Mengubah Takdir di Kehidupan Kedua
Judul Buku : Pelajaran dari Alam Kubur
Penerjemah : Syamsuddin bin Salim al-Qalyubi
Penerbit :
Penerbit DIVA Press
Cetakan :
Pertama, September 2015
Tebal : 188
halaman
ISBN :
978-602-0806-33-4
Kita mengenalnya sebagai mati suri.
Para pakar mengatakan bahwa orang yang mati suri pada hakikatnya belum mati.
Orang yang mati suri memang mengalami berhentinya detak jantung dan napas
layaknya orang mati, namun sesungguhnya ada sedikit aktivitas dalam saraf di
otak yang membuatnya tersadar dari mati suri. Sebagian ilmuwan menganggap mati
suri sebagai peristiwa masuknya manusia ke alam mimpi yang sangat dalam (hal.
12).
Maka tak berlebihan kiranya jika kita
menganggap orang yang mengalami mati suri sama halnya dengan berwisata ke alam
kubur. Tentunya, setelah mengalami kesempatan kehidupan kedua, manusia akan
memanfaatkan kesempatan tersebut untuk senantiasa berbuat kebajikan. Sehingga
terjadilah perubahan besar dalam hidupnya lantaran ia sudah mengetahui apa yang
kelak akan terjadi padanya setelah ia benar-benar mati. Buku ini akan banyak
menceritakan kisah-kisah mereka yang pernah mengalami mati suri, baik dari
mereka yang bisa mengambil hikmahnya maupun yang kemudian masih kukuh dengan
keyakinannya semula.
Sebutlah saja kisahnya Wati, seorang
perempuan asal Jawa Barat yang tergoda perselingkuhan dengan pemuda yang kerap
nongkrong di dekat rumahnya. Perbuatan buruknya ini berakhir dengan kehamilan
yang tak pernah diketahui suami pertama. Titik balik terjadi ketika Wati
akhirnya mengalami kesulitan dalam proses persalinan yang mengakibatkan
kematiannya. Tak ada yang mengira bahwa dalam kematiannya tersebut Wati
mengalami sebuah siksaan berat di sebuah tempat yang tak ia ketahui di mana. Ia
berjuang keras untuk bisa keluar dari ruang penyiksaan tersebut. Dan ketika
akhirnya ia berhasil lepas dari ruang penyaiksaan tersebut, keluarga yang dulu
pernah dikhianatinya menangis tersedu-sedu di hadapan jasadnya yang katanya
hendak dikubur. Wati pun buru-buru meminta maaf kepada suaminya dan berjanji
tak akan mengulani perbuatan nistanya (hal. 42).
Buku ini menyajikan kisah-kisah mati
suri dari beragam orang yang tak hanya memiliki beragam masa lalu yang kelam.
Orang-orang yang sering berbuat baik selama hidupnya, dikisahkan selalu
mendapatkan pengalaman yang menyenangkan ketika mengalami mati suri. Entah itu
tiba-tiba memiliki istana dan taman yang luas, menemukan cinta sejati dalam
perjalanan ke alam kematian, mendapatkan jamuan di sebuah tempat yang
menyenangkan, ada juga yang bertemu leluhur dan mendapatkan nasihat-nasihat
bijak yang bisa mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Semua kejadian yang
dialami oleh mereka yang pernah mati suri—buruk maupun baik, merupakan cerminan
balasan atas segala perbuatan buruk yang pernah dilakukan. Demikian pula
sebaliknya.
Ternyata tak semua orang bisa
mengambil pelajaran dari kematian (suri) yang pernah dialaminya. James Randi,
seorang pesulap ternama asal Kanada, menuturkan pernah mengalami mati suri
setelah mabuk berat. Namun ternyata kejadian itu hanya dianggapnya sekadar
ketidak sadaran diri yang bisa dialami oleh siapa pun. Setelah pensiun dari
profesinya, Randi bahkan rajin mengisi seminar dan menulis buku tentang
penolakan terhadap hal-hal mistis baik hantu, takhayul, hingga ajaran agama
(hal. 98).
Serupa dengan kisah Carl Gustav Jung,
salah satu tokoh penyusun teori kesadaran emosional manusia. Pada Januari 1944,
Jung mengaku pernah mengalami mati suri ketika menderita serangan jantung.
Selama beberapa jam, Jung mengaku telah mengunjungi beberapa tempat di dunia
hingga akhirnya sampai di luar bumi. Pada saat itu belum ada misi ruang
angkasa, namun Jung dapat menggambarkan wujud planet kita yang bulat, dipenuhi
warna biru samudera, dsb. Meski ia kemudian menuliskan semua pengalaman
ajaibnya itu secara detail, namun Jung tetap tidak meyakini Tuhan sebagaimana
yang diajarkan agama (hal. 105).
Dengan menghadirkan kisah-kisah mati
suri dari dua perspektif berbeda seperti di atas, tampaknya buku ini coba meletakkan
kembali penilaian kritis terhadap pembaca. Kepercayaan akan adanya kehidupan
setelah kematian, tetap menjadi kualitas penentu kadar iman seseorang.*
(Nur Hadi, Harian Bhirawa, Jum'at 11 Desember 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar