Sabtu, 21 November 2015

Sisi Lemah Dua Orde Besar di Indonesia



Sisi Lemah Dua Orde Besar di Indonesia




Judul Buku  :  Detik-detik Paling Menegangkan
Penulis        :  Mohammad Goenawan
Penerbit       :  Penerbit PALAPA
Cetakan       :  Pertama,  2015
Tebal           :  244 halaman
ISBN           :  978-602-255-815-6


Noam Chomsky dalam paparannya mengenai komitmen AS terhadap demokrasi pernah menyatakan (1992) bahwa dalam sebuah dokumen tingkat tinggi, para perencana kebijakan di AS menyatakan pandangan mereka bahwa ancaman utama bagi tatanan dunia baru di bawah pimpinan AS adalah nasionalisme Dunia Ketiga, atau yang kerap disebut ultranationalism. Tujuan-tujuan dasar para perencana itu, salah satunya adalah mencegah rezim-rezim ‘ultranasionalis’ itu meraih kekuasaan—atau jika kebetulan mereka bisa beroleh kekuasaan, adalah untuk menumbangkan mereka serta membentuk pemerintahan yang mendukung investasi swasta dari modal domestik dan luar negeri. Tak banyak orang yang tertarik pada gagasan ini, kecuali sekelompok kecil mereka yang terhubung dengan bisnis AS yang akan menangguk untung dari situasi tersebut. Hal tersebut tampaknya telah tercium oleh mantan presiden Soekarno pasca memudarnya karisma kepemimpinannya.
Pada 1961, Soekarno gencar merevisi pengelolaan minyak oleh asing. Sebanyak 60% keuntungan perusahaan minyak asing menjadi jatah pemerintah, sehingga membuat para pengusaha asing gerah. Soekarno berencana, modal asing baru boleh masuk Indonesia setelah 20 tahun. Dengan asumsi saat itu SDM sudah tersedia (hal. 29). Bapak pendiri bangsa yang harus menuai banyak penghinaan di akhir masa kekuasannya ini akhirnya harus membayar mahal idealismenya ketika kepercayaan yang ia berikan kepada ‘anak-anak emas’nya justru disalahgunakan. Sepekan setelah G 30 S, dalam sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor beliau menyebut setidaknya ada tiga faktor utama yang menjadi riak kecil perjalanan Indonesia di bawah kepemimpinannya. Keblingernya pemimpin-pemimpin PKI, lihainya Nekolim (termasuk di dalamnya perusahaan-perusahaan asing), dan adanya oknum-oknum yang melakukan kesalahan dalam tubuh sendiri (hal. 75). Hal itu memang kemudian perlahan terbukti. Pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967 menjadi contoh konkret. Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.
Soeharto yang tak menyadari apa-apa yang dikhawatirkan Soekarno baru merasakan akibatnya berbilang tahun kemudian, setelah Indonesia benar-benar mengalami ketergantungan dengan pihak asing. Krisis global di pertengahan 1997 yang menimpa beberapa negara Asia akhirnya menular dan memberikan pukulan telak. International Monetary Fund (IMF) yang dikira bisa menjadi dewa penyelamat, ternyata malah memperunyam keadaan. Demi mendapat suntikan dana dari IMF, Soeharto kemudian memutuskan menaikkan harga BBM  dan Tarif Dasar Listrik (TDL). Utang luar negeri—baik swasta maupun pemerintah—sudah sangat besar, tatanan perbankan nasional juga kacau dan devisa nasional tipis. Krisis ekonomi tersebut melemahkan nilai tukar rupiah ke level paling rendah sehingga mengakibatkan harga-harga sembako melambung tinggi. Tak ayal, masyarakat kecil dan para buruh adalah bagian terbesar yang menanggung derita. Ironisnya, penderitaan itu tak direspons oleh para penguasa (hal. 152). Krisis tersebut kemudian berpuncak pada kerusuhan Mei 1998, menorehkan sejarah kelam menewaskan kurang lebih 1.880 orang. Etnis Tionghoa menjadi korban sentimen kecemburuan ekonomi yang sebenarnya telah lama ada.
Tampak bahwa buku ini tak hanya memaparkan penyebab tunggal dari detik-detik menjelang kejatuhan dua rezim yang pernah berkuasa di negara ini. Kompleksnya penyebab kejatuhan menampakkan benang merah kesamaan, bahwa pihak asing sedikit banyak turut menyumbang peran. Kelihaian dari apa yang disebut oleh Soekarno sebagai Nekolim melahirkan beragam masalah yang membawa efek berantai. Hal tersebut masih ditambah dengan masalah internal seperti budaya KKN yang merajalela di setiap sendi pemerintahan. Membaca buku ini, setidaknya kita akan diingatkan, jangan sampai dua tragedi besar di masa lampau terulang lagi.*

(Nur Hadi, Koran Madura 9 Oktober 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar