Selasa, 02 April 2019

Perihal Nama



Perihal Nama




Apalah arti sebuah nama’, adalah ungkapan terkenal yang pernah diucapkan oleh pujangga kenamaan Inggris, William Shakespeare. Dalam konteks pembicaraannya itu, ia seolah menganggap nama hanyalah sekadar nama, yang digunakan untuk mengenali dan memberi ciri seseorang. Nama seolah tak memiliki makna apa pun selain hanya dijadikan penanda atau alat untuk memanggil. Padahal seperti yang kita tahu, saat kita mencarikan nama untuk calon jabang bayi terkadang sampai harus tanya ke sana- kemari, pergi ke ‘orang pintar’, melihat ‘neptu dan hari pasaran’ (Jawa), melihat bulan, musim, sampai ini itu yang intinya agar nama itu selain enak dan (terasa) cocok buat kita, juga dimaksudkan untuk menyimpan momen/kenangan, makna tertentu, cita-cita/harapan, (bahkan) untuk mengabadikan sang mantan, sampai kadang untuk mengabadikan orang yang kita kagumi. Nama bukanlah sekadar nama.

Nama bisa menjadi penanda pengaruh zaman. Bisa kita bandingkan antara nama-nama yang lahir di era 1950-an dengan nama-nama yang lahir di era 2000-an. Kita ambil saja nama era 1950-an, misal; Bejo, Suharto, Budiono, Sutarjo, Kaslan, Jumini, Turipah, yang terkesan sederhana, pragmatis, dan mengandung unsur lokal. Sementara nama era 2000-an, misal; Gita Ayu Suksma, Monita Laurens Abas, Firdayanti Naya Brigitta, Embun Semesta Raya, yang terasa sudah mendapatkan pengaruh globalisasi, kompleks, berpatokan pada keindahan yang bermuara pada prestise, dan memperlihatkan pergeseran cara berpikir.
Nama juga bisa menjadi penanda pilihan ideologi sang pemberi nama.  Perihal ini, saya jadi teringat dengan telaah esais Widyanuari Eko Putra dalam ‘Perihal Nama’ (Kelab Buku Semarang, 2018) yang judul bukunya saya pinjam untuk menulis esai ini. Ketika Pramoedya Ananta Toer memilih tokoh bernama Minke (yang mengasosiasikan pada kata ‘monkey’)*, kita sebenarnya tengah dihadapkan pada sosok tipe pemberontak, visioner, cerdik, cerdas, dan pejuang. Melalui nama olok-olok itu Pram seolah ingin bilang kepada kita, bahwa kolonialisme telah menanamkan dan memberi cap mental terbelakang, bodoh, hina, dan tak sepadan terhadap kaum pribumi.  Namun kemudian olok-olok itu justru menjadi pemicu kebangkitan nasional.
Hampir sebagian besar nama rekaan yang dipakai penulis sastra menggambarkan hal ini. Selain untuk memperkokoh karakter, nama menjadi semacam petunjuk kesekian yang diperuntukkan untuk membimbing pembaca menuju pemahaman yang diinginkan pengarang.
Dari segi leksikal, nama seringkali menyimpan ketidaksederhanaan. Dalam etnis tertentu, nama bisa menunjukkan kasta, golongan, keluarga, sampai pengharapan. Ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa nama adalah doa. Suharto, misalnya, ia terdiri dari dua morfem; ‘su’  yang kependekan dari ‘sugih’ (kaya), dan ‘arto’ yang berarti harta. Nama Bejo, misalnya, menyiratkan pengharapan orangtua agar si anak selalu mendapatkan keberuntungan. Rukmi yang diasosiasikan dari rukun lan migunani (senantiasa rukun dan bermanfaat), Ngatmi yang berasal dari ngati-ati lan gemi (senantiasa berhati-hati), dll. Komposisi huruf dibuat sedemikian rupa dengan memerhatikan kenyamanan pengucapan tanpa mengabaikan estetika (meski kadar estetikanya berbeda-beda sesuai dengan napas zaman).
Nama juga sering digunakan untuk menyimpan momen-momen penting yang menyertai kelahirannya. Mungkin Anda pernah mendengar tentang seorang aktivis ‘Reformasi’ yang kemudian menamai anaknya dengan ‘Gempur’ atau ‘Juang’. Atau anak yang diberi nama sesuai bulan kelahirannya demi memudahkan orangtuanya untuk mengingat momen penting itu.
Nama jelas menjadi sebuah wadah yang tak kosong budaya. Maka tak perlu heran jika kemudian warga medsos menjadi ribut tatkala Sutradra Hanung Bramantyo mendapuk Iqbal yang sudah kadung identik dengan nama Dilan yang pernah diperankannya. Meski hanya sosok rekaan, sosok Dilan dan Minke yang masing-masing memiliki identitas (budaya) tersendiri, dan terkesan saling bertolak belakang dalam kepribadian, akan terasa janggal jika diperankan oleh satu bintang film. Fenomena ini juga mengingatkan bahwa nama tidak bisa sembarangan disematkan kepada seorang individu. Itulah mengapa diperlukan casting pemain demi mendapatkan pemeran yang pas. Atau Yudi kemudian mengubah namanya menjadi Yuyang ketika ia beralih profesi menjadi bencong jalanan.
Nama bahkan kemudian menjadi amat penting ketika ia menjadi penanda penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan. Melalui nama yang disematkan pada hasil temuan mereka, kita jadi mudah mengingat tentang jerih payah, kisah di balik penemuannya, atau setidaknya sudah tahu bahwa objek itu sudah bernama/diberi nama.
Nama jelas bukanlah sekadar apalah-apalah belaka. Saat bertemu dengan orang yang berkesan, bukankah nama adalah identitas pertama yang ingin kita kenal? Nama pula yang menjadi etalase terdepan dari semua produk jualan. Hanya dengan menyebut nama sebuah produk yang sudah terkenal dan terbukti kualitasnya, konsumen bisa langsung percaya. Jadi, masihkah Anda sependapat dengan ‘Apalah arti sebuah nama?’*

*Widyanuari EkoPutra, Perihal Sebuah Nama, 2018; 26.
Esai ini pernah tersiar di Harian Lampung Post, 6 Juli 2018.
Gambar diambil dari Pinterest.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar