Antara Gelar dan Profesi
Dalam sebuah esainya, Bre Redana
pernah membeber perihal makna ‘budayawan’ dan ‘sastrawan’ yang sebenarnya tak
sesederhana seperti dalam pemahaman kebanyakan orang selama ini. Bahwa
sebenarnya tak semua penulis sastra atau pelaku budaya pantas mendapatkan gelar
atau panggilan yang megah itu. Gelar atau panggilan sastrawan sejatinya hanya
pantas disandang oleh dia yang seumur hidupnya didedikasikan ke dalam dunia
sastra, demikian pula ‘budayawan’ yang ‘total’ mendedikasikan hidupnya ke dalam
ranah budaya. Gelar tersebut belumlah pantas disandang oleh mereka yang sekadar
mampir apalagi coba-coba di kedua ranah bidang tersebut.
Dari pemaknaan di atas kita bisa
menyimpulkan bahwa laku atau kerja yang dilakukan oleh subjek
(sastrawan/budayawan) tersebut memiliki jangka waktu yang tak sebentar, alias
tidak instan. Itu bisa memakan waktu sejak ia masih berumur belia hingga akhir
hayat yang bersangkutan. Dan selama rentang waktu tersebut, subjek penyandang
gelar itu senantiasa melakukan segala hal yang sifatnya memajukan, melakukan
pembaruan, menjaga dan mengawal, atau semua kerja yang berhubungan dengan
bidang sastra/budaya. Kontinuitas itulah yang kemudian melahirkan kelayakan
mereka menyandang gelar tersebut. Imbuhan (akhiran –wan) yang menempel pada
kata benda ‘sastra’ dan ‘budaya’ menjadikan kata tersebut yang semula hanya
mengandung makna kata benda penuh berubah menjadi kata benda yang memangku
makna kata kerja. Kerja yang bersifat kontinu. Kata kerja yang bersifat kontinu
inilah yang kemudian kita kenal sebagai gelar.
Namun, ketika seorang pelaku sastra
atau pegiat budaya tak lagi berkecimpung atau berhenti dari dunia sastra dan
budaya, apakah lantas ia tak lagi layak menyandang gelar sastrawan atau
budayawan? Sebutan ‘mantan sastrawan’ atau ‘mantan budayawan’ kedengarannya
juga lucu di telinga. Maka jalan keluarnya saya kira adalah jangan mudah
menyematkan ‘gelar’ sastrawan atau budayawan kepada seseorang. Sebab gelar
adalah tanda penghormatan yang layak diberikan setelah adanya pembuktian.
Ada agamawan, fisikawan, dramawan,
negarawan, dll. Kata-kata tersebut mengandung arti seseorang yang dengan
kontinu mengabdikan umurnya untuk agama, untuk (perkembangan) ilmu fisika,
untuk memajukan dunia teater dengan menulis lakon-lakon drama, dan untuk
memajukan Negara. Semua kata bentukan akhiran –wan yang berasosiasi dengan
gelar, memiliki makna kontinuitas kata kerja yang disandangnya.
Ketika saya mendapatkan sebuah
undangan, dan dalam forum undangan itu kebetulan saya mendapatkan ‘todongan’
untuk sekadar menyampaikan semacam ceramah agama, maka saya belum sah untuk
mendapatkan gelar ‘agamawan’ betapa pun banyak yang terkesan dengan isi ceramah
saya itu. Berbeda dengan status Prof. Quraish Shihab yang siapa pun sudah tahu
bahwa hampir separuh hidupnya beliau abdikan untuk mendalami ilmu tafsir Al
Quran. Beliau amat layak untuk mendapatkan gelar agamawan.
Beberapa pekan lalu saya berhasil
memenangkan sebuah lomba penulisan cerita pendek. Meskipun karya saya itu
mendapatkan sanjungan dari para juri dalam hal kadar sastranya, apakah saya
lantas layak untuk mendapatkan panggilan sastrawan? Hal itu tentulah amat beda
jauh dengan kiprah Pak Putu Wijaya yang sudah puluhan tahun dalam ranah sastra.
Maka gelar atau panggilan sastrawan bagi beliau adalah sebuah kewajaran.
Tapi, tak semua kata yang
mendapatkan imbuhan (akhiran) –wan memiliki makna kontinuitas yang sama. Semua
kata bentukan akhiran –wan yang tak berasosiasi dengan gelar, tak memangku
kontinuitas kata kerja yang disandangnya, kemudian kita kenal sebagai ‘profesi’.
Kata ‘wisatawan’ hanya dipangku oleh subjek ketika dia sedang berwisata. Ketika
kegiatan wisata itu sudah selesai ia lakukan, panggilan ‘wisatawan’ pun tak
lagi pas disematkan kepadanya. Demikian juga dengan kata ‘karyawan’ yang hanya
disandang oleh seseorang ketika ia masih menjadi pegawai dari sebuah
perusahaan. Atau ‘wartawan’ yang hanya disandang seseorang ketika ia masih
berkerja sebagai pemburu berita. Kontinuitas itu hanya bersifat temporal. Maka,
ketika kita menyebut ‘mantan wisatawan’, ‘mantan wartawan’, atau ‘mantan
karyawan’, lebih bisa diterima ketimbang ‘mantan sastrawan’, ‘mantan
fisikawan’, dll.*
Nur Hadi, Lampung Post, Jumat 29
Desember 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar