Senin, 23 November 2015

Ada yang Sedang Bertapa Dalam Rahim Istriku



Ada yang Sedang Bertapa Dalam Rahim Istriku




Istriku keluar dari ruangan itu dengan senyum tipis yang tak bisa menyembunyikan rasa bahagia.
“Bagaimana?” tanyaku, terdorong penasaran.
Dia malah mencubit lengan kiriku. Ekor matanya berisyarat ke arah orang-orang yang antre di klinik itu. Mungkin dia malu, meskipun jawabannya hanya butuh selarik kalimat pendek atau bahkan cuma kedipan mata. Buktinya, sesampainya di rumah dia langsung memelukku sebagai jawaban. Kami benar-benar bahagia. Meskipun pada kenyataannya dia sedang menderita.
*          *          *


Setiap kali makanan yang ditelannya muntah, kedua mataku berkaca-kaca, apakah ini memang keinginan yang bertapa dalam rahim istriku itu?
“Aku tidak tahan baunya, Mas. Sepertinya dia tidak suka,” tutur istriku setelah selesai mengeluarkan semua lontong yang baru saja dimakannya.
Kuendus sejenak sisa di piring. Tak ada bau menyengat. “Lalu kenapa tadi kau memintanya?” jika sudah begitu, seperti biasanya, tugaskulah untuk menghabiskan sisanya.
“Enggak tahu, Mas. Tapi tadi aku benar-benar kepingin,” sambil mengelus-elus perutnya. Kalau sudah begitu, rasa jengkelku pun memudar. Uang yang keluar sia-sia jadi tak terasa.
“Kenapa yang diingininya cuma makanan ya? Kenapa enggak buku, atau yang lainnya? Aku ingin sekali memelihara orang jenius, orang istimewa. Aku tidak ingin memelihara yang seperti orang kebanyakan,” kusingkap sedikit baju yang menutupi perutnya, dan lalu kukecup pusarnya.
“Bukannya semua orang itu istimewa, Mas? Mereka lahir dengan membawa keistimewaannya masing-masing,” istriku langsung berapologi. Entah kalimat itu ia dapat dari buku mana. Mungkin ia khawatir jika kelak aku akan abai jika yang bertapa dalam rahimnya ternyata tipe orang kebanyakan.
“Aku ingin memelihara Albert Einstein, Thomas Alva Edison, Sukarno, atau Habibi juga aku mau.”
Tiba-tiba istriku terdiam. Pandangannya menerawang jauh. Entah apa yang dipikirkannya.
*          *          *

Kuibaratkan bahwa aku sedang menikmati irama sebuah musik. Seperti itu juga kiranya yang dialami orang-orang dekat istriku. Bagian intronya terasa begitu menyenangkan. Kadang kami membayangkan sosok seperti apa dia yang bertapa dalam rahim istriku itu. Kami mulai merancang masa depannya, meskipun sadar rancangan ini hanyalah sekadar perayaan semu atas kehadirannya, sekadar angan dan harapan. Kami juga sudah mempersiapkan calon nama untuknya. Meskipun kami sudah diberitahu bahwa jenis kelaminnya baru bisa diketahui setelah empat bulan masa pertapaan. Misalnya, kalau nama Cahyo Langit Semesta itu cocok untuk seorang budayawan. Bambang Sugiharto itu cocok untuk seorang pengusaha. Lalu Chandra Purnama itu cocok untuk seorang artis. Kami abaikan pemeo tentang apalah arti sebuah nama. Kenyataannya, nama ndeso semacam Joko Widodo pun ternyata bisa jadi seorang presiden. Anggap saja kami sedang berharap. Dan orang yang hidup dengan sebuah apalagi banyak harapan itu sungguh menggairahkan.
Yang justru terlihat paling hanyut dalam menikmati intro kedatangan yang bertapa dalam rahim istriku itu adalah ayah dan ibunya istriku, lantaran dia adalah calon cucu pertama mereka. Berderet nasihat langsung diwariskan oleh ibu mertuaku. Dari yang bertema pantangan sampai yang bertema anjuran. Kami seperti dibawa ke nada-nada tersembunyi dalam sebuah lagu, untuk menyadarkan bahwa betapa pentingnya makna kedatangan yang bertapa dalam rahim istriku itu. Kami diingatkan bahwa seperti itulah dulu mereka menjaga diri sebelum Tatik—istriku, menjadi manusia seperti sekarang.
Tatik dilarang duduk-duduk di tengah pintu, dilarang kerap bepergian saat jelang magrib, dilarang membuang sampah dengan keadaan masih terbuntal plastik, dilarang membiarkan pakaian terjemur di luar hingga malam hari, dilarang makan di dalam kamar, belum lagi pelarangan atas beberapa jenis makanan yang kadang membuat kami was-was saat mampir ke rumah makan karena saking banyak jumlah pantangannya.
“Terong boleh kan, Mas?” istriku menunjuk menu terong balado. Budhe Likah langsung muncul di dalam kepalaku, “Jangan dikasih makan yang pedas-pedas kalau tak ingin dia nanti  jadi orang galak.” Dan itu sukses membuatku bingung lantaran belakangan istriku justru paling doyan dengan makanan yang berlumur cabai.
“Bagaimana kalau dia nanti jadi seperti banci, Ma? Aku enggak mau kesatriaku adalah seorang banci,” ujarku sambil membayangkan sifat terong yang lembek setelah dimasak. Baginilah akibatnya lantaran kami yang tidak hafal dengan semua jenis makanan yang jadi pantangan.
“Tapi aku kepingin, Mas,” desaknya, seraya menyenggolku dengan keras. Tentu saja aku jadi teringat dengan sebuah anjuran, bahwa jika keinginan sang pembawa petapa tak dipenuhi, konon yang dilahirkan bisa sering ileran. Gara-gara itu, pernah jam satu malam tepat aku gentayangan ke alun-alun kota demi mendapatkan kue serabi yang diminta istriku.
“Tapi aku enggak ingin punya anak lembek, Ma,” sergahku lagi. Coba mendesaknya untuk berpikir logis, membayangkan kondisi terong pasca dimasak. Sejauh ini, larangan-larangan yang diikatkan ke istriku selalu berbau logis. Kalaupun ada yang agak aneh, istriku buru-buru menelisik alasannya.
Misalnya saja saat dilarang makan udang.
“Supaya nanti mudah saat melahirkan. Enggak mlethik-mlethik[1] kayak udang,” jelas nenek istriku yang juga turut heboh. Omong-omong, beliau juga menaruh harapan agar setidaknya salah satu dari keturunannya ada yang jadi orang besar.
Ada lagi misalnya, saat dilarang membiarkan jemuran hingga malam hari. Semua itu dimaksudkan demi menghindarkan dari makhluk halus yang konon amat menyukai keharuman si pembawa yang bertapa dalam rahim. Perempuan yang membawa petapa dalam rahim konon selalu menguarkan keharuman yang khas.
“Jadi bagaimana? Kedua mata istriku kulihat sudah berkaca-kaca.
Aku menganggap ini adalah akhir dari intronya. Kami akan segera menyongsong refrain yang lebih menggairahkan. Jadi semestinya tak perlu ada sedih.
*          *          *

Banyak sudah kekacauan yang ditimbulkan oleh dia yang sedang bertapa dalam rahim istriku. Tentu saja, istriku adalah korban pertamanya, meskipun ia justru mengaku amat bahagia. Bayangkan saja, setiap malam aku selalu kebagian tugas ekstra yang wajib hukumnya; memijit kedua kaki atau minimal mengelus-elus punggung sampai dia tertidur, tak peduli aku yang teler karena sudah capek kerja. Tanpa upah pula. Malah jatah servis untukku juga dikurangi.
Tepat bulan keempat kehadiran yang bertapa dalam rahim istriku, kamipun dianjurkan mengadakan selamatan ngapati.
“Buat apa sih, Mak, kok sampai ribut dan ribet sekali?” tanya istriku yang seperti biasanya selalu ingin tahu mengapa.
Ibu mertuaku pun langsung menjelaskan, bahwa pada bulan keempat, ketentuan nasib untuk yang bertapa dalam rahim istriku sudah mulai ditetapkan. Rezeki, nasib mujur atau sial, jodoh, sampai kematian sudah ditetapkan. Jadi kami diharuskan meminta ketentuan yang sebaik-baiknya. Istriku pun lalu menghubungkannya dengan informasi dari dokter kandungan, bahwa yang bertapa dalam rahimnya juga sudah mulai bisa mendengar, sidik jari mulai terbentuk, kelopak mata sudah sempurna menutup bola mata, dan sudah mampu memproduksi antibodi sendiri.
“Apa itu sebabnya sidik jari atau garis tangan bisa dijadikan sarana untuk membaca nasib seseorang ya, Mas?”
Aku menoleh kaget. Heh, bagaimana bisa istriku menjadi sejenius itu? Apa ini bawaan yang bertapa di dalam rahimnya?
*          *          *

Aku sedang duduk bersila dengan mata terpejam di sebuah tempat yang aku tak tahu itu di mana. Ajaibnya semua makanan yang aku butuhkan datang tanpa kuminta, sehingga aku tak perlu lagi khawatir lapar berani mengganggu kekhusyukanku berdiam diri.
Pernah suatu ketika aku merasa diguncang gempa hebat yang seolah hendak meruntuhkan segala. Rasa was-was langsung datang mengepung menyuruhku untuk segera keluar dari tempat ini. Tapi rasa was-was itu tiba-tiba lenyap saat kudengar suara lembut yang entah siapa.
“Tenang ya, Dek. Tidak ada apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”
Dan sesudah itu memang tidak terjadi apa-apa. Suasana kembali hening bahkan kemudian aku dapat merasakan kehangatan yang entah datangnya dari mana.
Suatu ketika aku juga pernah disekap kebosanan yang luar biasa. Aku benar-benar tak betah lagi tinggal di tempat sempit ini, namun kemudian baru kusadari bahwa aku tak tahu jalan keluarnya lewat mana.
“Tenang ya, Dek. Jangan nakal. Ayo ikut Mama dengan tenang.”
Aku pun menyerah dan mengikuti suara lembut itu.
Hingga akhirnya suatu ketika aku dapat merasakan datangnya sebuah kekuatan yang entah dari mana datangnya. Ia mendorongku dan terus mendorongku entah ke mana, hingga kemudian dapat kurasakan sebuah ruang lain yang sama asingnya.
“Jangan nangis. Ini Mama, Dek. Shshshss… ini Mama,” suara itu menghampiri dan lalu melingkupiku.
Tapi bagaimana aku tak menangis, jika hening yang semula memelukku dengan nyaman tiba-tiba berubah menjadi riuh yang mengepung dari segala penjuru? Dan ketika kusadari bahwa ternyata suara lembut tadi menampakkan wajah istriku, akupun menjadi semakin histeris!
*          *          *

“Mas tadi mimpi apa sih?” tanya istriku yang akhirnya ikut terjaga akibat teriakanku tadi.
Malam itu, tak tahu kenapa tiba-tiba aku ingin sekali bercakap-cakap dengan yang bertapa dalam rahim istriku. Tentang apa saja; Fisika, Biologi, ilmu sosial, atau kalau perlu Matematika! *

Kalinyamatan – Jepara, 2014.





(Adi Zamzam, SOLOPOS, Minggu 22 November 2015)
Ilustrasi; buzzfeed.com


[1] Melompat-lompat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar