Sabtu, 21 November 2015

Silang Sengkarut Dalang G30S



Silang Sengkarut Dalang G30S




Judul Buku  :  Mengurai Kabut Pekat Dalang G30S
Penulis        :  Herman Dwi Sucipto
Penerbit      :  Penerbit Palapa
Cetakan      :  Pertama, 2015
Tebal          :  212 halaman
ISBN          :  978-602-255-942-9


Gerakan 30 September merupakan peristiwa yang hingga sekarang masih menyisakan pertanyaan bagi semua kalangan. Menemukan dalang utamanya sama halnya menyusuri kabut tebal. Siapakah aktor sesungguhnya di balik peristiwa makar tersebut? Yang jelas, buku ini menjadikan PKI sebagai tema sentral pembicaraan, baik dari tokoh-tokohnya sampai segala sepak terjang yang pernah dilakukan partai terlarang tersebut.
Ada beberapa hal yang dianggap penyebab terjadinya tragedi tersebut. Pertama, menguatnya PKI di pemerintahan. Pada masa pemerintahan kabinet Mr. Ali Sastramijojo 1, PKI memberikan dukungannya secara penuh meskipun kabinet tersebut tak sanggup mengatasi kesulitan ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia. Tiap kali kabinet terancam perpecahan, PKI selalu mengadakan pembelaan keras yang sebenarnya bertujuan memperkuat posisi politiknya sendiri. Setelah kemenangannya yang luar biasa pada pemilu 1955, PKI semakin mendapatkan angin segar setelah lahirnnya Demokrasi Terpimpin. Partai ini semakin keblinger ketika akhirnya mampu memeluk Front Nasional bikinan Presiden hingga kemudian berani berseberangan dengan TNI-AD (hal. 76).
Kedua, adanya ‘Angkatan Kelima’ gagasan PKI. Angkatan kelima adalah unsur pertahanan keamanan RI yang diambil dari kalangan buruh dan petani yang dipersenjatai. Lantaran khawatir dengan apa yang pernah terjadi di Rusia dan RRT, jajaran pimpinan Angkatan Darat pun menolak usulan itu sehingga terjadilah konflik tertutup.
Ketiga, isu sakitnya Presiden. PKI yang selama ini memiliki hubungan mesra dengan Soekarno, khawatir tampuk pimpinan nasional bakal beralih ke tangan orang AD. Begitu mengetahui Soekarno sakit keras, mereka pun menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan.
Keempat, isu Dewan Jenderal, yang tak lain bertujuan memperburuk citra TNI-AD di depan pemerintah dan rakyat. Seolah-olah tergambar Dewan Jenderal adalah sekelompok Perwira Tinggi TNI-AD yang tidak loyal kepada presiden dan mempunyai kegiatan politik menilai kebijaksanaan Presiden.
Kelima, isu Dokumen Gilchrist. Dokumen Gilchrist diterima Dr. Subandrio tanggal 15 Mei 1965 melalui pos di Jakarta, berupa sebuah konsep surat tanpa tanda tangan pengirim melainkan hanya sebuah nama Gilchrist. Imbasnya, Letjen A. Yani selaku Men/Pangad harus memberikan penjelasan atas pertanyaan Presiden bahwa dalam AD tak ada Dewan Jenderal. Yang ada adalah Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) AD yang bertugas memberikan saran atau pendapat kepada Men/Pangad tentang jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi AD (hal 84).
Beberapa versi siapa otak di balik makar tersebut juga diapungkan. PKI menjadi tertuduh utama. Ada pula versi buah analisis Anderson dan McVey yang menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan letupan persoalan intern dalam tubuh AD. Ada juga versinya Antonie Dake yang menerbitkan pengakuan ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko, yang menyatakan keterlibatan Soekarno.
Tiga versi terakhir tampak terpapar lebih meyakinkan. Versi keterlibatan Soeharto yang diungkapkan W.F. Wertheim mengungkap bahwa pada malam 1 Oktober 1965, terjadi pertemuan Soeharto dengan Latief dan Letkol Untung (pimpinan tim penculik tujuh jenderal). Asumsinya, dengan pertemuan itu Soeharto sebenarnya memahami, mengetahui, dan ikut merencanakan aksi ini. Meski banyak pula ahli sejarah yang berpendapat bahwa Soeharto bukan tipe genius yang bisa merancang kudeta secara sistematis. Ada juga yang berpendapat tentang keterlibatan Amerika melalui CIA. Pendapat ini sebenarnya telah disinyalir Soekarno yang disampaikan dalam pidato Nawaksara (1967), yang menyebut adanya ‘subversi Nekolim’ (hal.138). Langsung mengingatkan saya dengan analisis Noam Chomsky tentang politik kebijakan ‘tetangga baik’, yang sekarang tampaknya masih diadopsi Amerika dengan sempurna. Dan yang paling membuat penasaran adalah sosok misterius Sjam Kamaruzaman yang pernah bersaksi di hadapan pengadilan, “Saya pegang pimpinan politiknya dan Saudara Untung pegang pimpinan militernya. Tetapi pimpinan militer ini di bawah pimpinan politik. Saya sebagai pimpinan, bertanggung jawab atas segala kejadian yang ada.” (hal. 159).*

(Nur Hadi, Koran Jakarta, 17 September 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar