‘Mewaspadai’ Penanda Kosong
Dalam ilmu linguistik, kita pasti akan mengenal apa yang disebut sebagai
‘penanda kosong’. Makna yang dibawa penanda ini begitu mudah dimanfaatkan oleh
pengucapnya, sehingga terkesan menimbulkan kekosongan makna. Semua orang bisa
memanfaatkan deretan penanda kosong ini sesuka dan sesuai keinginannya,
seolah-olah makna dari penanda kosong itu telah tersampaikan, padahal tindakan
mereka justru menihilkan makna yang ada. Sebagai contoh dalam deretan penanda
kosong ini; kebenaran, keadilan, kebahagiaan, keindahan, Tuhan, rakyat, dsb.
Memasuki tahun politik, kita akan dengan mudah menemukan pemanfaatan
penanda kosong ini. Sebutlah ketika seorang politisi menyampaikan kampanye
politisnya yang berbunyi, “Bla bla bla telah saya lakukan demi rakyat.” Maka
kita bisa bertanya, rakyat yang manakah yang telah ia perjuangkan
kepentingannya? Apakah semua rakyat di negeri ini? Apakah rakyat yang sesuku?
Apakah rakyat yang memilihnya saja? Ataukah justru keluarga dan kroni-kroninya
saja? Politisi ini seolah telah benar-benar melakukan kewajibannya terhadap
‘rakyat’, padahal bisa jadi ia justru membelokkan dan menutupi perbuatan
salahnya di hadapan ‘rakyat’ yang sebenarnya. Kata ‘rakyat’ telah ia kosongkan
dari makna sesungguhnya dan kemudian ia isi dengan makna lain yang sesuai
dengan kepentingannya sendiri. Aspek konsep dari penanda itu telah ia pelintir
menjadi alat.
Kita juga bisa menemukan fenomena sejenis ketika mendengarkan pejabat
atau pemimpin yang mengaku telah menaikkan taraf ‘kesejahteraan’ masyarakat.
Kata ‘kesejahteraan’ bisa ia peralat lantaran batas makna ‘kesejahteraan’
sungguh subjektif bagi tiap tingkatan masyarakat. Apakah ‘kesejahteraan’ yang
ia maksud adalah telah menjadikan berpenghasilan cukup, berpenghasilan lebih,
ataukah sekadar menciptakan jalan menuju ‘kesejahteraan’, semuanya butuh
pembuktian dan pengecekan lapangan. Gambaran makna yang tertangkap telah
dikacaukan, seolah-olah ‘kesejahteraan’ yang telah ia ciptakan mampu mencakup
seluruh lapisan masyarakat.
Ketika kita mendengar tingkah laku orang-orang yang mengatasnamakan
tindakan mereka dengan nama Tuhan, kita seharusnya juga bisa berpikir, ‘Tuhan’
yang manakah yang mereka wakili? Sebab bisa jadi pemaknaan mereka atas kata
‘Tuhan’ berbeda jauh dengan ‘Tuhan’ yang kita kenal. Latar belakang agama,
entitas budaya, keyakinan, dsb. jelas membawa pengaruh akan pemaknaan itu. Maka
kita pun dituntut tak usah heran jika ada sekelompok orang yang mengatasnamakan
perbuatan mereka dengan nama ‘Tuhan’, tapi tindakannya berbeda atau malah
justru bertolakbelakang dengan tindakan yang mendapatkan restu ‘Tuhan’ yang
kita kenal dan yakini. Makna ‘Tuhan’ telah dikosongkan dan kemudian diisi kembali
dengan makna-makna yang mereka yakini. Kata ‘Tuhan’ pun kemudian seolah telah
memiliki makna (yang maknanya tergantung siapa pemakainya) namun sekaligus tak
memiliki makna apa-apa. Sebab ia bisa dimaknai oleh siapapun berdasar keyakinan
masing-masing.
Bisa kita bayangkan juga ketika seorang hakim yang tengah mengadili
seorang terdakwa. Si terdakwa jelas diperkenankan menyampaikan bukti-bukti
‘kebenaran’ tindakan yang sekiranya bisa meringankan atau malah membebaskannya
dari segala tuduhan kejahatan. Namun sang hakim tentu saja memiliki patokan
‘kebenaran’ sendiri untuk menilai dan memutuskan hukum. Makna ‘kebenaran’ bisa
menjadi sangat subjektif sehingga diperlukan patokan makna yang telah menjadi konsensus.
Seperti halnya yang pernah dikatakan oleh Danarto sang penulis sastra
yang bercorak kesufian itu. Bahwa kesufian tak perlulah dikatakan atau
dibicarakan. Sebab, ketika kau mengatakan ‘aku orang suci’, bisa jadi kau sudah
tidak suci lagi, lantaran kata-kata yang membawa muatan di dalam, ketika dikeluarkan
akan senantiasa membawa dampak ke depan dan belakangnya. Kata ‘suci’ bisa
berubah dan keluar dari makna seharusnya ketika si aku mulai ingin dianggap
sebagai orang suci. Dalam konteks ini, maka benarlah sebuah adagium yang
menyarankan tak semua hal butuh dikatakan dan dinyatakan, sebab ketika
dinyatakan kata-kata itu justru kehilangan maknanya. Apalagi penilaian kata
‘suci’ bisa sangat subjektif sekali.
Judul tulisan saya ini sebenarnya berniat mengajak kita semua untuk
kembali cerdas menelaah tiap kata yang maknanya telah dikosongkan oleh para
pengguna yang berkepentingan dengan kata-kata tersebut. Ketika kata-kata bisa
menjadi dan bisa digunakan sebagai apa saja, ia bisa menjadi alat yang
diperalat. Dan setelah tahu ‘pemerkosaan’ kata tersebut, tentu saja,
kebijaksanaan kitalah yang dibutuhkan untuk menyikapinya. Apakah kita langsung
melawannya secara frontal dengan makna (atas kata tersebut) yang kita punya,
diam saja, ataukan mencari jalan lain yang bisa menetralkan suasana. Mereka
yang bermain-main dengan penanda kosong ini jelas memiliki kepentingan, entah
baik atau buruk. Kewaspadaan itu diperlukan untuk mengantisipasi perihal udang
di balik batunya. Begitu.*
Pernah dimuat di Rubrik Laras Bahasa Harian Lampung Post, Jum'at 24 Agustus 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar