Jalan Ilmu Para Imam Besar
Judul Buku
: Mengungkap Rahasia Cara Belajar Para
Imam Madzhab
Penulis :
Yanuar Arifin
Penerbit :
Penerbit DIVA Press
Cetakan :
Cetakan Pertama, Agustus 2015
Tebal :
220 halaman
ISBN :
978-602-255-946-7
Di
kalangan Ahulussunnah wal Jamaah
terdapat empat imam pioner dalam ilmu fiqh
dan hadits. Kealiman mereka sudah
diakui, dan karya-karyanya jadi rujukan utama generasi selanjutnya. Buku ini
akan membeberkan sedikit biografi mereka yang bisa dikatakan berbanding
terbalik dengan kegemilangan mereka dalam ilmu yang digeluti.
Nu’man
bin Tsabit bin Zutha bin Mahan at-Taymi dilahirkan pada 80H/699M di Kufah, Irak. Sosok yang kita kenal sebagai Abu
Hanifah ini semula mengikuti jejak sang ayah menjadi seorang pedagang. Jalur hidupnya
mulai berbelok ke jalan ilmu ketika mendapatkan nasihat dari Asy-Sya’bi—ulama
terkemuka Kufah. Dan posisinya mulai menanjak ketika sang guru—Imam Hammad Ra.
meminta kesediaannya untuk menggantikan posisi beliau sebagai pengajar, pemberi
fatwa, dan pengarah dalam halaqah
keilmuan miliknya. Tapi ia tak mau begitu saja melepaskan diri dari bimbingan
sang guru lantaran menyadari batas pengetahuannya. Baru saat menginjak usia 40,
beliau sepenuhnya menggantikan kedudukan Imam Hammad lantaran sang guru sudah
berpulang (hal. 18).
Yang
menarik untuk diceritakan dari Abu Hanifah adalah perihal keteguhannya dalam
sikap wira’i (kehati-hatian dalam hal
dunia). Beliau menolak tawaran jabatan semasa Dinasti Umayyah, dan tetap dipegangnya
semasa Khalifah Abi Ja’far al-Mansur (Dinasti Abbasiyah) menawarinya menjadi
seorang qadhi (hakim), meskipun diancam
dengan hukuman penjara. Bahkan hingga kematian menjemput.
Yang
menonjol dari Abu Hanifah adalah kegemarannya memilih jalan musyawarah ketika
tak memiliki jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya. Ketika ada
seorang ulama menuduhnya telah lancang mengubah (hukum-hukum) agama dengan
hukum-hukum qiyas, sang Imam pun
menangkalnya dengan bertukar pikiran secara jernih.
Lain
lagi dengan Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin ‘Amir bin al-Haris yang
kita kenal sebagai Imam Malik. Pemuka madzhab Maliki yang lahir pada 93H di
Madinah ini, juga memiliki keberanian dalam bersilang pendapat dengan kaum
penguasa. Suatu ketika beliau pernah mengeluarkan fatwa seputar tidak sahnya
talak seseorang dalam keadaan terpaksa. Fatwa ini kemudian menyebabkan sebagian
orang berpendapat bahwa orang-orang yang membaiat khalifah dalam keadaan
terpaksa juga tidak sah (hal. 81). Beliau tak surut membatalkan fatwanya
meskipun mendapatkan siksaan dari Gubernur Ja’far bin Sulaiman yang merasa
kedudukannya jadi terancam.
Yang
menonjol dari Imam Malik adalah kecermatannya dalam mengumpulkan hadits. Suatu
ketika ia pernah memperoleh 30 hadits dari Ibnu Shihab az-Zuhri. Pada setiap
hadits, ia biasa mengambil seutas benang untuk mengikatnya. Namun saat
melakukan pembacaan ulang, ternyata hanya ada 29 hadits dari 30 ikatan. Ia pun
lantas menanyakan 1 hadits yang hilang tersebut (hal. 102).
Kita
juga bisa meneladani jalan ilmu yang ditempuh Abu Abdillah Muhammad bin Idris
bin Al-Abbas bin Usman bin Syafi’ bin
As-Saib bin Ubaid bin Abd Yazid bin Hasyim bin Muthallib bin Abdi Manaf atau
yang kita kenal dengan Imam Syafi’i. Yatim yang begitu mencintai sang ibu ini
begitu kuat dalam menghafal sehingga membuahkan hafal Al-Qur’an dalam umur 7
serta hafal Al-Muwaththa’ (kitab induk karangan Imam Malik) dalam usia 10.
Meski
sempat mengecap kedudukan sebagai seorang qadhi,
tapi jiwa Imam Syafi’i kemudian lebih condong ke bidang ilmu fiqh. Yang menonjol darinya yaitu dalam
mengamati peristiwa ia tidak menyimpulkannya secara parsial, tetapi cenderung
melihatnya secara global sehingga dapat merumuskan suatu konsep yang tepat. Ushul fiqh adalah kajian ilmu baru yang
digagas oleh beliau dalam memahami kajian fiqh.
Terakhir
yakni Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah
bin Syaiban bin Dzuhl yang kita kenal sebagai Imam Hanbali. Pemuka madzhab
Hanbali ini dilahirkan di Baghdad pada Rabi’ul Awal 164H. Sosok yang amat tekun
dalam mencari ilmu ini memiliki kehati-hatian yang luar biasa di bidang fiqh. Jika didapatinya banyak riwayat
sahabat yang menurutnya shahih, ia
tak akan mentarjih (menguatkan) salah
satunya, tapi menetapkan semuanya dan meriwayatkannya tanpa tarjih.*
(Nur Hadi, Harian Analisa, 5 Februari 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar