Rasa
Bahasa
Dalam bahasa Jawa, dikenal tiga
tingkatan berbahasa yang masing-masingnya memiliki fungsi, tempat, dan rasa
bahasa yang berbeda. Tiga tingkatan itu tampaknya memang terbentuk dari,
sekaligus mendukung budaya feodalisme Jawa yang bermuara dari sistem kerajaan.
Bahasa ngoko, berfungsi sebagai alat komunikasi antar individu yang
memiliki kesamaan kedudukan, umur, pangkat, orang yang lebih muda, dan biasanya
sudah saling kenal. Bahasa ini merupakan tingkatan paling rendah. Bahasa ini
tidak dipergunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, orang yang
memiliki jabatan lebih tinggi, atau orang asing.
Kebalikan dari bahasa ngoko adalah bahasa krama inggil, berfungsi sebagai
alat komunikasi antar individu yang berkedudukan rendah kepada yang lebih
tinggi, yang muda kepada yang lebih tua, atau kepada orang yang baru dikenal.
Bahasa ini berfungsi untuk menyatakan rasa hormat, sekaligus menempatkan diri
sebagai orang yang berkdudukan lebih rendah, atau berumur lebih muda.
Hampir sama dengan kromo inggil adalah kromo madya yang berada di tengah-tengah keduanya. Bahasa
ini sering diaplikasikan sebagai tanda penghormatan namun dalam suasana yang
lebih santai dan akrab.
Ketiga tingkatan dalam bahasa
Jawa tersebut memiliki daftar kosakata yang berbeda-beda. Misalnya untuk makan;
mangan (ngoko), nedho (karma madya),
dahar (kromo inggil). Pergi; lunga
(ngoko), kesah (karma madya), tindak (kromo inggil). Meski terkesan merepotkan
dan kurang praktis, tetapi rasa bahasanya bisa langsung kita dapatkan.
Pemakaian bahasa kromo seringkali
digunakan sebagai tanda penghormatan, kesopanan, meski terkadang terkesan hanya
sebagai basa-basi.
Sungguh berbeda jauh dengan
bahasa Indonesia yang untuk menghadirkan rasa bahasa haruslah pandai-pandai
memilih diksi dan menyusunnya dalam struktur kalimat yang enak, sopan, dan
lembut. Kecakapan berbahasa pun (baik secara leksikal dan gramatikal) menjadi
kunci. Jika dalam bahasa Jawa kita hanya tinggal pungut kata, maka dalam bahasa
Indonesia kita diharuskan memiliki kepekaan berbahasa. Bahasa Indonesia tak
memiliki strata kata.
Saya berikan contoh sederhana;
“Apa kau sudah makan, Pak?” coba
bandingkan dengan kalimat “Apa Bapak sudah makan?” bandingkan lagi dengan
“Sudah makankah Bapak?”
Kita diharuskan mencari susunan
kalimat yang terasa enak dan sopan, lantaran ‘Pak’ adalah status yang lebih
tinggi. Sementara dalam bahasa Jawa, kita hanya perlu memakai kata-kata yang sudah
terindeks dalam tatanan kromo inggil;
Punopo Bapak sampun dhahar?
Contoh lagi, semisal;
“Apakah Anda jadi pergi hari
ini?” jika ditranslasikan ke dalam bahasa Jawa, “Punopo sampeyan siyos lunga dina iki?” (ngoko), “Punopo njenengan
siyos tindhak dinten niki?” (kromo
alus).
Kata ‘Anda’ sebenarnya sudah
memperhalus kata ‘kau’ atau ‘kamu’, jika orang kedua yang dimaksud adalah orang
penting, atau orang terhormat. Namun demikian, jarak antar subjek pun terasa
masih ada. Sehingga misal jika orang kedua tersebut adalah orang yang sudah
akrab, maka menyebut nama atau menggantinya dengan kata ‘dirimu’ jadi terasa
lebih akrab dan hangat. “Apakah Nina jadi pergi hari ini?” atau “Apakah dirimu
jadi pergi hari ini?”
Bahwa ternyata bahasa Indonesia memang
datar, itu benar. Semua subjek di dalamnya menjadi sama kedudukan. Seorang anak
yang seumur hidupnya tumbuh di Jakarta, ketika ikut pulang kampung ke tanah
kelahiran orangtuanya, bahkan mendapatkan cap tak bisa bersopan santun atau unggah-ungguh lantaran hanya bisa
memakai bahasa Indonesia saat menyapa sanak saudara yang terbilang lebih tua.
Namun demikian rasa bahasa juga
bisa kita gunakan untuk merasakan apakah kalimat itu bernada mengejek, menghina,
memarahi, atau menyanjung. Coba kita bandingkan beberapa kalimat berikut…
“Perusahaan sedang mendapatkan
musibah dari salah seorang teman kita.”
“Gara-gara ulahnya perusahaan
kita mendapatkan musibah.”
“Perusahaan seharusnya tidak
menoleransi karyawan bodoh seperti dia.”
Ketiga kalimat di atas memiliki
nada sindiran dan kemarahan yang berbeda kadar. Rasa bahasalah yang bisa
merasakannya. Maka, dengan rasa bahasa itu pula seharusnya kita bisa menyusun
kalimat yang cocok dan ‘sebanding’ dengan lawan bicara kita.
Perbedaan tingkat pendidikan,
latar belakang sosial budaya, bahkan kebiasaan, bisa dikatakan juga turut
membentuk rasa bahasa setiap individu. Kemampuan berbahasa seorang profesor
sudah pasti berbeda jauh dengan seorang petani yang hanya lulusan sekolah
dasar, dan terbiasa beraktivitas di sawah—yang notabene terbiasa
berteriak-teriak ketika menyapa orang. Begitu.*
Nur Hadi, Laras Bahasa Lampung Post, 11 Juli 2019.
Gambar diambil dari pixabay.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar