Sabtu, 06 Februari 2016

Salju Luruh di Oxford Street



Salju Luruh di Oxford Street




Butiran-butiran putih berjatuhan dari langit Jalan Oxford yang kelabu. Seperti airmata para dewa yang bersedih. Orang-orang lewat berwajah muram, tertunduk, tergesa, sembari menyembunyikan jemari ke dalam saku jaket tebal. Mungkin perubahan cuaca ekstrem ini mulai menjadi beban pikiran mereka.
Berita tentang kekacauan transportasi yang merenggut ratusan nyawa hampir merata di semua benua. British Airways telah membatalkan seluruh penerbangan dari Bandara Heathrow dan Gatwick. Konon Gatwick bahkan mati beku lantaran timbunan salju yang melebihi batas kewajaran.  Bisa dibayangkan berapa banyak hati yang ikut membeku lantaran pertemuan tertunda. Jalan Oxford yang biasa bingar pun turut redup.
“Kenapa kau terlihat terburu sekali?” sebuah tepukan di bahu menghentikan langkahku. Emily Novacheck. Seorang perempuan aneh yang menegurku dengan sapaan ganjil saat jumpa pertama. Mengapa mesti terpengaruh merek? katanya. Tanpa kuminta, Emi kemudian menunjukkan semua toko yang menjual barang-barang bermutu dengan detailnya. Melebihi pramuniaga yang akhirnya diam menatap Emi lantaran telah menggagalkan rayuannya kepadaku. Kami pun segera menjadi akrab. Apalagi kemudian ia menjadi ensiklopedi berjalan yang setiap saat bisa mengantarku ke toko yang sesuai selera mata dan kekuatan dompet.

“Tak perlu malu. Watak kebanyakan perempuan memang seperti itu. Wawasan diperlukan demi mendapatkan barang yang sesuai selera. Kau bisa ke Outfitters jika ingin beroleh pakaian retro dengan mutu di atas rata-rata. Atau tengoklah Pull and Bear. Siapa tahu kau terpikat dengan hasil tangan orang Spanyol,” menyebut sebuah gedung megah di Oxford Street.
Mulut itu seperti kereta tanpa rem saja. Tanpa jeda ia kemudian menunjukkan Uniqlo, gedung pakaian yang memajang hasil tangan orang-orang Jepang. Lalu Primark—jika kau ingin berhemat, tapi tetap gaya—yang milik orang Irlandia. Sampai ke Marks & Spencer di persimpangan Jalan Oxford dan Jalan Orchard.
“Yang berada di Jalan Regent dan Jalan Tottenham Court itu cabangnya. Menurutku lebih baik kau ke sarang utamanya saja. Siapa tahu kau bisa bertemu bosnya, lalu kau bisa mengadukan sedikit kekecewaanmu atas hasil karya mereka. Atau malah kau bisa dilamar menjadi model mereka,” memamerkan deretan giginya yang cemerlang.
“Sudah berapa lama Anda tinggal di sini?” sengaja kugunakan kata ‘Anda’ demi menekankan jarak, bahwa kami memang baru beberapa hari kenal. Kecurigaan jadi berkecambah dalam hatiku. Segala informasi yang disodorkannya tak begitu penting. Aku belanja hanya demi menyambut musim dingin. Aku harus pandai-pandai memperhitungkan biaya selama tinggal di sini. Syukur jika masih bisa menyisakan sedikit tabungan dari uang beasiswa.
“Hahaha…, entah mengapa aku selalu saja mendapatkan pertanyaan seperti itu dari setiap kenalan baru. Apakah itu penting?” pertanyaan di belakang kalimatnya itu sepertinya tak butuh jawaban. Jadi kemudian aku pun bertanya tentang tempat magang.
“Magang? Kau belum punya suami ya?”
Kuberikan info sekadarnya. Bahwa suamiku tinggal di Indonesia. Ia mengajar di sebuah perguruan tinggi swasta. Dengan gaji serta posisi yang masih biasa-biasa saja, pertemuan via suara adalah jalan satu-satunya untuk mengendapkan rindu.
Aku selalu merasa bahwa perkenalan kami adalah hal yang aneh. Buat apa ia (tampak berusaha) mendekatiku dengan bercerita perihal kehidupan pribadinya?
“Aku dulu juga sepertimu. Memiliki suami, dan seorang anak lelaki. Tapi masa lalu itu telah aku kubur dalam-dalam,” ceritanya. “Aku memilih pisah lantaran tak mau diikat terlalu kencang.”
Aku tak mau tahu. Sungguh. Betapa pun ada rasa iba yang menyelinap dalam dada.
“Beasiswaku dari Oxford hampir saja terbuang percuma.”
Aku mencari pemandangan lain. Para pejalan kaki yang berseliweran di hadapan kami seperti kenangan yang berlepasan dari dalam kepala. Suara Emily tak terdengar lagi. Aku memandangi satu per satu kenanganku sendiri.
Dimulai dengan perkenalanku dengan Sugiantoro. Kami dipertemukan bukan lantaran cinta, tapi kebutuhan. Sekian tahun aku menolak perjodohan yang disodorkan paklik-paklik bahkan dari orangtua sendiri. Terhitung, sudah ada enam lamaran pria yang kubekukan dalam diam. Alim yang anak pelayaran, Khana yang pilot, Darwanto (anak saudara sepupu Bapak) yang dokter, Eko (anak teman Bapak) yang masih muda namun sudah membawahi usaha travel & tour, Nara yang pegawai negeri eselon II, Joni yang pemilik Jojo Group (usahanya merambah di bidang tempat hiburan), semuanya terlihat tiada menarik di kedua mataku. Kedua orangtuaku kebingungan menghadapi sikapku ini. Belum lagi jika omongan-omongan miring mampir di telinga.
Ada yang menyarankan agar aku dibawa ke orang pintar (dengan maksud untuk mengetahui apakah aku kena guna-guna orang), sampai ada pula yang mengusulkan hal gila; sebaiknya aku mengunjungi sebuah tempat tertentu, ketika sesudah ke sana pasti akan segera bertemu jodoh. Aku menolak semua usul gila itu. Aku sempat ‘melarikan diri’ ke Banjarmasin mengikut Paklik Sumarjo lalu mengabdikan diri di sebuah SMA swasta setempat, demi menyelamatkan telinga dari suara-suara buruk itu.
Hatiku baru luluh setahun kemudian. Bapak yang tak pernah jemu menyuruhku pulang, berkabar bahwa sekolahan Pakdhe Huri yang baru lima bulan berdiri, masih kekurangan tenaga pengajar. Aku tahu, di negeriku, nilai kelulusan tak selalu dapat diandalkan untuk mendapatkan pekerjaan. Hubungan kekerabatan dan uanglah yang memiliki kekuatan luar biasa. Dan akhirnya aku pun kembali pulang akibat salah satu dari dua hal yang kubenci itu. Setahun kemudian aku dikenalkan dengan Sugiantoro oleh salah seorang teman. Kami menikah tujuh bulan kemudian.
Aku hampir tak percaya saat Emily bisa menemukan tempat kontrakanku. Tak hanya heran, rasa jengkel mulai menjulur saat ia bilang tertarik dengan kisah hidupku yang kuceritakan sebagian kemarin. Ia bertanya, apakah aku keberatan jika ia memintaku menceritakan kelanjutannya? Padahal aku belum sempat bertanya dari mana ia bisa mengetahui alamat kontrakanku.
“Tak ada yang istimewa kok,” senyumku, sembari membereskan buku-buku di meja ruang tamu. Kusiapkan susu hangat untuknya.
“Tapi aku penasaran, bagaimana bisa suamimu membiarkanmu sendirian tinggal di sini?” kembali mengacak-acak buku yang telah kutumpuk rapi.
“Mulanya dia memang khawatir. Tapi kan ada e-mail, facebook, twitter,” senyumku lagi. “Lagipula tak selamanya aku mendapatkan kesempatan ini.”
Aku merasa Emily adalah seorang yang kesepian. Ia bilang sudah kehilangan kontak dengan satu-satunya anak yang pernah ia lahirkan. “Entah, mungkin ayahnya sudah mencuci otak bocah malang itu. Padahal kadangkala, rasanya aku sudah mati terbunuh oleh rasa rinduku kepadanya.”
“Kenapa kau tak menengoknya langsung saja?” aku duduk memerhatikan polahnya setelah kusuguhkan susu di meja.
“Itulah masalahku sekarang, Lina. Ayahnya sudah punya sarang lagi. Aku sudah dihapus dari dalam ingatannya.”
“Oh, maaf. Aku tak bermaksud membuka lukamu lagi.”
“Tak apa. Itu sudah bukan masalah lagi buatku,” sambil menyesap susu yang kusuguhkan.
Aku hanya ingin menjadi pendengar saja. Meskipun perempuan ini tampaknya sengaja membuka diri lebar-lebar dan sengaja ingin mengajakku masuk ke sana. Mencari sahabat di tengah kehidupan kota besar mungkin memang susah. Tapi kukira, menerima persahabatan dari orang yang baru beberapa hari dikenal jelas lebih susah.
*             *          *

Jalan Oxford seperti pasar tumpah saat sore hari. Para pejalan kaki menjadi menu favorit yang kunikmati sehabis mengerjakan tugas-tugas kelas yang kadang terasa menjemukan. Tentu saja, aku harus selalu membuatnya menjadi hal menyenangkan. Dua tahun bukanlah waktu yang pendek. Aku perempuan. Rindu terhadap anak-anak bisa datang kapan saja melumpuhkan. Leona—induk semang pemilik tempat kontrakanku—sesekali juga menyuruhku turun ke jalan bawah tanah demi mendapatkan suasana yang jauh berbeda.
Suatu sore, sewaktu mencoba bagaimana sensasi memandangi deretan gedung-gedung mewah dari dalam trem, kedua mataku menemukan Emily yang baru saja keluar dari Disney Store. Bersama dengan seorang perempuan tak kukenal, mereka tampak kerepotan menjinjing barang belanjaan. Yang buat dadaku tergelitik penasaran dan kedua mataku enggan melepas pemandangan itu adalah pancaran kemesraan pada gelagat mereka. Hingga sesampainya di rumah, aku pun terpaksa menanyakan tentang Emily kepada Leona.
“Jadi kau belum kenal siapa perempuan yang sering mengunjungimu itu?”
Aku mencium aroma bahaya dari pertanyaan balik yang dilontarkan Leona.
“Boleh pinjam laptopmu sebentar?” pintanya.
Beberapa menit kemudian aku dibuatnya terpana.
“Di sini memang banyak juga perempuan tunawisma. Tapi dia, kasusnya pernah memenuhi laman dunia maya. Hati-hati saja dengannya,” Leona menatapku serius. Dan lalu menginterogasiku dengan beragam pertanyaan seputar sejauh mana perkenalan kami.
Aku tersenyum sebelum bilang, “Kami tidak melakukan apa pun. Dia hanya sering cerita tentang kisah hidupnya. Dia justru banyak membantuku,” kutekuri kalimat demi kalimat laman artikel yang memuat kisah Emily. Hati kecilku tak sepenuhnya percaya. Dalam dunia maya, sesuatu seringkali bisa dibesar-besarkan hingga melebihi kenyataannya.
Dulunya Emily adalah peraih beasiswa di bidang Matematika. Pernikahannya yang tanpa sepengetahuan keluarga gagal dua tahun kemudian. Ia menolak pulang ke negara asal lantaran kondisi keluarga orangtuanya juga amburadul. Ia menjual diri demi agar bisa bertahan di Oxford. Tenggorokanku tiba-tiba saja mengering membaca semua itu.
Tapi, apa yang mesti kuwaspadai dari perempuan semacam dirinya? Aku tak mau mengungkapkan kegelisahan kecil ini kepada Leona. Mata ini melihat Emily sebagai sosok yang hanya butuh teman bicara. Sepertinya.
Pada pertemuan berikut, masih sama. Emily sempat menawariku mengantarkan ke Primax yang dekat stasiun bawah tanah dekat Marble Arch demi mendapatkan harga-harga miring saat belanja. Ia sempat terkejut saat kutanya tentang siapa teman perempuannya yang kemarin itu. Ia menjawab dengan ceria, bahwa mereka teman akrab.
“Apakah itu penting bagimu, untuk tahu siapa dia?” tanyanya kemudian.
Apakah aku harus menanyakan kebenaran perihal semua? Sebenarnya, apa yang ia tuju dariku?
“Hei, kau melamun. Apa kau melamunkan aku?”
Aku menoleh, menanggapi dengan senyum. Kuhentikan sejenak aktivitas mencuci piring. “Besok aku kosong, tak ada jam kuliah. Apa kau tak ingin mengajakku main ke tempat tinggalmu?”
“Oya? Wah…,” menggaruk tengkuk. “Emm, sebenarnya, ada yang ingin kuceritakan kepadamu…”
*             *          *

Salju luruh di Jalan Oxford. Malam-malam yang biasanya dipenuhi para pejalan kaki mendadak lengang, hanya menyisakan beberapa orang yang berjalan menunduk terbungkus rapat jaket tebalnya. Aku baru saja menuntaskan rindu dengan suami dan buah cinta kami via telepon. Sebelum kemudian tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Kutemukan sesosok perempuan yang tengah menggigil dengan tubuh kusut masai.
“Malam ini aku ingin menginap di sini. Semoga kau tak keberatan.” Tanpa menunggu persetujuan dia langsung beranjak ke dalam kamar, merobohkan tubuh di atas pembaringanku. Aku hanya menarik napas dalam-dalam tanpa suara. Dia bahkan pernah membuat pan cake apel di sini, dan aku hanya bisa menyimpan gerutu dalam hati.
Kedua mataku terpicing saat menemukan bercak merah di kedua sepatunya. Ada sesak yang langsung memenuhi dadaku.
“Di sepatumu itu noda apa ya?” aku mematung di ambang pintu kamar, menyaksikan kelakuannya yang baru kali ini kurasa berbeda.
“Kuharap kau tak mengusirku sekarang,” membalikkan tubuh di atas pembaringan. “Belilah sebuah harian lokal besok pagi. Kau akan tahu semua. Tapi percayalah, aku tak seburuk seperti yang digambarkan para wartawan itu nanti. Seharusnya ini adalah minggu-minggu bahagia untukku. Aku sedang jatuh cinta. Aku ingin coba kembali merasai jatuh cinta dengan seorang pria, seperti yang pernah kau sarankan. Tapi, semuanya tiba-tiba saja berubah dalam hitungan menit…”
Ia terus saja mengoceh. Tapi suaranya masuk telinga kanan keluar telinga kiriku. Kepalaku pusing sekali. Tiba-tiba aku merasa kamarku dipenuhi kotoran. Aku ingin membersihkan segala perabot. Aku tahu, kotoran itu mungkin bersumber dari sosok yang terbujur di atas pembaringanku.
*             *          *

“Kenapa kau terlihat terburu sekali?” sebuah tepukan di bahu menghentikan langkahku. Dua koper di tangan segera kuturunkan. Kami dua perempuan yang membeku di Oxford Street kemudian.
“Apa sekarang kau takut kepadaku, hingga ingin pindah?” tanyanya lagi setelah jeda diam cukup lama.
“Aku hanya ingin mencari tempat tinggal yang lebih dekat dengan kampus,” bibirku terasa kaku saat berujar itu.
“Aku bisa melihat kebohonganmu. Tak apa. Toh aku sudah bilang kepadamu, bahwa aku sungguh tak seburuk seperti yang diberitakan orang-orang itu… Selamat tinggal,” dan perempuan itu pun membalikkan tubuh.
Tubuhku gigil meski dalam dekapan jaket tebal. Salju pagi ini sungguh tak seperti biasanya. Tiba-tiba saja aku begitu rindu dengan dekapan hangat suamiku. Mulutku tak juga memanggilnya untuk kembali. Aku tak tahu harus bagaimana. Kedua mataku bahkan masih ingat betul wajah korban dalam berita pembunuhan seorang perempuan di kamar kos itu. Perempuan yang pernah kulihat di Disney Store bersama Emi. Yang katanya demi ‘cinta mati’nya kepada Emi, dia mengancam akan membunuh lelaki baru Emi. Konon, nasib perempuan malang itu juga serupa dengan jalan hidup Emi. Perasaan senasiblah yang mungkin pernah menautkan perasaan mereka berdua. Sama-sama tak percaya dengan pernikahan, hingga kemudian berkembang menjadi sesuatu yang mestinya tak boleh terjalin. Lalu tiba-tiba aku merasa salju ini seperti air mata para dewa yang menangisi alur hidup seorang perempuan bernama Emily Novacheck.*



Kalinyamatan Jepara, 2014-2015.

(Adi Zamzam, Majalah Kartini, Eds. 2415 10-24 Desember 2015)
Ilustrasi; Pinterest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar