Silang Sengkarut Dalang G30S
Judul Buku : Mengurai
Kabut Pekat Dalang G30S
Penulis :
Herman Dwi Sucipto
Penerbit :
Penerbit Palapa
Cetakan :
Pertama, 2015
Tebal :
212 halaman
ISBN :
978-602-255-942-9
Gerakan 30 September merupakan peristiwa yang hingga
sekarang masih menyisakan pertanyaan bagi semua kalangan. Menemukan dalang
utamanya sama halnya menyusuri kabut tebal. Siapakah aktor sesungguhnya di
balik peristiwa makar tersebut? Yang jelas, buku ini menjadikan PKI sebagai
tema sentral pembicaraan, baik dari tokoh-tokohnya sampai segala sepak terjang
yang pernah dilakukan partai terlarang tersebut.
Ada beberapa hal yang dianggap penyebab terjadinya
tragedi tersebut. Pertama, menguatnya PKI di pemerintahan. Pada masa
pemerintahan kabinet Mr. Ali Sastramijojo 1, PKI memberikan dukungannya secara
penuh meskipun kabinet tersebut tak sanggup mengatasi kesulitan ekonomi yang
dihadapi bangsa Indonesia.
Tiap kali kabinet terancam perpecahan, PKI selalu mengadakan pembelaan keras
yang sebenarnya bertujuan memperkuat posisi politiknya sendiri. Setelah
kemenangannya yang luar biasa pada pemilu 1955, PKI semakin mendapatkan angin
segar setelah lahirnnya Demokrasi Terpimpin. Partai ini semakin keblinger ketika
akhirnya mampu memeluk Front Nasional bikinan Presiden hingga kemudian berani
berseberangan dengan TNI-AD (hal. 76).
Kedua, adanya ‘Angkatan Kelima’ gagasan PKI. Angkatan
kelima adalah unsur pertahanan keamanan RI yang diambil dari kalangan buruh dan
petani yang dipersenjatai. Lantaran khawatir dengan apa yang pernah terjadi di
Rusia dan RRT, jajaran pimpinan Angkatan Darat pun menolak usulan itu sehingga
terjadilah konflik tertutup.
Ketiga, isu sakitnya Presiden. PKI yang selama ini
memiliki hubungan mesra dengan Soekarno, khawatir tampuk pimpinan nasional
bakal beralih ke tangan orang AD. Begitu mengetahui Soekarno sakit keras,
mereka pun menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan.
Keempat, isu Dewan Jenderal, yang tak lain bertujuan
memperburuk citra TNI-AD di depan pemerintah dan rakyat. Seolah-olah tergambar
Dewan Jenderal adalah sekelompok Perwira Tinggi TNI-AD yang tidak loyal kepada
presiden dan mempunyai kegiatan politik menilai kebijaksanaan Presiden.
Kelima, isu Dokumen Gilchrist. Dokumen Gilchrist diterima
Dr. Subandrio tanggal 15 Mei 1965 melalui pos di Jakarta, berupa sebuah konsep
surat tanpa tanda tangan pengirim melainkan hanya sebuah nama Gilchrist.
Imbasnya, Letjen A. Yani selaku Men/Pangad harus memberikan penjelasan atas
pertanyaan Presiden bahwa dalam AD tak ada Dewan Jenderal. Yang ada adalah
Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) AD yang bertugas memberikan
saran atau pendapat kepada Men/Pangad tentang jabatan dan Kepangkatan Perwira
Tinggi AD (hal 84).
Beberapa versi siapa otak di balik makar tersebut juga
diapungkan. PKI menjadi tertuduh utama. Ada pula versi buah analisis Anderson
dan McVey yang menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan letupan persoalan
intern dalam tubuh AD. Ada juga versinya Antonie Dake yang menerbitkan
pengakuan ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko, yang menyatakan keterlibatan
Soekarno.
Tiga versi terakhir tampak terpapar lebih meyakinkan.
Versi keterlibatan Soeharto yang diungkapkan W.F. Wertheim mengungkap bahwa
pada malam 1 Oktober 1965, terjadi pertemuan Soeharto dengan Latief dan Letkol Untung
(pimpinan tim penculik tujuh jenderal). Asumsinya, dengan pertemuan itu
Soeharto sebenarnya memahami, mengetahui, dan ikut merencanakan aksi ini. Meski
banyak pula ahli sejarah yang berpendapat bahwa Soeharto bukan tipe genius yang
bisa merancang kudeta secara sistematis. Ada juga yang berpendapat tentang
keterlibatan Amerika melalui CIA. Pendapat ini sebenarnya telah disinyalir
Soekarno yang disampaikan dalam pidato Nawaksara (1967), yang menyebut adanya
‘subversi Nekolim’ (hal.138). Langsung mengingatkan saya dengan analisis Noam
Chomsky tentang politik kebijakan ‘tetangga baik’, yang sekarang tampaknya
masih diadopsi Amerika dengan sempurna. Dan yang paling membuat penasaran
adalah sosok misterius Sjam Kamaruzaman yang pernah bersaksi di hadapan
pengadilan, “Saya pegang pimpinan politiknya dan Saudara Untung pegang pimpinan
militernya. Tetapi pimpinan militer ini di bawah pimpinan politik. Saya sebagai
pimpinan, bertanggung jawab atas segala kejadian yang ada.” (hal. 159).*
(Nur Hadi, Koran Jakarta, 17 September 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar