Dari Pentingnya Budaya Literasi, Hoaks, Hingga AMJ
Hoaks, Cermin Kurangnya Pendidikan Literasi
Dalam sebuah risetnya, lembaga konsultan politik Polmark
Indonesia mendapati hasil survey (lokasi survey, Jakarta 2017) bahwa 60,8% dari
responden yang disurvey mengaku pernah mendapatkan hoaks, dengan detail sebagai
berikut; 3,1% mengaku sangat sering mendapatkan hoaks, 18,1 sering mendapatkan
hoaks, 20,3% jarang mendapatkan hoaks, dan 19,3% sangat jarang mendapatkan
hoaks. Realita tersebut diperparah dengan data berikutnya yang menggambarkan
rendahnya upaya klarifikasi hoaks dan upaya penyebaran hasil upaya klarifikasi
tersebut.
Jika realita di atas kemudian dihubungkan lagi dengan
hasil survey yang pernah dilakukan Milward Brown (KMPlus Consulting, Gramedia
Pustaka Utama, 2016; 10) terkait seberapa banyak rata-rata kita menghabiskan
waktu di depan layar elektronik didapatlah hasil yang lumayan mencengangkan.
Dalam waktu dua puluh empat jam, ternyata mayoritas kita menghabiskan waktu
hampir kurang lebih selama sembilan jam dalam sehari, dengan perincian sebagai
berikut; 22% dihabiskan di depan laptop/PC (117 menit), 24% dihabiskan di depan
televisi (132 menit), sementara 54%-nya lebih banyak dihabiskan di depan ponsel
pintar dan tablet (291 menit). Durasi waktu di hadapan ponsel pintar yang
terhitung dua kali lipat daripada di hadapan televisi, jelas memberikan
petunjuk bahwa kesadaran akan bahaya hoaks seharusnya sudah menjadi agenda
utama yang harus ditanamkan ke masyarakat lantaran dunia maya adalah ladang
tersubur hoaks. Dalam sekian menit, sebuah berita mampu tersebar ke jutaan mata
dan langsung dikonsumsi publik.
Bisa kita lihat belakangan ini (terutama sejak ramainya
kontestasi Pilpres), beragam kasus hoaks menyembul dan memakan korban yang tak
sedikit; baik dari para pembacanya (lantaran hoaks ini seringnya dimulai dari
media sosial) dan terutama si pembuatnya sendiri. Mengapa si pembuat bisa juga
menjadi korban? Ya, bisa jadi lantaran ketidaktahuan si individu tersebut bahwa
apa yang disebarkannya adalah berita palsu—yang jelas-jelas mencerminkan
rendahnya budaya literasi dalam sejarah hidupnya.
Permasalahan itu menjadi tak sederhana lagi. Membangun
budaya cinta literasi di tengah apa yang disebut oleh Oberg (1960) sebagai cultural shock akibat peralihan budaya
baca yang belum mumpuni ke budaya konsumtif yang ditunjang oleh perkembangan
teknologi informasi yang begitu pesat tidaklah gampang. Ketika budaya belanja
lebih gampang dibanding budaya belajar yang kritis, setiap kita sejatinya
dituntut untuk lebih kreatif ‘memasarkan’ budaya literasi. Memilah mana yang
perlu dan boleh dikonsumsi, serta mana yang tidak perlu dan jangan sampai
terkonsumsi. Yang perlu diingat, perkara ‘konsumsi’ seharusnya tak melulu
berpangkal pada mulut dan lambung semata, namun mencakup semua indera.
Berabad
lalu, seorang Socrates (470 – 399 SM) pernah mewanti-wanti akan dampak dari
kesembronoan mengonsumsi apa pun yang datang dari sekitar. Dan dalam upaya
kritis proses konsumsi ini, Socrates menyebutnya sebagai ‘Saringan Tiga Kali’.
Begini kira-kira ilustrasinya…
Suatu
pagi seorang lelaki mendatangi Socrates, “Tahukah Anda apa yang baru saja saya
dengar mengenai salah seorang teman Anda?”
“Eit,
tunggu sebentar, tunggu dulu ya. Sebelum memberitahukan saya sesuatu, saya ingin
Anda melewati ujian kecil dari saya dulu. Ujian tersebut kunamai saringan tiga
kali. Sebelum Anda mengatakan kepada saya mengenai teman saya, alangkah
bagusnya jika Anda menyediakan waktu sejenak dan menyaring apa yang akan Anda
katakan. Itulah kenapa saya sebut sebagai saringan tiga kali. Saringan pertama
adalah kebenaran. Sudah pastikah
bahwa apa yang akan Anda katakan kepada saya adalah kebenaran?”
“Tidak,”
kata pria tersebut. “Sebenarnya saya baru saja mendengarnya dan langsung saja
ingin memberitahukannya kepada Anda. Soalnya ini berita bagus dan patut
diketahui oleh siapa saja.”
“Sekarang
kita coba saringan kedua, yaitu kebaikan.
Apakah yang akan Anda ceritakan kepada saya adalah sesuatu yang baik tentang
teman saya itu?”
“Tidak.
Sebaliknya, mengenai hal yang buruk tentang dia. Tapi berita ini patut
diketahui oleh siapa saja.”
“Jadi,
Anda ingin mengatakan kepada saya mengenai sesuatu yang buruk mengenai dia,
tetapi Anda tidak yakin akan kebenaran sesuatu itu? Hmm, oke. Sebaiknya Anda harus
lulus di ujian selanjutnya, yaitu kegunaan.
Apakah yang Anda ingin beritahukan kepada saya tentang teman saya itu akan
berguna buat saya?”
Berpikir
sejenak, “Mm, entahlah. Aku hanya ingin mengabarkan sesuatu yang sepertinya
patut engkau ketahui,” jawabnya ragu.
“Kalau
begitu, jika apa yang Anda ingin beritahukan kepada saya tidak benar, tidak
baik, bahkan juga tidak berguna buat saya. Kenapa Anda ingin menceritakannya
kepada saya?”
Langkah Awal Melawan Hoaks
Klarifikasi, kebaikan, dan kegunaan, menjadi semacam
tiga asas filter yang mesti kita
otomatiskan dalam menerima berita apa pun, terlebih dari dunia maya yang sumber
beritanya sering anonim (akun-akun palsu).
Pertama, pastikan dulu tentang kebenaran berita yang
kita terima. Apakah berita tersebut bersumber dari media yang kredibel? Apakah
berita tersebut telah mendapatkan konfirmasi dari pihak kedua (jika terkait
dengan pemberitaan seorang individu)? Apakah berita yang disampaikan telah
memenuhi kode jurnalistik? Dan setelah tahu bahwa berita itu ternyata benar, masih
harus melewati saringan berikutnya.
Kedua, apa nilai kebaikan berita itu bagi kita atau
setidaknya atas orang yang menjadi objek berita. Jika berita itu berniat
menyudutkan seseorang dan menuntut keberpihakan, jelas dibutuhkan sikap
kehati-hatiaan. Keberpihakan adalah hasil dari penilaian setelah memandang dari
dua sisi yang berkepentingan. Jika berita itu berisi kritik, maka kita harus
pandai-pandai menilai kekritisannya, apakah ada niat-niat tertentu di balik
itu. Jika kekritisan itu hanya bersifat destruktif, maka sebaiknya kita
mengambil jarak. Kekritisan yang bersifat destruktif seringnya berisi hal-hal
yang berlebihan dan tidak objektif. Kritis adalah bentuk lain dalam upaya memberikan
solusi, bukan malah memperkeruh suasana. Kekritisan yang tak memberikan
gambaran solusi hanyalah menjadi semacam kecerewetan semata.
Ketiga, takar kegunaan berita itu untuk kita dan orang
lain (jika kita berniat menyebarkannya). Setelah mendapatkan kebenaran dan
nilai kebaikan dari berita tersebut, saatnya menakar kadar kegunaannya bagi
kita. Jika tak ada gunanya, tentu saja kita harus lekas membuangnya. Jika
berita itu bermanfaat dan layak diketahui orang banyak, barulah kita bebas
menyebarkannya.
Jika kita menggunakan tiga saringan ketat ini, bisa
dipastikan kepala kita akan bersih dari ‘sampah’ yang hanya membikin sesak. Hoaks
yang bertebaran di dunia maya tak akan membuat kita responsif dan malah (tanpa
sadar) ikut-ikutan menjadi penyebar hoaks. Di samping hal tersebut menunjukkan
lemahnya daya kritis kita, imbasnya juga akan berujung ke arah langkah kinerja.
Hoaks selalu memiliki energi negatif yang bisa
dirasakan. Jika tidak ingin memancing di air keruh, mengadu domba, atau berniat
menjatuhkan seorang individu dengan tujuan tertentu. Dengan mental seperti ini,
bisakah kita menciptakan sebuah kemajuan yang mampu memuaskan semua pihak? Kita
sedang dan selalu dalam proses membangun, bukan berperang.
Pribadi sebagai
Basis Awal Membangun Budaya Literasi
Kecepatan informasi yang menyerbu kita tanpa mengenal
batas ruang dan waktu (yang oleh Marshall McLuhan (1962) pernah diramalkan
dalam proses terbentuknya global village)
mengharuskan kekritisan itu sebaiknya dimulai dari diri sendiri. Tak ayal peran
dari pentingnya budaya literasi akan terlihat.
Ketika kita menjadi sumbu utama kesadaran akan
pentingnya pendidikan literasi, keluarga adalah ranah pertama yang mau tak mau
akan kita lewati. Apakah keluarga akan memiliki peran pendukung ataukah justru
menjadi penghambat, diperlukan kesadaran dan kecerdasan untuk membaca. Membaca
tak melulu buku, TV, tetangga, masyarakat, atau alam? Diri sendiri (mencakup
keluarga) juga merupakan buku yang menyimpan beragam pengalaman otentik,
lantaran kita sebenarnya terbentuk dari banyak teks yang mengelilingi dan
saling bereaksi saat proses interaksi.
Dari kesadaran mandiri dan keluarga, kemudian akan
bergerak menuju masyarakat sekitar, hingga kemudian meluas ke ranah negara.
Dari situlah kemudian akan terbentuk kesadaran komunal akan pentingnya budaya
literasi. Meski selama ini kita telah dikenal sebagai negara dengan budaya
literasi yang rendah, hal itu justru menjadi peluang besar untuk ‘memasarkan’
pentingnya budaya literasi. Masa-masa panas musim kontestasi Pilpres kemarin
telah memberikan bukti konkret untuk menyadarkan akan bahaya hoaks dan
pentingnya budaya literasi
Omong-omong tentang budaya literasi, ide ini baiknya
memang tak hanya dibahas melulu. Perlu bukti nyata untuk merealisasikannya.
Nah, dalam rangka menawarkan pentingnya budaya literasi itulah saya, Mas
Kartika Catur Pelita, Mas Sochib Ahmada, dan Mbak Ella Sofa menggagas perlunya
dibentuk wadah bagi warga Jepara dan sekitarnya yang kritis mencatat semua
gejala sosial di sekitarnya dalam bentuk tulisan. Akademi Menulis Jepara atau
yang lebih dikenal dengan AMJ, telah dibentuk sejak Januari 2015 silam, dan
telah mewadahi puluhan penulis muda berbakat. Melalui wadah inilah para penulis
muda kami ajari membaca dan menuliskan beragam permasalahan sosial yang terjadi
di sekeliling mereka. Tujuan utamanya, tentu saja memberikan kesadaran akan
pentingnya budaya literasi.*
Pertemuan regulerdan Ultah Perdana tahun 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar