Kucing yang Baik
Kami sedang butuh kucing. Bukan saja karena Minah yang sudah berkali
menjerit-jerit karena memergoki tikus di dapur, atau bunyi berisiknya di atas
plafon yang amat mengganggu, atau juga kotorannya yang tercecer di mana-mana.
Populasi mereka benar-benar sudah meresahkan. Minah bahkan sudah empat kali
membeli centong penanak nasi gara-gara kerap dicuri tikus-tikus yang amat
kelaparan itu.
Kami menduga, tikus-tikus itu meloncat dari genting rumah Warsini di
belakang rumah kami, lalu memanjat tembok belakang rumah yang sepertinya memang
mudah dipanjati karena masih belum dipopok
dengan semen. Mereka lantas berkeliaran di plafon, entah lewat jalan yang mana
lalu berkeliaran menyatroni semua ruangan di rumah kami.
Perangkap tikus sudah bukan penyelesaian yang jitu lagi. Dulu, kami
memang kerap melihat Warsini yang dengan bangga memperlihatkan dua tiga ekor
tikus bodoh yang masuk perangkapnya. Tapi trik itu sekarang sudah tak manjur
lagi. Sepertinya para tikus itu sudah paham apa yang dinamakan perangkap tikus.
Mereka tidak bodoh-bodoh amat. Mereka seperti para koruptor negeri ini. Warsini
juga pernah menggunakan racun tikus. Hanya saja kami khawatir andai nanti ada
tikus yang kelenger di atas plafon. Akhirnya
kami pun memutuskan ini. Memelihara kucing! “Kucing itu KPK,” kataku.
* * *