Salju Luruh di Oxford Street
Butiran-butiran putih berjatuhan dari langit Jalan Oxford yang kelabu.
Seperti airmata para dewa yang bersedih. Orang-orang lewat berwajah muram,
tertunduk, tergesa, sembari menyembunyikan jemari ke dalam saku jaket tebal. Mungkin
perubahan cuaca ekstrem ini mulai menjadi beban pikiran mereka.
Berita tentang kekacauan transportasi yang merenggut ratusan nyawa hampir merata di semua benua. British Airways telah membatalkan seluruh penerbangan
dari Bandara Heathrow dan Gatwick. Konon Gatwick bahkan mati beku lantaran
timbunan salju yang melebihi batas kewajaran. Bisa dibayangkan berapa banyak hati yang ikut
membeku lantaran pertemuan tertunda. Jalan Oxford yang biasa bingar pun turut
redup.
“Kenapa kau terlihat terburu sekali?” sebuah tepukan di bahu menghentikan
langkahku. Emily Novacheck. Seorang perempuan aneh yang menegurku dengan sapaan
ganjil saat jumpa pertama. Mengapa mesti terpengaruh merek? katanya. Tanpa
kuminta, Emi kemudian menunjukkan semua toko yang menjual barang-barang bermutu
dengan detailnya. Melebihi pramuniaga yang akhirnya diam menatap Emi lantaran
telah menggagalkan rayuannya kepadaku. Kami pun segera menjadi akrab. Apalagi
kemudian ia menjadi ensiklopedi berjalan yang setiap saat bisa mengantarku ke
toko yang sesuai selera mata dan kekuatan dompet.
“Tak perlu malu. Watak kebanyakan perempuan memang seperti itu. Wawasan
diperlukan demi mendapatkan barang yang sesuai selera. Kau bisa ke Outfitters
jika ingin beroleh pakaian retro dengan mutu di atas rata-rata. Atau tengoklah
Pull and Bear. Siapa tahu kau terpikat dengan hasil tangan orang Spanyol,”
menyebut sebuah gedung megah di Oxford
Street.
Mulut itu seperti kereta tanpa rem saja. Tanpa jeda ia kemudian
menunjukkan Uniqlo, gedung pakaian yang memajang hasil tangan orang-orang
Jepang. Lalu Primark—jika kau ingin berhemat, tapi tetap gaya—yang milik orang Irlandia. Sampai ke
Marks & Spencer di persimpangan Jalan Oxford
dan Jalan Orchard.
“Yang berada di Jalan Regent
dan Jalan Tottenham Court itu cabangnya. Menurutku
lebih baik kau ke sarang utamanya saja. Siapa tahu kau bisa bertemu bosnya,
lalu kau bisa mengadukan sedikit kekecewaanmu atas hasil karya mereka. Atau
malah kau bisa dilamar menjadi model mereka,” memamerkan deretan giginya yang
cemerlang.
“Sudah berapa lama Anda tinggal di sini?” sengaja kugunakan kata ‘Anda’
demi menekankan jarak, bahwa kami memang baru beberapa hari kenal. Kecurigaan
jadi berkecambah dalam hatiku. Segala informasi yang disodorkannya tak begitu
penting. Aku belanja hanya demi menyambut musim dingin. Aku harus pandai-pandai
memperhitungkan biaya selama tinggal di sini. Syukur jika masih bisa menyisakan
sedikit tabungan dari uang beasiswa.
“Hahaha…, entah mengapa aku selalu saja mendapatkan pertanyaan seperti
itu dari setiap kenalan baru. Apakah itu penting?” pertanyaan di belakang
kalimatnya itu sepertinya tak butuh jawaban. Jadi kemudian aku pun bertanya
tentang tempat magang.
“Magang? Kau belum punya suami ya?”
Kuberikan info sekadarnya. Bahwa suamiku tinggal di Indonesia. Ia mengajar di sebuah
perguruan tinggi swasta. Dengan gaji serta posisi yang masih biasa-biasa saja,
pertemuan via suara adalah jalan satu-satunya untuk mengendapkan rindu.
Aku selalu merasa bahwa perkenalan kami adalah hal yang aneh. Buat apa ia
(tampak berusaha) mendekatiku dengan bercerita perihal kehidupan pribadinya?
“Aku dulu juga sepertimu. Memiliki suami, dan seorang anak lelaki. Tapi
masa lalu itu telah aku kubur dalam-dalam,” ceritanya. “Aku memilih pisah
lantaran tak mau diikat terlalu kencang.”
Aku tak mau tahu. Sungguh. Betapa pun ada rasa iba yang menyelinap dalam
dada.
“Beasiswaku dari Oxford
hampir saja terbuang percuma.”
Aku mencari pemandangan lain. Para
pejalan kaki yang berseliweran di hadapan kami seperti kenangan yang berlepasan
dari dalam kepala. Suara Emily tak terdengar lagi. Aku memandangi satu per satu
kenanganku sendiri.
Dimulai dengan perkenalanku dengan Sugiantoro. Kami dipertemukan bukan
lantaran cinta, tapi kebutuhan. Sekian tahun aku menolak perjodohan yang disodorkan
paklik-paklik bahkan dari orangtua sendiri. Terhitung, sudah ada enam lamaran
pria yang kubekukan dalam diam. Alim yang anak pelayaran, Khana yang pilot,
Darwanto (anak saudara sepupu Bapak) yang dokter, Eko (anak teman Bapak) yang
masih muda namun sudah membawahi usaha travel
& tour, Nara yang pegawai negeri eselon II, Joni yang pemilik Jojo
Group (usahanya merambah di bidang tempat hiburan), semuanya terlihat tiada
menarik di kedua mataku. Kedua orangtuaku kebingungan menghadapi sikapku ini.
Belum lagi jika omongan-omongan miring mampir di telinga.
Ada yang menyarankan agar aku dibawa ke
orang pintar (dengan maksud untuk mengetahui apakah aku kena guna-guna orang),
sampai ada pula yang mengusulkan hal gila; sebaiknya aku mengunjungi sebuah
tempat tertentu, ketika sesudah ke sana
pasti akan segera bertemu jodoh. Aku menolak semua usul gila itu. Aku sempat
‘melarikan diri’ ke Banjarmasin
mengikut Paklik Sumarjo lalu mengabdikan diri di sebuah SMA swasta setempat,
demi menyelamatkan telinga dari suara-suara buruk itu.
Hatiku baru luluh setahun kemudian. Bapak yang tak pernah jemu menyuruhku
pulang, berkabar bahwa sekolahan Pakdhe Huri yang baru lima bulan berdiri, masih kekurangan tenaga
pengajar. Aku tahu, di negeriku, nilai kelulusan tak selalu dapat diandalkan
untuk mendapatkan pekerjaan. Hubungan kekerabatan dan uanglah yang memiliki
kekuatan luar biasa. Dan akhirnya aku pun kembali pulang akibat salah satu dari
dua hal yang kubenci itu. Setahun kemudian aku dikenalkan dengan Sugiantoro
oleh salah seorang teman. Kami menikah tujuh bulan kemudian.
Aku hampir tak percaya saat Emily bisa menemukan tempat kontrakanku. Tak
hanya heran, rasa jengkel mulai menjulur saat ia bilang tertarik dengan kisah
hidupku yang kuceritakan sebagian kemarin. Ia bertanya, apakah aku keberatan
jika ia memintaku menceritakan kelanjutannya? Padahal aku belum sempat bertanya
dari mana ia bisa mengetahui alamat kontrakanku.
“Tak ada yang istimewa kok,” senyumku, sembari membereskan buku-buku di
meja ruang tamu. Kusiapkan susu hangat untuknya.
“Tapi aku penasaran, bagaimana bisa suamimu membiarkanmu sendirian
tinggal di sini?” kembali mengacak-acak buku yang telah kutumpuk rapi.
“Mulanya dia memang khawatir. Tapi kan
ada e-mail, facebook, twitter,”
senyumku lagi. “Lagipula tak selamanya aku mendapatkan kesempatan ini.”
Aku merasa Emily adalah seorang yang kesepian. Ia bilang sudah kehilangan
kontak dengan satu-satunya anak yang pernah ia lahirkan. “Entah, mungkin
ayahnya sudah mencuci otak bocah malang
itu. Padahal kadangkala, rasanya aku sudah mati terbunuh oleh rasa rinduku
kepadanya.”
“Kenapa kau tak menengoknya langsung saja?” aku duduk memerhatikan
polahnya setelah kusuguhkan susu di meja.
“Itulah masalahku sekarang, Lina. Ayahnya sudah punya sarang lagi. Aku
sudah dihapus dari dalam ingatannya.”
“Oh, maaf. Aku tak bermaksud membuka lukamu lagi.”
“Tak apa. Itu sudah bukan masalah lagi buatku,” sambil menyesap susu yang
kusuguhkan.
Aku hanya ingin menjadi pendengar saja. Meskipun perempuan ini tampaknya
sengaja membuka diri lebar-lebar dan sengaja ingin mengajakku masuk ke sana. Mencari sahabat di
tengah kehidupan kota
besar mungkin memang susah. Tapi kukira, menerima persahabatan dari orang yang
baru beberapa hari dikenal jelas lebih susah.
* * *
Jalan Oxford seperti pasar tumpah saat sore hari. Para
pejalan kaki menjadi menu favorit yang kunikmati sehabis mengerjakan
tugas-tugas kelas yang kadang terasa menjemukan. Tentu saja, aku harus selalu
membuatnya menjadi hal menyenangkan. Dua tahun bukanlah waktu yang pendek. Aku
perempuan. Rindu terhadap anak-anak bisa datang kapan saja melumpuhkan.
Leona—induk semang pemilik tempat kontrakanku—sesekali juga menyuruhku turun ke
jalan bawah tanah demi mendapatkan suasana yang jauh berbeda.
Suatu sore, sewaktu mencoba bagaimana sensasi memandangi deretan
gedung-gedung mewah dari dalam trem, kedua mataku menemukan Emily yang baru
saja keluar dari Disney Store. Bersama dengan seorang perempuan tak kukenal,
mereka tampak kerepotan menjinjing barang belanjaan. Yang buat dadaku
tergelitik penasaran dan kedua mataku enggan melepas pemandangan itu adalah
pancaran kemesraan pada gelagat mereka. Hingga sesampainya di rumah, aku pun
terpaksa menanyakan tentang Emily kepada Leona.
“Jadi kau belum kenal siapa perempuan yang sering mengunjungimu itu?”
Aku mencium aroma bahaya dari pertanyaan balik yang dilontarkan Leona.
“Boleh pinjam laptopmu sebentar?” pintanya.
Beberapa menit kemudian aku dibuatnya terpana.
“Di sini memang banyak juga perempuan tunawisma. Tapi dia, kasusnya
pernah memenuhi laman dunia maya. Hati-hati saja dengannya,” Leona menatapku
serius. Dan lalu menginterogasiku dengan beragam pertanyaan seputar sejauh mana
perkenalan kami.
Aku tersenyum sebelum bilang, “Kami tidak melakukan apa pun. Dia hanya
sering cerita tentang kisah hidupnya. Dia justru banyak membantuku,” kutekuri
kalimat demi kalimat laman artikel yang memuat kisah Emily. Hati kecilku tak
sepenuhnya percaya. Dalam dunia maya, sesuatu seringkali bisa dibesar-besarkan
hingga melebihi kenyataannya.
Dulunya Emily adalah peraih beasiswa di bidang Matematika. Pernikahannya
yang tanpa sepengetahuan keluarga gagal dua tahun kemudian. Ia menolak pulang
ke negara asal lantaran kondisi keluarga orangtuanya juga amburadul. Ia menjual
diri demi agar bisa bertahan di Oxford.
Tenggorokanku tiba-tiba saja mengering membaca semua itu.
Tapi, apa yang mesti kuwaspadai dari perempuan semacam dirinya? Aku tak
mau mengungkapkan kegelisahan kecil ini kepada Leona. Mata ini melihat Emily
sebagai sosok yang hanya butuh teman bicara. Sepertinya.
Pada pertemuan berikut, masih sama. Emily sempat menawariku mengantarkan
ke Primax yang dekat stasiun bawah tanah dekat Marble Arch demi mendapatkan
harga-harga miring saat belanja. Ia sempat terkejut saat kutanya tentang siapa
teman perempuannya yang kemarin itu. Ia menjawab dengan ceria, bahwa mereka
teman akrab.
“Apakah itu penting bagimu, untuk tahu siapa dia?” tanyanya kemudian.
Apakah aku harus menanyakan kebenaran perihal semua? Sebenarnya, apa yang
ia tuju dariku?
“Hei, kau melamun. Apa kau melamunkan aku?”
Aku menoleh, menanggapi dengan senyum. Kuhentikan sejenak aktivitas
mencuci piring. “Besok aku kosong, tak ada jam kuliah. Apa kau tak ingin
mengajakku main ke tempat tinggalmu?”
“Oya? Wah…,” menggaruk tengkuk. “Emm, sebenarnya, ada yang ingin
kuceritakan kepadamu…”
* * *
Salju luruh di Jalan Oxford.
Malam-malam yang biasanya dipenuhi para pejalan kaki mendadak lengang, hanya
menyisakan beberapa orang yang berjalan menunduk terbungkus rapat jaket
tebalnya. Aku baru saja menuntaskan rindu dengan suami dan buah cinta kami via
telepon. Sebelum kemudian tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Kutemukan sesosok
perempuan yang tengah menggigil dengan tubuh kusut masai.
“Malam ini aku ingin menginap di sini. Semoga kau tak keberatan.” Tanpa
menunggu persetujuan dia langsung beranjak ke dalam kamar, merobohkan tubuh di
atas pembaringanku. Aku hanya menarik napas dalam-dalam tanpa suara. Dia bahkan
pernah membuat pan cake apel di sini, dan aku hanya bisa menyimpan gerutu dalam
hati.
Kedua mataku terpicing saat menemukan bercak merah di kedua sepatunya. Ada sesak yang langsung
memenuhi dadaku.
“Di sepatumu itu noda apa ya?” aku mematung di ambang pintu kamar,
menyaksikan kelakuannya yang baru kali ini kurasa berbeda.
“Kuharap kau tak mengusirku sekarang,” membalikkan tubuh di atas
pembaringan. “Belilah sebuah harian lokal besok pagi. Kau akan tahu semua. Tapi
percayalah, aku tak seburuk seperti yang digambarkan para wartawan itu nanti. Seharusnya
ini adalah minggu-minggu bahagia untukku. Aku sedang jatuh cinta. Aku ingin coba
kembali merasai jatuh cinta dengan seorang pria, seperti yang pernah kau
sarankan. Tapi, semuanya tiba-tiba saja berubah dalam hitungan menit…”
Ia terus saja mengoceh. Tapi suaranya masuk telinga kanan keluar telinga
kiriku. Kepalaku pusing sekali. Tiba-tiba aku merasa kamarku dipenuhi kotoran.
Aku ingin membersihkan segala perabot. Aku tahu, kotoran itu mungkin bersumber
dari sosok yang terbujur di atas pembaringanku.
* * *
“Kenapa kau terlihat terburu sekali?” sebuah tepukan di bahu menghentikan
langkahku. Dua koper di tangan segera kuturunkan. Kami dua perempuan yang
membeku di Oxford Street
kemudian.
“Apa sekarang kau takut kepadaku, hingga ingin pindah?” tanyanya lagi
setelah jeda diam cukup lama.
“Aku hanya ingin mencari tempat tinggal yang lebih dekat dengan kampus,”
bibirku terasa kaku saat berujar itu.
“Aku bisa melihat kebohonganmu. Tak apa. Toh aku sudah bilang kepadamu,
bahwa aku sungguh tak seburuk seperti yang diberitakan orang-orang itu… Selamat
tinggal,” dan perempuan itu pun membalikkan tubuh.
Tubuhku gigil meski dalam dekapan jaket tebal. Salju pagi ini sungguh tak
seperti biasanya. Tiba-tiba saja aku begitu rindu dengan dekapan hangat
suamiku. Mulutku tak juga memanggilnya untuk kembali. Aku tak tahu harus
bagaimana. Kedua mataku bahkan masih ingat betul wajah korban dalam berita
pembunuhan seorang perempuan di kamar kos itu. Perempuan yang pernah kulihat di
Disney Store bersama Emi. Yang katanya demi ‘cinta mati’nya kepada Emi, dia
mengancam akan membunuh lelaki baru Emi. Konon, nasib perempuan malang itu juga serupa
dengan jalan hidup Emi. Perasaan senasiblah yang mungkin pernah menautkan
perasaan mereka berdua. Sama-sama tak percaya dengan pernikahan, hingga
kemudian berkembang menjadi sesuatu yang mestinya tak boleh terjalin. Lalu tiba-tiba
aku merasa salju ini seperti air mata para dewa yang menangisi alur hidup
seorang perempuan bernama Emily Novacheck.*
Kalinyamatan Jepara, 2014-2015.
(Adi Zamzam, Majalah Kartini, Eds. 2415 10-24 Desember 2015)
Ilustrasi; Pinterest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar