Selasa, 16 Februari 2016

Jalan Ilmu Para Imam Besar



Jalan Ilmu Para Imam Besar



Judul Buku :  Mengungkap Rahasia Cara Belajar Para Imam Madzhab
Penulis       :  Yanuar Arifin
Penerbit     :  Penerbit DIVA Press
Cetakan     :  Cetakan Pertama, Agustus 2015
Tebal         :  220 halaman
ISBN         :  978-602-255-946-7


Di kalangan Ahulussunnah wal Jamaah terdapat empat imam pioner dalam ilmu fiqh dan hadits. Kealiman mereka sudah diakui, dan karya-karyanya jadi rujukan utama generasi selanjutnya. Buku ini akan membeberkan sedikit biografi mereka yang bisa dikatakan berbanding terbalik dengan kegemilangan mereka dalam ilmu yang digeluti.
Nu’man bin Tsabit bin Zutha bin Mahan at-Taymi dilahirkan pada 80H/699M di  Kufah, Irak. Sosok yang kita kenal sebagai Abu Hanifah ini semula mengikuti jejak sang ayah menjadi seorang pedagang. Jalur hidupnya mulai berbelok ke jalan ilmu ketika mendapatkan nasihat dari Asy-Sya’bi—ulama terkemuka Kufah. Dan posisinya mulai menanjak ketika sang guru—Imam Hammad Ra. meminta kesediaannya untuk menggantikan posisi beliau sebagai pengajar, pemberi fatwa, dan pengarah dalam halaqah keilmuan miliknya. Tapi ia tak mau begitu saja melepaskan diri dari bimbingan sang guru lantaran menyadari batas pengetahuannya. Baru saat menginjak usia 40, beliau sepenuhnya menggantikan kedudukan Imam Hammad lantaran sang guru sudah berpulang (hal. 18).
Yang menarik untuk diceritakan dari Abu Hanifah adalah perihal keteguhannya dalam sikap wira’i (kehati-hatian dalam hal dunia). Beliau menolak tawaran jabatan semasa Dinasti Umayyah, dan tetap dipegangnya semasa Khalifah Abi Ja’far al-Mansur (Dinasti Abbasiyah) menawarinya menjadi seorang qadhi (hakim), meskipun diancam dengan hukuman penjara. Bahkan hingga kematian menjemput.
Yang menonjol dari Abu Hanifah adalah kegemarannya memilih jalan musyawarah ketika tak memiliki jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya. Ketika ada seorang ulama menuduhnya telah lancang mengubah (hukum-hukum) agama dengan hukum-hukum qiyas, sang Imam pun menangkalnya dengan bertukar pikiran secara jernih.
Lain lagi dengan Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin ‘Amir bin al-Haris yang kita kenal sebagai Imam Malik. Pemuka madzhab Maliki yang lahir pada 93H di Madinah ini, juga memiliki keberanian dalam bersilang pendapat dengan kaum penguasa. Suatu ketika beliau pernah mengeluarkan fatwa seputar tidak sahnya talak seseorang dalam keadaan terpaksa. Fatwa ini kemudian menyebabkan sebagian orang berpendapat bahwa orang-orang yang membaiat khalifah dalam keadaan terpaksa juga tidak sah (hal. 81). Beliau tak surut membatalkan fatwanya meskipun mendapatkan siksaan dari Gubernur Ja’far bin Sulaiman yang merasa kedudukannya jadi terancam.
Yang menonjol dari Imam Malik adalah kecermatannya dalam mengumpulkan hadits. Suatu ketika ia pernah memperoleh 30 hadits dari Ibnu Shihab az-Zuhri. Pada setiap hadits, ia biasa mengambil seutas benang untuk mengikatnya. Namun saat melakukan pembacaan ulang, ternyata hanya ada 29 hadits dari 30 ikatan. Ia pun lantas menanyakan 1 hadits yang hilang tersebut (hal. 102).
Kita juga bisa meneladani jalan ilmu yang ditempuh Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Usman bin  Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abd Yazid bin Hasyim bin Muthallib bin Abdi Manaf atau yang kita kenal dengan Imam Syafi’i. Yatim yang begitu mencintai sang ibu ini begitu kuat dalam menghafal sehingga membuahkan hafal Al-Qur’an dalam umur 7 serta hafal Al-Muwaththa’ (kitab induk karangan Imam Malik) dalam usia 10.
Meski sempat mengecap kedudukan sebagai seorang qadhi, tapi jiwa Imam Syafi’i kemudian lebih condong ke bidang ilmu fiqh. Yang menonjol darinya yaitu dalam mengamati peristiwa ia tidak menyimpulkannya secara parsial, tetapi cenderung melihatnya secara global sehingga dapat merumuskan suatu konsep yang tepat. Ushul fiqh adalah kajian ilmu baru yang digagas oleh beliau dalam memahami kajian fiqh.
Terakhir yakni Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Syaiban bin Dzuhl yang kita kenal sebagai Imam Hanbali. Pemuka madzhab Hanbali ini dilahirkan di Baghdad pada Rabi’ul Awal 164H. Sosok yang amat tekun dalam mencari ilmu ini memiliki kehati-hatian yang luar biasa di bidang fiqh. Jika didapatinya banyak riwayat sahabat yang menurutnya shahih, ia tak akan mentarjih (menguatkan) salah satunya, tapi menetapkan semuanya dan meriwayatkannya tanpa tarjih.*

(Nur Hadi, Harian Analisa, 5 Februari 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar