Sabtu, 29 Juni 2019

Antara Gelar dan Profesi



Antara Gelar dan Profesi




 Dalam sebuah esainya, Bre Redana pernah membeber perihal makna ‘budayawan’ dan ‘sastrawan’ yang sebenarnya tak sesederhana seperti dalam pemahaman kebanyakan orang selama ini. Bahwa sebenarnya tak semua penulis sastra atau pelaku budaya pantas mendapatkan gelar atau panggilan yang megah itu. Gelar atau panggilan sastrawan sejatinya hanya pantas disandang oleh dia yang seumur hidupnya didedikasikan ke dalam dunia sastra, demikian pula ‘budayawan’ yang ‘total’ mendedikasikan hidupnya ke dalam ranah budaya. Gelar tersebut belumlah pantas disandang oleh mereka yang sekadar mampir apalagi coba-coba di kedua ranah bidang tersebut.

Dari pemaknaan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa laku atau kerja yang dilakukan oleh subjek (sastrawan/budayawan) tersebut memiliki jangka waktu yang tak sebentar, alias tidak instan. Itu bisa memakan waktu sejak ia masih berumur belia hingga akhir hayat yang bersangkutan. Dan selama rentang waktu tersebut, subjek penyandang gelar itu senantiasa melakukan segala hal yang sifatnya memajukan, melakukan pembaruan, menjaga dan mengawal, atau semua kerja yang berhubungan dengan bidang sastra/budaya. Kontinuitas itulah yang kemudian melahirkan kelayakan mereka menyandang gelar tersebut. Imbuhan (akhiran –wan) yang menempel pada kata benda ‘sastra’ dan ‘budaya’ menjadikan kata tersebut yang semula hanya mengandung makna kata benda penuh berubah menjadi kata benda yang memangku makna kata kerja. Kerja yang bersifat kontinu. Kata kerja yang bersifat kontinu inilah yang kemudian kita kenal sebagai gelar.
Namun, ketika seorang pelaku sastra atau pegiat budaya tak lagi berkecimpung atau berhenti dari dunia sastra dan budaya, apakah lantas ia tak lagi layak menyandang gelar sastrawan atau budayawan? Sebutan ‘mantan sastrawan’ atau ‘mantan budayawan’ kedengarannya juga lucu di telinga. Maka jalan keluarnya saya kira adalah jangan mudah menyematkan ‘gelar’ sastrawan atau budayawan kepada seseorang. Sebab gelar adalah tanda penghormatan yang layak diberikan setelah adanya pembuktian.
Ada agamawan, fisikawan, dramawan, negarawan, dll. Kata-kata tersebut mengandung arti seseorang yang dengan kontinu mengabdikan umurnya untuk agama, untuk (perkembangan) ilmu fisika, untuk memajukan dunia teater dengan menulis lakon-lakon drama, dan untuk memajukan Negara. Semua kata bentukan akhiran –wan yang berasosiasi dengan gelar, memiliki makna kontinuitas kata kerja yang disandangnya.
Ketika saya mendapatkan sebuah undangan, dan dalam forum undangan itu kebetulan saya mendapatkan ‘todongan’ untuk sekadar menyampaikan semacam ceramah agama, maka saya belum sah untuk mendapatkan gelar ‘agamawan’ betapa pun banyak yang terkesan dengan isi ceramah saya itu. Berbeda dengan status Prof. Quraish Shihab yang siapa pun sudah tahu bahwa hampir separuh hidupnya beliau abdikan untuk mendalami ilmu tafsir Al Quran. Beliau amat layak untuk mendapatkan gelar agamawan.
Beberapa pekan lalu saya berhasil memenangkan sebuah lomba penulisan cerita pendek. Meskipun karya saya itu mendapatkan sanjungan dari para juri dalam hal kadar sastranya, apakah saya lantas layak untuk mendapatkan panggilan sastrawan? Hal itu tentulah amat beda jauh dengan kiprah Pak Putu Wijaya yang sudah puluhan tahun dalam ranah sastra. Maka gelar atau panggilan sastrawan bagi beliau adalah sebuah kewajaran.
Tapi, tak semua kata yang mendapatkan imbuhan (akhiran) –wan memiliki makna kontinuitas yang sama. Semua kata bentukan akhiran –wan yang tak berasosiasi dengan gelar, tak memangku kontinuitas kata kerja yang disandangnya, kemudian kita kenal sebagai ‘profesi’. Kata ‘wisatawan’ hanya dipangku oleh subjek ketika dia sedang berwisata. Ketika kegiatan wisata itu sudah selesai ia lakukan, panggilan ‘wisatawan’ pun tak lagi pas disematkan kepadanya. Demikian juga dengan kata ‘karyawan’ yang hanya disandang oleh seseorang ketika ia masih menjadi pegawai dari sebuah perusahaan. Atau ‘wartawan’ yang hanya disandang seseorang ketika ia masih berkerja sebagai pemburu berita. Kontinuitas itu hanya bersifat temporal. Maka, ketika kita menyebut ‘mantan wisatawan’, ‘mantan wartawan’, atau ‘mantan karyawan’, lebih bisa diterima ketimbang ‘mantan sastrawan’, ‘mantan fisikawan’, dll.*




 
Nur Hadi, Lampung Post, Jumat 29 Desember 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar