Minggu, 28 Juli 2019

Rasa Bahasa



Rasa Bahasa


Dalam bahasa Jawa, dikenal tiga tingkatan berbahasa yang masing-masingnya memiliki fungsi, tempat, dan rasa bahasa yang berbeda. Tiga tingkatan itu tampaknya memang terbentuk dari, sekaligus mendukung budaya feodalisme Jawa yang bermuara dari sistem kerajaan.

Bahasa ngoko, berfungsi sebagai alat komunikasi antar individu yang memiliki kesamaan kedudukan, umur, pangkat, orang yang lebih muda, dan biasanya sudah saling kenal. Bahasa ini merupakan tingkatan paling rendah. Bahasa ini tidak dipergunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, orang yang memiliki jabatan lebih tinggi, atau orang asing.
Kebalikan dari bahasa ngoko adalah bahasa krama inggil, berfungsi sebagai alat komunikasi antar individu yang berkedudukan rendah kepada yang lebih tinggi, yang muda kepada yang lebih tua, atau kepada orang yang baru dikenal. Bahasa ini berfungsi untuk menyatakan rasa hormat, sekaligus menempatkan diri sebagai orang yang berkdudukan lebih rendah, atau berumur lebih muda.
Hampir sama dengan kromo inggil adalah kromo madya yang berada di tengah-tengah keduanya. Bahasa ini sering diaplikasikan sebagai tanda penghormatan namun dalam suasana yang lebih santai dan akrab.
Ketiga tingkatan dalam bahasa Jawa tersebut memiliki daftar kosakata yang berbeda-beda. Misalnya untuk makan; mangan (ngoko), nedho (karma madya), dahar (kromo inggil). Pergi; lunga (ngoko), kesah (karma madya), tindak (kromo inggil). Meski terkesan merepotkan dan kurang praktis, tetapi rasa bahasanya bisa langsung kita dapatkan. Pemakaian bahasa kromo seringkali digunakan sebagai tanda penghormatan, kesopanan, meski terkadang terkesan hanya sebagai basa-basi.
Sungguh berbeda jauh dengan bahasa Indonesia yang untuk menghadirkan rasa bahasa haruslah pandai-pandai memilih diksi dan menyusunnya dalam struktur kalimat yang enak, sopan, dan lembut. Kecakapan berbahasa pun (baik secara leksikal dan gramatikal) menjadi kunci. Jika dalam bahasa Jawa kita hanya tinggal pungut kata, maka dalam bahasa Indonesia kita diharuskan memiliki kepekaan berbahasa. Bahasa Indonesia tak memiliki strata kata.
Saya berikan contoh sederhana;
“Apa kau sudah makan, Pak?” coba bandingkan dengan kalimat “Apa Bapak sudah makan?” bandingkan lagi dengan “Sudah makankah Bapak?”
Kita diharuskan mencari susunan kalimat yang terasa enak dan sopan, lantaran ‘Pak’ adalah status yang lebih tinggi. Sementara dalam bahasa Jawa, kita hanya perlu memakai kata-kata yang sudah terindeks dalam tatanan kromo inggil; Punopo Bapak sampun dhahar?
Contoh lagi, semisal;
“Apakah Anda jadi pergi hari ini?” jika ditranslasikan ke dalam bahasa Jawa, “Punopo sampeyan siyos lunga dina iki?” (ngoko), “Punopo njenengan siyos tindhak dinten niki?” (kromo alus).
Kata ‘Anda’ sebenarnya sudah memperhalus kata ‘kau’ atau ‘kamu’, jika orang kedua yang dimaksud adalah orang penting, atau orang terhormat. Namun demikian, jarak antar subjek pun terasa masih ada. Sehingga misal jika orang kedua tersebut adalah orang yang sudah akrab, maka menyebut nama atau menggantinya dengan kata ‘dirimu’ jadi terasa lebih akrab dan hangat. “Apakah Nina jadi pergi hari ini?” atau “Apakah dirimu jadi pergi hari ini?”
Bahwa ternyata bahasa Indonesia memang datar, itu benar. Semua subjek di dalamnya menjadi sama kedudukan. Seorang anak yang seumur hidupnya tumbuh di Jakarta, ketika ikut pulang kampung ke tanah kelahiran orangtuanya, bahkan mendapatkan cap tak bisa bersopan santun atau unggah-ungguh lantaran hanya bisa memakai bahasa Indonesia saat menyapa sanak saudara yang terbilang lebih tua.
Namun demikian rasa bahasa juga bisa kita gunakan untuk merasakan apakah kalimat itu bernada mengejek, menghina, memarahi, atau menyanjung. Coba kita bandingkan beberapa kalimat berikut…
“Perusahaan sedang mendapatkan musibah dari salah seorang teman kita.”
“Gara-gara ulahnya perusahaan kita mendapatkan musibah.”
“Perusahaan seharusnya tidak menoleransi karyawan bodoh seperti dia.”
Ketiga kalimat di atas memiliki nada sindiran dan kemarahan yang berbeda kadar. Rasa bahasalah yang bisa merasakannya. Maka, dengan rasa bahasa itu pula seharusnya kita bisa menyusun kalimat yang cocok dan ‘sebanding’ dengan lawan bicara kita.
Perbedaan tingkat pendidikan, latar belakang sosial budaya, bahkan kebiasaan, bisa dikatakan juga turut membentuk rasa bahasa setiap individu. Kemampuan berbahasa seorang profesor sudah pasti berbeda jauh dengan seorang petani yang hanya lulusan sekolah dasar, dan terbiasa beraktivitas di sawah—yang notabene terbiasa berteriak-teriak ketika menyapa orang. Begitu.*

Nur Hadi, Laras Bahasa Lampung Post, 11 Juli 2019.
Gambar diambil dari pixabay.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar