahan. Lagi-lagi, keluargalah yang bisa dituntut penuh lantaran otoritasnya jelas melebihi para guru di sekolahan.
Sebagai pengingat, saya kutipkan sajak Agus R. Sardjono berikut;
“Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah dengan sapaan palsu.
Lalu mereka pun belajar sejarah palsu dari buku-buku palsu.
Di akhir sekolah mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka yang palsu.
Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru untuk menyerahkan amplop berisi perhatian dan rasa hormat palsu.
Sambil tersipu palsu dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan nilai-nilai palsu yang baru…”
Begitu.*

Nur Hadi, Dimuat Harian Rakyat Sultra, Senin 26 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar