Kamis, 11 April 2019

Mewaspadai Penanda Kosong



‘Mewaspadai’ Penanda Kosong




Dalam ilmu linguistik, kita pasti akan mengenal apa yang disebut sebagai ‘penanda kosong’. Makna yang dibawa penanda ini begitu mudah dimanfaatkan oleh pengucapnya, sehingga terkesan menimbulkan kekosongan makna. Semua orang bisa memanfaatkan deretan penanda kosong ini sesuka dan sesuai keinginannya, seolah-olah makna dari penanda kosong itu telah tersampaikan, padahal tindakan mereka justru menihilkan makna yang ada. Sebagai contoh dalam deretan penanda kosong ini; kebenaran, keadilan, kebahagiaan, keindahan, Tuhan, rakyat, dsb.

Memasuki tahun politik, kita akan dengan mudah menemukan pemanfaatan penanda kosong ini. Sebutlah ketika seorang politisi menyampaikan kampanye politisnya yang berbunyi, “Bla bla bla telah saya lakukan demi rakyat.” Maka kita bisa bertanya, rakyat yang manakah yang telah ia perjuangkan kepentingannya? Apakah semua rakyat di negeri ini? Apakah rakyat yang sesuku? Apakah rakyat yang memilihnya saja? Ataukah justru keluarga dan kroni-kroninya saja? Politisi ini seolah telah benar-benar melakukan kewajibannya terhadap ‘rakyat’, padahal bisa jadi ia justru membelokkan dan menutupi perbuatan salahnya di hadapan ‘rakyat’ yang sebenarnya. Kata ‘rakyat’ telah ia kosongkan dari makna sesungguhnya dan kemudian ia isi dengan makna lain yang sesuai dengan kepentingannya sendiri. Aspek konsep dari penanda itu telah ia pelintir menjadi alat.
Kita juga bisa menemukan fenomena sejenis ketika mendengarkan pejabat atau pemimpin yang mengaku telah menaikkan taraf ‘kesejahteraan’ masyarakat. Kata ‘kesejahteraan’ bisa ia peralat lantaran batas makna ‘kesejahteraan’ sungguh subjektif bagi tiap tingkatan masyarakat. Apakah ‘kesejahteraan’ yang ia maksud adalah telah menjadikan berpenghasilan cukup, berpenghasilan lebih, ataukah sekadar menciptakan jalan menuju ‘kesejahteraan’, semuanya butuh pembuktian dan pengecekan lapangan. Gambaran makna yang tertangkap telah dikacaukan, seolah-olah ‘kesejahteraan’ yang telah ia ciptakan mampu mencakup seluruh lapisan masyarakat.
Ketika kita mendengar tingkah laku orang-orang yang mengatasnamakan tindakan mereka dengan nama Tuhan, kita seharusnya juga bisa berpikir, ‘Tuhan’ yang manakah yang mereka wakili? Sebab bisa jadi pemaknaan mereka atas kata ‘Tuhan’ berbeda jauh dengan ‘Tuhan’ yang kita kenal. Latar belakang agama, entitas budaya, keyakinan, dsb. jelas membawa pengaruh akan pemaknaan itu. Maka kita pun dituntut tak usah heran jika ada sekelompok orang yang mengatasnamakan perbuatan mereka dengan nama ‘Tuhan’, tapi tindakannya berbeda atau malah justru bertolakbelakang dengan tindakan yang mendapatkan restu ‘Tuhan’ yang kita kenal dan yakini. Makna ‘Tuhan’ telah dikosongkan dan kemudian diisi kembali dengan makna-makna yang mereka yakini. Kata ‘Tuhan’ pun kemudian seolah telah memiliki makna (yang maknanya tergantung siapa pemakainya) namun sekaligus tak memiliki makna apa-apa. Sebab ia bisa dimaknai oleh siapapun berdasar keyakinan masing-masing.
Bisa kita bayangkan juga ketika seorang hakim yang tengah mengadili seorang terdakwa. Si terdakwa jelas diperkenankan menyampaikan bukti-bukti ‘kebenaran’ tindakan yang sekiranya bisa meringankan atau malah membebaskannya dari segala tuduhan kejahatan. Namun sang hakim tentu saja memiliki patokan ‘kebenaran’ sendiri untuk menilai dan memutuskan hukum. Makna ‘kebenaran’ bisa menjadi sangat subjektif sehingga diperlukan patokan makna yang telah menjadi konsensus.
Seperti halnya yang pernah dikatakan oleh Danarto sang penulis sastra yang bercorak kesufian itu. Bahwa kesufian tak perlulah dikatakan atau dibicarakan. Sebab, ketika kau mengatakan ‘aku orang suci’, bisa jadi kau sudah tidak suci lagi, lantaran kata-kata yang membawa muatan di dalam, ketika dikeluarkan akan senantiasa membawa dampak ke depan dan belakangnya. Kata ‘suci’ bisa berubah dan keluar dari makna seharusnya ketika si aku mulai ingin dianggap sebagai orang suci. Dalam konteks ini, maka benarlah sebuah adagium yang menyarankan tak semua hal butuh dikatakan dan dinyatakan, sebab ketika dinyatakan kata-kata itu justru kehilangan maknanya. Apalagi penilaian kata ‘suci’ bisa sangat subjektif sekali.
Judul tulisan saya ini sebenarnya berniat mengajak kita semua untuk kembali cerdas menelaah tiap kata yang maknanya telah dikosongkan oleh para pengguna yang berkepentingan dengan kata-kata tersebut. Ketika kata-kata bisa menjadi dan bisa digunakan sebagai apa saja, ia bisa menjadi alat yang diperalat. Dan setelah tahu ‘pemerkosaan’ kata tersebut, tentu saja, kebijaksanaan kitalah yang dibutuhkan untuk menyikapinya. Apakah kita langsung melawannya secara frontal dengan makna (atas kata tersebut) yang kita punya, diam saja, ataukan mencari jalan lain yang bisa menetralkan suasana. Mereka yang bermain-main dengan penanda kosong ini jelas memiliki kepentingan, entah baik atau buruk. Kewaspadaan itu diperlukan untuk mengantisipasi perihal udang di balik batunya. Begitu.*

Pernah dimuat di Rubrik Laras Bahasa Harian Lampung Post, Jum'at 24 Agustus 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar