Kamis, 26 September 2019

Dari Pentingnya Budaya Literasi, Hoaks, Hingga AMJ


Dari Pentingnya Budaya Literasi, Hoaks, Hingga AMJ



Hoaks, Cermin Kurangnya Pendidikan Literasi
Dalam sebuah risetnya, lembaga konsultan politik Polmark Indonesia mendapati hasil survey (lokasi survey, Jakarta 2017) bahwa 60,8% dari responden yang disurvey mengaku pernah mendapatkan hoaks, dengan detail sebagai berikut; 3,1% mengaku sangat sering mendapatkan hoaks, 18,1 sering mendapatkan hoaks, 20,3% jarang mendapatkan hoaks, dan 19,3% sangat jarang mendapatkan hoaks. Realita tersebut diperparah dengan data berikutnya yang menggambarkan rendahnya upaya klarifikasi hoaks dan upaya penyebaran hasil upaya klarifikasi tersebut.

Jika realita di atas kemudian dihubungkan lagi dengan hasil survey yang pernah dilakukan Milward Brown (KMPlus Consulting, Gramedia Pustaka Utama, 2016; 10) terkait seberapa banyak rata-rata kita menghabiskan waktu di depan layar elektronik didapatlah hasil yang lumayan mencengangkan. Dalam waktu dua puluh empat jam, ternyata mayoritas kita menghabiskan waktu hampir kurang lebih selama sembilan jam dalam sehari, dengan perincian sebagai berikut; 22% dihabiskan di depan laptop/PC (117 menit), 24% dihabiskan di depan televisi (132 menit), sementara 54%-nya lebih banyak dihabiskan di depan ponsel pintar dan tablet (291 menit). Durasi waktu di hadapan ponsel pintar yang terhitung dua kali lipat daripada di hadapan televisi, jelas memberikan petunjuk bahwa kesadaran akan bahaya hoaks seharusnya sudah menjadi agenda utama yang harus ditanamkan ke masyarakat lantaran dunia maya adalah ladang tersubur hoaks. Dalam sekian menit, sebuah berita mampu tersebar ke jutaan mata dan langsung dikonsumsi publik.


Bisa kita lihat belakangan ini (terutama sejak ramainya kontestasi Pilpres), beragam kasus hoaks menyembul dan memakan korban yang tak sedikit; baik dari para pembacanya (lantaran hoaks ini seringnya dimulai dari media sosial) dan terutama si pembuatnya sendiri. Mengapa si pembuat bisa juga menjadi korban? Ya, bisa jadi lantaran ketidaktahuan si individu tersebut bahwa apa yang disebarkannya adalah berita palsu—yang jelas-jelas mencerminkan rendahnya budaya literasi dalam sejarah hidupnya.
Permasalahan itu menjadi tak sederhana lagi. Membangun budaya cinta literasi di tengah apa yang disebut oleh Oberg (1960) sebagai cultural shock akibat peralihan budaya baca yang belum mumpuni ke budaya konsumtif yang ditunjang oleh perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat tidaklah gampang. Ketika budaya belanja lebih gampang dibanding budaya belajar yang kritis, setiap kita sejatinya dituntut untuk lebih kreatif ‘memasarkan’ budaya literasi. Memilah mana yang perlu dan boleh dikonsumsi, serta mana yang tidak perlu dan jangan sampai terkonsumsi. Yang perlu diingat, perkara ‘konsumsi’ seharusnya tak melulu berpangkal pada mulut dan lambung semata, namun mencakup semua indera.
Berabad lalu, seorang Socrates (470 – 399 SM) pernah mewanti-wanti akan dampak dari kesembronoan mengonsumsi apa pun yang datang dari sekitar. Dan dalam upaya kritis proses konsumsi ini, Socrates menyebutnya sebagai ‘Saringan Tiga Kali’. Begini kira-kira ilustrasinya…
Suatu pagi seorang lelaki mendatangi Socrates, “Tahukah Anda apa yang baru saja saya dengar mengenai salah seorang teman Anda?”
“Eit, tunggu sebentar, tunggu dulu ya. Sebelum memberitahukan saya sesuatu, saya ingin Anda melewati ujian kecil dari saya dulu. Ujian tersebut kunamai saringan tiga kali. Sebelum Anda mengatakan kepada saya mengenai teman saya, alangkah bagusnya jika Anda menyediakan waktu sejenak dan menyaring apa yang akan Anda katakan. Itulah kenapa saya sebut sebagai saringan tiga kali. Saringan pertama adalah kebenaran. Sudah pastikah bahwa apa yang akan Anda katakan kepada saya adalah kebenaran?”
“Tidak,” kata pria tersebut. “Sebenarnya saya baru saja mendengarnya dan langsung saja ingin memberitahukannya kepada Anda. Soalnya ini berita bagus dan patut diketahui oleh siapa saja.”
“Sekarang kita coba saringan kedua, yaitu kebaikan. Apakah yang akan Anda ceritakan kepada saya adalah sesuatu yang baik tentang teman saya itu?”
“Tidak. Sebaliknya, mengenai hal yang buruk tentang dia. Tapi berita ini patut diketahui oleh siapa saja.”
“Jadi, Anda ingin mengatakan kepada saya mengenai sesuatu yang buruk mengenai dia, tetapi Anda tidak yakin akan kebenaran sesuatu itu? Hmm, oke. Sebaiknya Anda harus lulus di ujian selanjutnya, yaitu kegunaan. Apakah yang Anda ingin beritahukan kepada saya tentang teman saya itu akan berguna buat saya?”
Berpikir sejenak, “Mm, entahlah. Aku hanya ingin mengabarkan sesuatu yang sepertinya patut engkau ketahui,” jawabnya ragu.
“Kalau begitu, jika apa yang Anda ingin beritahukan kepada saya tidak benar, tidak baik, bahkan juga tidak berguna buat saya. Kenapa Anda ingin menceritakannya kepada saya?”

Langkah Awal Melawan Hoaks
Klarifikasi, kebaikan, dan kegunaan, menjadi semacam tiga asas filter yang mesti kita otomatiskan dalam menerima berita apa pun, terlebih dari dunia maya yang sumber beritanya sering anonim (akun-akun palsu).
Pertama, pastikan dulu tentang kebenaran berita yang kita terima. Apakah berita tersebut bersumber dari media yang kredibel? Apakah berita tersebut telah mendapatkan konfirmasi dari pihak kedua (jika terkait dengan pemberitaan seorang individu)? Apakah berita yang disampaikan telah memenuhi kode jurnalistik? Dan setelah tahu bahwa berita itu ternyata benar, masih harus melewati saringan berikutnya.
Kedua, apa nilai kebaikan berita itu bagi kita atau setidaknya atas orang yang menjadi objek berita. Jika berita itu berniat menyudutkan seseorang dan menuntut keberpihakan, jelas dibutuhkan sikap kehati-hatiaan. Keberpihakan adalah hasil dari penilaian setelah memandang dari dua sisi yang berkepentingan. Jika berita itu berisi kritik, maka kita harus pandai-pandai menilai kekritisannya, apakah ada niat-niat tertentu di balik itu. Jika kekritisan itu hanya bersifat destruktif, maka sebaiknya kita mengambil jarak. Kekritisan yang bersifat destruktif seringnya berisi hal-hal yang berlebihan dan tidak objektif. Kritis adalah bentuk lain dalam upaya memberikan solusi, bukan malah memperkeruh suasana. Kekritisan yang tak memberikan gambaran solusi hanyalah menjadi semacam kecerewetan semata.
Ketiga, takar kegunaan berita itu untuk kita dan orang lain (jika kita berniat menyebarkannya). Setelah mendapatkan kebenaran dan nilai kebaikan dari berita tersebut, saatnya menakar kadar kegunaannya bagi kita. Jika tak ada gunanya, tentu saja kita harus lekas membuangnya. Jika berita itu bermanfaat dan layak diketahui orang banyak, barulah kita bebas menyebarkannya.
Jika kita menggunakan tiga saringan ketat ini, bisa dipastikan kepala kita akan bersih dari ‘sampah’ yang hanya membikin sesak. Hoaks yang bertebaran di dunia maya tak akan membuat kita responsif dan malah (tanpa sadar) ikut-ikutan menjadi penyebar hoaks. Di samping hal tersebut menunjukkan lemahnya daya kritis kita, imbasnya juga akan berujung ke arah langkah kinerja.
Hoaks selalu memiliki energi negatif yang bisa dirasakan. Jika tidak ingin memancing di air keruh, mengadu domba, atau berniat menjatuhkan seorang individu dengan tujuan tertentu. Dengan mental seperti ini, bisakah kita menciptakan sebuah kemajuan yang mampu memuaskan semua pihak? Kita sedang dan selalu dalam proses membangun, bukan berperang.

Pribadi sebagai Basis Awal Membangun Budaya Literasi
Kecepatan informasi yang menyerbu kita tanpa mengenal batas ruang dan waktu (yang oleh Marshall McLuhan (1962) pernah diramalkan dalam proses terbentuknya global village) mengharuskan kekritisan itu sebaiknya dimulai dari diri sendiri. Tak ayal peran dari pentingnya budaya literasi akan terlihat.
Ketika kita menjadi sumbu utama kesadaran akan pentingnya pendidikan literasi, keluarga adalah ranah pertama yang mau tak mau akan kita lewati. Apakah keluarga akan memiliki peran pendukung ataukah justru menjadi penghambat, diperlukan kesadaran dan kecerdasan untuk membaca. Membaca tak melulu buku, TV, tetangga, masyarakat, atau alam? Diri sendiri (mencakup keluarga) juga merupakan buku yang menyimpan beragam pengalaman otentik, lantaran kita sebenarnya terbentuk dari banyak teks yang mengelilingi dan saling bereaksi saat proses interaksi.
Dari kesadaran mandiri dan keluarga, kemudian akan bergerak menuju masyarakat sekitar, hingga kemudian meluas ke ranah negara. Dari situlah kemudian akan terbentuk kesadaran komunal akan pentingnya budaya literasi. Meski selama ini kita telah dikenal sebagai negara dengan budaya literasi yang rendah, hal itu justru menjadi peluang besar untuk ‘memasarkan’ pentingnya budaya literasi. Masa-masa panas musim kontestasi Pilpres kemarin telah memberikan bukti konkret untuk menyadarkan akan bahaya hoaks dan pentingnya budaya literasi
Omong-omong tentang budaya literasi, ide ini baiknya memang tak hanya dibahas melulu. Perlu bukti nyata untuk merealisasikannya. Nah, dalam rangka menawarkan pentingnya budaya literasi itulah saya, Mas Kartika Catur Pelita, Mas Sochib Ahmada, dan Mbak Ella Sofa menggagas perlunya dibentuk wadah bagi warga Jepara dan sekitarnya yang kritis mencatat semua gejala sosial di sekitarnya dalam bentuk tulisan. Akademi Menulis Jepara atau yang lebih dikenal dengan AMJ, telah dibentuk sejak Januari 2015 silam, dan telah mewadahi puluhan penulis muda berbakat. Melalui wadah inilah para penulis muda kami ajari membaca dan menuliskan beragam permasalahan sosial yang terjadi di sekeliling mereka. Tujuan utamanya, tentu saja memberikan kesadaran akan pentingnya budaya literasi.*
 Pertemuan reguler
dan Ultah Perdana tahun 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar