Selasa, 21 Juli 2020

Masa Depan Hancur?


Masa Depan; Hancur?




Beberapa waktu silam, ketika berita perundungan seorang siswi SMU yang dilakukan oleh kawan-kawannya sendiri—hingga merusak keperawanannya, merebak di media sosial, beragam tanggapan/status dan komentar pun bermunculan pula di media sosial. Beberapa status tanggapan di media sosial itu mengatakan bahwa para siswi tersebut telah merusak dan menghancurkan masa depan korban perundungan dan pelecehan tersebut.

Dalam kasus yang hampir serupa, seorang ayah diberitakan telah mencabuli anak kandungnya sendiri selama tiga tahun hingga mengandung. Ketika berita tersebut diunggah di medsos oleh media bersangkutan, beragam komentar juga bermunculan. Dan lagi-lagi komentar yang senada juga hadir dengan sadisnya; bahwa si bapak jelas telah menghancurkan masa depan anak kandungnya sendiri!
Adakah yang salah dari dua komentar serupa tersebut?
Pertama, saya ingin membicarakannya dari tataran kebahasaan dulu. Lantaran kita berbicara dari segi bahasa, maka jelas kita harus mengetahui apa makna frasa tersebut. Masa lalu, adalah masa yang sudah dilalui, masa yang sudah terjadi. Masa depan, adalah masa yang berada di depan, belum dilalui, dan belum terjadi.
Masa lalu jelas akan membawa pengaruh terhadap masa depan. Orang yang tadinya normal, mengalami kecelakaan dan patah kaki, maka selanjutnya ia harus hidup dengan kecacatannya itu. Namun, apakah masa depannya sudah hancur, atau (bahkan dalam skala kecil) rusak?                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    
Seperti yang kita ketahui sebelumnya, bahwa masa depan adalah masa yang belum diketahui, masa yang belum terjadi, masa yang belum kita alami, masa yang absurd, lalu bagaimana bisa rusak atau hancur? Kita hanya bisa menerka dan membayangkan berdasarkan variabel-variabel yang kita ketahui, sementara variabel kehidupan/realita sebenarnya lebih kompleks dan kadang tak terduga. Jika yang dimaksud adalah membawa perubahan yang (dianggap) buruk, pemaknaan ini pun saya rasa masih belum tepat, sebab pemaknaan dan penamaan ‘baik’ atau ‘buruk’ kembalinya menjadi subjektif, tergantung subjek yang mengalaminya. Jika subjek kemudian merasa bahwa ia tidak bisa melanjutkan hidupnya lagi, bahwa ia sudah tak bisa melakukan apa-apa lagi, maka dari situlah bisa dikatakan bahwa masa depan subjek tersebut sudah rusak.
Lantas, kata apakah kiranya yang bisa mewakili maksud netizen di atas? Jika ‘rusak’ atau ‘hancur’ menjadi sesuatu yang dikhawatirkan, maka sesungguhnya banyak hal yang bisa dikhawatirkan atas korban perundungan. Beberapa hal buruk itu menjadi semacam ancaman tak kasat mata yang jika diabaikan dikhawatirkan akan menjadi masa depan yang nyata. Dari sinilah pembicaraan frasa ‘masa depan’ mulai bisa dikaji lewat tataran psikologi bahkan kemudian tataran agama.
Saya tengah membayangkan ketika Anda berada di dekat korban perundungan dan kemudian mengatakan, “Dia telah menghancurkan masa depanmu. Masa depanmu sudah dirusak!” Kira-kira, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah masa depannya akan benar-benar menjadi rusak? Ataukah masa depannya bisa berubah menjadi baik?
Kesalahan pertama dalam kasus tersebut, Anda jelas bertindak sok tahu. Sementara kesalahan berikutnya, kalimat Anda lah yang justru menambah beban psikologis bagi korban, alih-alih menambah semangat hidupnya.
Dalam tataran agama, kata ‘rusak’ atau ‘hancur’ juga tidak diperbolehkan. Ketika menjenguk seseorang yang tertimpa musibah, kita justru dianjurkan mengucapkan hal-hal yang baik-baik saja.
Dalam skop yang lebih luas, beberapa media massa kita juga kedapatan sering melakukan kesalahan yang sama dengan kelakuan para netizen di atas. Coba mari kita pelajari dengan saksama judul-judul yang saya ambilkan dari beberapa media berikut ini.

Masa Depan Keluarga Ini Hancur Lewat Sebuah Pesan di Whatsapp.
Masa Depan Mawar Hancur hingga Hamil 2 Bulan.
Narkoba Dapat Hancurkan Masa Depan Generasi Muda.
Masa Depan Hancur karena Pergaulan Bebas.

Pada kalimat pertama, kata ‘hancur’ terasa benar berlebihan lantaran tentu saja keluarga tersebut masih bisa merancang/menemukan jalan keluar untuk membangun kelangsungan keluarga. Sementara kalimat kedua, sudah kita bahas sebelumnya, bahwa kalimat tersebut kurang mengindahkan etiket. Kalimat ketiga, diksi ‘hancur’ juga bisa dinilai kurang tepat lantaran kondisi masa depan masih dalam taraf dikhawatirkan dan terancam. Sementara pada kalimat keempat, kata ‘hancur’ juga masih terasa mengambang dan kurang tepat.
Sekali lagi, masa depan adalah hal yang belum terjadi. Apa yang kita bayangkan dan khawatirkan, juga belum tentu terjadi. Memang ada tanda-tanda yang bisa kita baca, namun tindakan dan sikap kita di masa sekaranglah yang membawa risiko. Percayalah, masa depan kita belum hancur selama kita masih mau berusaha, apa pun hasilnya!*




Nur Hadi, Dimuat Harian Lampung Post, 2 April 2020.

1 komentar:

  1. seberapun kelamnya masa lalu seseorang, masa depannya masih suci.

    BalasHapus