Sisi Lemah Dua Orde Besar di Indonesia
Judul Buku : Detik-detik
Paling Menegangkan
Penulis :
Mohammad Goenawan
Penerbit :
Penerbit PALAPA
Cetakan :
Pertama, 2015
Tebal :
244 halaman
ISBN : 978-602-255-815-6
Noam Chomsky dalam paparannya mengenai komitmen AS
terhadap demokrasi pernah menyatakan (1992) bahwa dalam sebuah dokumen tingkat
tinggi, para perencana kebijakan di AS menyatakan pandangan mereka bahwa
ancaman utama bagi tatanan dunia baru di bawah pimpinan AS adalah nasionalisme
Dunia Ketiga, atau yang kerap disebut ultranationalism.
Tujuan-tujuan dasar para perencana itu, salah satunya adalah mencegah
rezim-rezim ‘ultranasionalis’ itu meraih kekuasaan—atau jika kebetulan mereka
bisa beroleh kekuasaan, adalah untuk menumbangkan mereka serta membentuk
pemerintahan yang mendukung investasi swasta dari modal domestik dan luar
negeri. Tak banyak orang yang tertarik pada gagasan ini, kecuali sekelompok
kecil mereka yang terhubung dengan bisnis AS yang akan menangguk untung dari
situasi tersebut. Hal tersebut tampaknya telah tercium oleh mantan presiden
Soekarno pasca memudarnya karisma kepemimpinannya.
Pada 1961, Soekarno gencar merevisi pengelolaan
minyak oleh asing. Sebanyak 60% keuntungan perusahaan minyak asing menjadi
jatah pemerintah, sehingga membuat para pengusaha asing gerah. Soekarno
berencana, modal asing baru boleh masuk Indonesia setelah 20 tahun. Dengan
asumsi saat itu SDM sudah tersedia (hal. 29). Bapak pendiri bangsa yang harus
menuai banyak penghinaan di akhir masa kekuasannya ini akhirnya harus membayar
mahal idealismenya ketika kepercayaan yang ia berikan kepada ‘anak-anak
emas’nya justru disalahgunakan. Sepekan setelah G 30 S, dalam sidang Kabinet
Dwikora di Istana Bogor beliau menyebut
setidaknya ada tiga faktor utama yang menjadi riak kecil perjalanan Indonesia
di bawah kepemimpinannya. Keblingernya
pemimpin-pemimpin PKI, lihainya Nekolim (termasuk di dalamnya
perusahaan-perusahaan asing), dan adanya oknum-oknum yang melakukan kesalahan
dalam tubuh sendiri (hal. 75). Hal itu memang kemudian perlahan terbukti.
Pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967 menjadi contoh
konkret. Freeport
menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.
Soeharto yang tak menyadari apa-apa yang
dikhawatirkan Soekarno baru merasakan akibatnya berbilang tahun kemudian,
setelah Indonesia
benar-benar mengalami ketergantungan dengan pihak asing. Krisis global di
pertengahan 1997 yang menimpa beberapa negara Asia
akhirnya menular dan memberikan pukulan telak. International Monetary Fund
(IMF) yang dikira bisa menjadi dewa penyelamat, ternyata malah memperunyam
keadaan. Demi mendapat suntikan dana dari IMF, Soeharto kemudian memutuskan
menaikkan harga BBM dan Tarif Dasar
Listrik (TDL). Utang luar negeri—baik swasta maupun pemerintah—sudah sangat
besar, tatanan perbankan nasional juga kacau dan devisa nasional tipis. Krisis
ekonomi tersebut melemahkan nilai tukar rupiah ke level paling rendah sehingga
mengakibatkan harga-harga sembako melambung tinggi. Tak ayal, masyarakat kecil
dan para buruh adalah bagian terbesar yang menanggung derita. Ironisnya,
penderitaan itu tak direspons oleh para penguasa (hal. 152). Krisis tersebut
kemudian berpuncak pada kerusuhan Mei 1998, menorehkan sejarah kelam menewaskan
kurang lebih 1.880 orang. Etnis Tionghoa menjadi korban sentimen kecemburuan
ekonomi yang sebenarnya telah lama ada.
Tampak bahwa buku ini tak hanya memaparkan penyebab
tunggal dari detik-detik menjelang kejatuhan dua rezim yang pernah berkuasa di
negara ini. Kompleksnya penyebab kejatuhan menampakkan benang merah kesamaan,
bahwa pihak asing sedikit banyak turut menyumbang peran. Kelihaian dari apa
yang disebut oleh Soekarno sebagai Nekolim melahirkan beragam masalah yang
membawa efek berantai. Hal tersebut masih ditambah dengan masalah internal
seperti budaya KKN yang merajalela di setiap sendi pemerintahan. Membaca buku
ini, setidaknya kita akan diingatkan, jangan sampai dua tragedi besar di masa
lampau terulang lagi.*
(Nur Hadi, Koran Madura 9 Oktober 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar