Tentang Antara Aku, Ibu, dan Gadis Kecil yang
Kehilangan Ibunya
Adalah rindu yang membangunkanku pagi ini. Mataku langsung menemukan
angka istimewa di kalender. Sebuah tanggal yang telah berumur empatpuluh lima
tahun lebih, yang mengingatkanku pada seorang perempuan.
Kenangan mengepul dari sebuah potret di atas meja belajarku. Dia selalu
tersenyum. Senyum yang kadang terasa luka, namun entah mengapa selalu
menguarkan rindu. Apapun yang terjadi dia akan selalu tersenyum untukku. Pun saat
menghadapi tugas-tugas dari dosen hukum pidana yang jarang senyum itu.
Ketika itu semua temanku sampai tersedak.
“Kamu waktu itu ikut ‘goyang’ enggak?”[1]
pancing lelaki gaek itu, coba membangunkan kelas.
Sebuah loncatan besar, kata teman-temanku. Sebab lelaki uban yang pernah
menjadi singa meja hijau itu terkenal pelit gurauan. Kasus terfiktif yang
pernah dilontarkan. Tapi aku justru hampir muntah. Tumpukan buku tentang hukum
pidana mendadak menjelma buku diary Ibu yang menguarkan kesedihan.