Perihal Nama
‘Apalah arti sebuah nama’, adalah
ungkapan terkenal yang pernah diucapkan oleh pujangga kenamaan Inggris, William
Shakespeare. Dalam konteks pembicaraannya itu, ia seolah menganggap nama
hanyalah sekadar nama, yang digunakan untuk mengenali dan memberi ciri
seseorang. Nama seolah tak memiliki makna apa pun selain hanya dijadikan
penanda atau alat untuk memanggil. Padahal seperti yang kita tahu, saat kita
mencarikan nama untuk calon jabang bayi terkadang sampai harus tanya ke sana-
kemari, pergi ke ‘orang pintar’, melihat ‘neptu
dan hari pasaran’ (Jawa), melihat
bulan, musim, sampai ini itu yang intinya agar nama itu selain enak dan
(terasa) cocok buat kita, juga dimaksudkan untuk menyimpan momen/kenangan,
makna tertentu, cita-cita/harapan, (bahkan) untuk mengabadikan sang mantan,
sampai kadang untuk mengabadikan orang yang kita kagumi. Nama bukanlah sekadar
nama.
Nama bisa menjadi penanda pengaruh zaman. Bisa kita
bandingkan antara nama-nama yang lahir di era 1950-an dengan nama-nama yang
lahir di era 2000-an. Kita ambil saja nama era 1950-an, misal; Bejo, Suharto,
Budiono, Sutarjo, Kaslan, Jumini, Turipah, yang terkesan sederhana, pragmatis,
dan mengandung unsur lokal. Sementara nama era 2000-an, misal; Gita Ayu Suksma,
Monita Laurens Abas, Firdayanti Naya Brigitta, Embun Semesta Raya, yang terasa
sudah mendapatkan pengaruh globalisasi, kompleks, berpatokan pada keindahan
yang bermuara pada prestise, dan memperlihatkan pergeseran cara berpikir.
Nama juga bisa menjadi penanda pilihan ideologi sang
pemberi nama. Perihal ini, saya jadi
teringat dengan telaah esais Widyanuari Eko Putra dalam ‘Perihal Nama’ (Kelab
Buku Semarang, 2018) yang judul bukunya saya pinjam untuk menulis esai ini. Ketika
Pramoedya Ananta Toer memilih tokoh bernama Minke (yang mengasosiasikan pada
kata ‘monkey’)*, kita sebenarnya
tengah dihadapkan pada sosok tipe pemberontak, visioner, cerdik, cerdas, dan
pejuang. Melalui nama olok-olok itu Pram seolah ingin bilang kepada kita, bahwa
kolonialisme telah menanamkan dan memberi cap mental terbelakang, bodoh, hina, dan
tak sepadan terhadap kaum pribumi. Namun
kemudian olok-olok itu justru menjadi pemicu kebangkitan nasional.
Hampir sebagian besar nama rekaan yang dipakai penulis
sastra menggambarkan hal ini. Selain untuk memperkokoh karakter, nama menjadi
semacam petunjuk kesekian yang diperuntukkan untuk membimbing pembaca menuju
pemahaman yang diinginkan pengarang.
Dari segi leksikal, nama seringkali menyimpan
ketidaksederhanaan. Dalam etnis tertentu, nama bisa menunjukkan kasta, golongan,
keluarga, sampai pengharapan. Ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa nama
adalah doa. Suharto, misalnya, ia terdiri dari dua morfem; ‘su’ yang kependekan dari ‘sugih’ (kaya), dan ‘arto’
yang berarti harta. Nama Bejo, misalnya, menyiratkan pengharapan orangtua agar
si anak selalu mendapatkan keberuntungan. Rukmi yang diasosiasikan dari rukun lan migunani (senantiasa rukun dan bermanfaat), Ngatmi yang berasal
dari ngati-ati lan gemi (senantiasa
berhati-hati), dll. Komposisi huruf dibuat sedemikian rupa dengan memerhatikan
kenyamanan pengucapan tanpa mengabaikan estetika (meski kadar estetikanya
berbeda-beda sesuai dengan napas zaman).
Nama juga sering digunakan untuk menyimpan momen-momen
penting yang menyertai kelahirannya. Mungkin Anda pernah mendengar tentang
seorang aktivis ‘Reformasi’ yang kemudian menamai anaknya dengan ‘Gempur’ atau
‘Juang’. Atau anak yang diberi nama sesuai bulan kelahirannya demi memudahkan
orangtuanya untuk mengingat momen penting itu.
Nama jelas menjadi sebuah wadah yang tak kosong budaya.
Maka tak perlu heran jika kemudian warga medsos
menjadi ribut tatkala Sutradra Hanung Bramantyo mendapuk Iqbal yang sudah
kadung identik dengan nama Dilan yang pernah diperankannya. Meski hanya sosok
rekaan, sosok Dilan dan Minke yang masing-masing memiliki identitas (budaya)
tersendiri, dan terkesan saling bertolak belakang dalam kepribadian, akan
terasa janggal jika diperankan oleh satu bintang film. Fenomena ini juga
mengingatkan bahwa nama tidak bisa sembarangan disematkan kepada seorang
individu. Itulah mengapa diperlukan casting
pemain demi mendapatkan pemeran yang pas. Atau Yudi kemudian mengubah
namanya menjadi Yuyang ketika ia beralih profesi menjadi bencong jalanan.
Nama bahkan kemudian menjadi amat penting ketika ia
menjadi penanda penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan. Melalui nama
yang disematkan pada hasil temuan mereka, kita jadi mudah mengingat tentang
jerih payah, kisah di balik penemuannya, atau setidaknya sudah tahu bahwa objek
itu sudah bernama/diberi nama.
Nama jelas bukanlah sekadar apalah-apalah belaka. Saat
bertemu dengan orang yang berkesan, bukankah nama adalah identitas pertama yang
ingin kita kenal? Nama pula yang menjadi etalase terdepan dari semua produk jualan.
Hanya dengan menyebut nama sebuah produk yang sudah terkenal dan terbukti
kualitasnya, konsumen bisa langsung percaya. Jadi, masihkah Anda sependapat
dengan ‘Apalah arti sebuah nama?’*
*Widyanuari EkoPutra, Perihal Sebuah Nama, 2018; 26.
Esai ini pernah tersiar di Harian Lampung Post, 6 Juli 2018.
Gambar diambil dari Pinterest.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar