Ada yang Sedang Bertapa Dalam Rahim
Istriku
Istriku
keluar dari ruangan itu dengan senyum tipis yang tak bisa menyembunyikan rasa
bahagia.
“Bagaimana?”
tanyaku, terdorong penasaran.
Dia
malah mencubit lengan kiriku. Ekor matanya berisyarat ke arah orang-orang yang
antre di klinik itu. Mungkin dia malu, meskipun jawabannya hanya butuh selarik
kalimat pendek atau bahkan cuma kedipan mata. Buktinya, sesampainya di rumah
dia langsung memelukku sebagai jawaban. Kami benar-benar bahagia. Meskipun pada
kenyataannya dia sedang menderita.
* * *
Setiap
kali makanan yang ditelannya muntah, kedua mataku berkaca-kaca, apakah ini
memang keinginan yang bertapa dalam rahim istriku itu?
“Aku
tidak tahan baunya, Mas. Sepertinya dia tidak suka,” tutur istriku setelah
selesai mengeluarkan semua lontong yang baru saja dimakannya.
Kuendus
sejenak sisa di piring. Tak ada bau menyengat. “Lalu kenapa tadi kau
memintanya?” jika sudah begitu, seperti biasanya, tugaskulah untuk menghabiskan
sisanya.
“Enggak
tahu, Mas. Tapi tadi aku benar-benar kepingin,”
sambil mengelus-elus perutnya. Kalau sudah begitu, rasa jengkelku pun memudar.
Uang yang keluar sia-sia jadi tak terasa.
“Kenapa
yang diingininya cuma makanan ya? Kenapa enggak buku, atau yang lainnya? Aku
ingin sekali memelihara orang jenius, orang istimewa. Aku tidak ingin
memelihara yang seperti orang kebanyakan,” kusingkap sedikit baju yang menutupi
perutnya, dan lalu kukecup pusarnya.
“Bukannya
semua orang itu istimewa, Mas? Mereka lahir dengan membawa keistimewaannya
masing-masing,” istriku langsung berapologi. Entah kalimat itu ia dapat dari
buku mana. Mungkin ia khawatir jika kelak aku akan abai jika yang bertapa dalam
rahimnya ternyata tipe orang kebanyakan.
“Aku
ingin memelihara Albert Einstein, Thomas Alva Edison, Sukarno, atau Habibi juga
aku mau.”
Tiba-tiba
istriku terdiam. Pandangannya menerawang jauh. Entah apa yang dipikirkannya.
* * *
Kuibaratkan
bahwa aku sedang menikmati irama sebuah musik. Seperti itu juga kiranya yang
dialami orang-orang dekat istriku. Bagian intronya terasa begitu menyenangkan.
Kadang kami membayangkan sosok seperti apa dia yang bertapa dalam rahim istriku
itu. Kami mulai merancang masa depannya, meskipun sadar rancangan ini hanyalah
sekadar perayaan semu atas kehadirannya, sekadar angan dan harapan. Kami juga
sudah mempersiapkan calon nama untuknya. Meskipun kami sudah diberitahu bahwa
jenis kelaminnya baru bisa diketahui setelah empat bulan masa pertapaan.
Misalnya, kalau nama Cahyo Langit Semesta itu cocok untuk seorang budayawan.
Bambang Sugiharto itu cocok untuk seorang pengusaha. Lalu Chandra Purnama itu
cocok untuk seorang artis. Kami abaikan pemeo tentang apalah arti sebuah nama.
Kenyataannya, nama ndeso semacam Joko
Widodo pun ternyata bisa jadi seorang presiden. Anggap saja kami sedang
berharap. Dan orang yang hidup dengan sebuah apalagi banyak harapan itu sungguh
menggairahkan.
Yang
justru terlihat paling hanyut dalam menikmati intro kedatangan yang bertapa
dalam rahim istriku itu adalah ayah dan ibunya istriku, lantaran dia adalah
calon cucu pertama mereka. Berderet nasihat langsung diwariskan oleh ibu
mertuaku. Dari yang bertema pantangan sampai yang bertema anjuran. Kami seperti
dibawa ke nada-nada tersembunyi dalam sebuah lagu, untuk menyadarkan bahwa
betapa pentingnya makna kedatangan yang bertapa dalam rahim istriku itu. Kami
diingatkan bahwa seperti itulah dulu mereka menjaga diri sebelum Tatik—istriku,
menjadi manusia seperti sekarang.
Tatik
dilarang duduk-duduk di tengah pintu, dilarang kerap bepergian saat jelang
magrib, dilarang membuang sampah dengan keadaan masih terbuntal plastik,
dilarang membiarkan pakaian terjemur di luar hingga malam hari, dilarang makan
di dalam kamar, belum lagi pelarangan atas beberapa jenis makanan yang kadang
membuat kami was-was saat mampir ke rumah makan karena saking banyak jumlah
pantangannya.
“Terong
boleh kan,
Mas?” istriku menunjuk menu terong balado. Budhe Likah langsung muncul di
dalam kepalaku, “Jangan dikasih makan
yang pedas-pedas kalau tak ingin dia nanti
jadi orang galak.” Dan itu sukses membuatku bingung lantaran
belakangan istriku justru paling doyan dengan makanan yang berlumur cabai.
“Bagaimana
kalau dia nanti jadi seperti banci, Ma? Aku enggak mau kesatriaku adalah
seorang banci,” ujarku sambil membayangkan sifat terong yang lembek setelah
dimasak. Baginilah akibatnya lantaran kami yang tidak hafal dengan semua jenis
makanan yang jadi pantangan.
“Tapi
aku kepingin, Mas,” desaknya, seraya
menyenggolku dengan keras. Tentu saja aku jadi teringat dengan sebuah anjuran, bahwa
jika keinginan sang pembawa petapa tak dipenuhi, konon yang dilahirkan bisa
sering ileran. Gara-gara itu, pernah
jam satu malam tepat aku gentayangan ke alun-alun kota demi mendapatkan kue serabi yang diminta
istriku.
“Tapi
aku enggak ingin punya anak lembek, Ma,” sergahku lagi. Coba mendesaknya untuk
berpikir logis, membayangkan kondisi terong pasca dimasak. Sejauh ini,
larangan-larangan yang diikatkan ke istriku selalu berbau logis. Kalaupun ada
yang agak aneh, istriku buru-buru menelisik alasannya.
Misalnya
saja saat dilarang makan udang.
“Supaya
nanti mudah saat melahirkan. Enggak mlethik-mlethik[1]
kayak udang,” jelas nenek istriku yang juga turut heboh. Omong-omong, beliau
juga menaruh harapan agar setidaknya salah satu dari keturunannya ada yang jadi
orang besar.
Ada lagi misalnya, saat
dilarang membiarkan jemuran hingga malam hari. Semua itu dimaksudkan demi
menghindarkan dari makhluk halus yang konon amat menyukai keharuman si pembawa
yang bertapa dalam rahim. Perempuan yang membawa petapa dalam rahim konon
selalu menguarkan keharuman yang khas.
“Jadi
bagaimana? Kedua mata istriku kulihat sudah berkaca-kaca.
Aku
menganggap ini adalah akhir dari intronya. Kami akan segera menyongsong refrain
yang lebih menggairahkan. Jadi semestinya tak perlu ada sedih.
* * *
Banyak
sudah kekacauan yang ditimbulkan oleh dia yang sedang bertapa dalam rahim
istriku. Tentu saja, istriku adalah korban pertamanya, meskipun ia justru
mengaku amat bahagia. Bayangkan saja, setiap malam aku selalu kebagian tugas
ekstra yang wajib hukumnya; memijit kedua kaki atau minimal mengelus-elus
punggung sampai dia tertidur, tak peduli aku yang teler karena sudah capek
kerja. Tanpa upah pula. Malah jatah servis untukku juga dikurangi.
Tepat
bulan keempat kehadiran yang bertapa dalam rahim istriku, kamipun dianjurkan
mengadakan selamatan ngapati.
“Buat
apa sih, Mak, kok sampai ribut dan ribet sekali?” tanya istriku yang seperti
biasanya selalu ingin tahu mengapa.
Ibu
mertuaku pun langsung menjelaskan, bahwa pada bulan keempat, ketentuan nasib
untuk yang bertapa dalam rahim istriku sudah mulai ditetapkan. Rezeki, nasib
mujur atau sial, jodoh, sampai kematian sudah ditetapkan. Jadi kami diharuskan
meminta ketentuan yang sebaik-baiknya. Istriku pun lalu menghubungkannya dengan
informasi dari dokter kandungan, bahwa yang bertapa dalam rahimnya juga sudah
mulai bisa mendengar, sidik jari mulai terbentuk, kelopak mata sudah sempurna
menutup bola mata, dan sudah mampu memproduksi antibodi sendiri.
“Apa
itu sebabnya sidik jari atau garis tangan bisa dijadikan sarana untuk membaca
nasib seseorang ya, Mas?”
Aku
menoleh kaget. Heh, bagaimana bisa istriku menjadi sejenius itu? Apa ini bawaan
yang bertapa di dalam rahimnya?
* * *
Aku
sedang duduk bersila dengan mata terpejam di sebuah tempat yang aku tak tahu
itu di mana. Ajaibnya semua makanan yang aku butuhkan datang tanpa kuminta,
sehingga aku tak perlu lagi khawatir lapar berani mengganggu kekhusyukanku
berdiam diri.
Pernah
suatu ketika aku merasa diguncang gempa hebat yang seolah hendak meruntuhkan
segala. Rasa was-was langsung datang mengepung menyuruhku untuk segera keluar
dari tempat ini. Tapi rasa was-was itu tiba-tiba lenyap saat kudengar suara
lembut yang entah siapa.
“Tenang
ya, Dek. Tidak ada apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”
Dan
sesudah itu memang tidak terjadi apa-apa. Suasana kembali hening bahkan
kemudian aku dapat merasakan kehangatan yang entah datangnya dari mana.
Suatu
ketika aku juga pernah disekap kebosanan yang luar biasa. Aku benar-benar tak
betah lagi tinggal di tempat sempit ini, namun kemudian baru kusadari bahwa aku
tak tahu jalan keluarnya lewat mana.
“Tenang
ya, Dek. Jangan nakal. Ayo ikut Mama dengan tenang.”
Aku
pun menyerah dan mengikuti suara lembut itu.
Hingga
akhirnya suatu ketika aku dapat merasakan datangnya sebuah kekuatan yang entah
dari mana datangnya. Ia mendorongku dan terus mendorongku entah ke mana, hingga
kemudian dapat kurasakan sebuah ruang lain yang sama asingnya.
“Jangan
nangis. Ini Mama, Dek. Shshshss… ini
Mama,” suara itu menghampiri dan lalu melingkupiku.
Tapi
bagaimana aku tak menangis, jika hening yang semula memelukku dengan nyaman
tiba-tiba berubah menjadi riuh yang mengepung dari segala penjuru? Dan ketika
kusadari bahwa ternyata suara lembut tadi menampakkan wajah istriku, akupun
menjadi semakin histeris!
* * *
“Mas
tadi mimpi apa sih?” tanya istriku yang akhirnya ikut terjaga akibat teriakanku
tadi.
Malam
itu, tak tahu kenapa tiba-tiba aku ingin sekali bercakap-cakap dengan yang
bertapa dalam rahim istriku. Tentang apa saja; Fisika, Biologi, ilmu sosial,
atau kalau perlu Matematika! *
Kalinyamatan
– Jepara, 2014.
(Adi Zamzam, SOLOPOS, Minggu 22 November 2015)
Ilustrasi; buzzfeed.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar