Selasa, 27 Oktober 2020

Karpet Merah

 

Karpet Merah

 


Kita mungkin sudah tak asing lagi dengan penggunaan frasa ‘karpet merah’ yang sering diasosiasikan sebagai jalur atau jalan yang dikhususkan bagi para elit dalam sebuah acara resmi. Setidaknya demikianlah yang telah menjadi budaya dalam beberapa acara-acara resmi semacam OSCAR atau penyambutan para tamu penting yang bersifat protokoler.

 

Mengapa merah? Tampaknya kata ‘merah’ memang sudah diidentikkan dengan hal-hal yang berbau megah, mewah, membawa kehormatan, menandakan prestise dan kekayaan, sejak dari zaman dahulu. Suku Aztec dan Maya diketahui menggunakan serangga cochineal hanya demi mendapatkan warna merah menyala yang pada masanya konon sulit didapat. Dalam sebuah drama karya penulis Yunani kuno  Aeschylus (458 SM) juga didapati sebuah referensi yang menyatakan bahwa warna merah tua menjadi penanda penting sebagai penghormatan untuk menyambut kedatangan seorang pahlawan dari medan perang. Penggerak kemerdekaan bangsa Indonesia sendiri juga lebih memilih warna merah untuk mewakili keagungan keberanian para pejuang dalam merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah.

Kita kemudian bisa mengatakan, bahwa beberapa warna tertentu mewakili atau membawa makna tertentu. Carl Gustav Jung bahkan pernah melakukan penelitian yang hasilnya ditemukan bahwa warna ternyata juga mampu memengaruhi kondisi psikologi manusia. Warna, kemudian sering diartikan dan dihubungkan dengan kondisi psikologis si pemakainya itu sendiri. Warna, menjadi daya ungkap dan isyarat tanpa bahasa.

Warna hijau, juga mewakili beragam pemaknaan ketika disandingkan dengan beberapa kata. Sebut saja ‘meja hijau’, ‘mata hijau’, pemandangan hijau’, planet hijau, dll. Meja hijau adalah frasa yang mewakili makna pengadilan; sebuah tempat yang dikenal sebagai jalan tengah untuk mencari keadilan, titik temu, atau juga perdamaian. Hijau, seringkali diasosiasikan dengan makna damai, sejuk, tenteram, atau juga penyembuhan, sumber kehidupan, dan kemakmuran. Namun maknanya kemudian berubah drastis ketika berada dalam frasa ‘mata hijau’ yang diasosiasikan sebagai mata duitan.

Warna biru juga memiliki ruangnya sendiri. Biru yang identik dengan warna langit dan laut, sering dikaitkan dengan makna keteduhan, kecerdasan, dan kedalaman perasaan. Namun maknanya kemudian menjadi berbelok ketika berada dalam frasa ‘film biru’ yang diasosiasikan sebagai film yang dipenuhi dengan adegan seksual.

Hitam, seperti yang kita tahu, pemaknaannya sering menunjuk ke arah kejahatan. ‘Kampanye hitam’ merujuk ke kampanye dengan segala macam usaha yang tak patut dan melanggar peraturan. Demikian juga dengan ‘kelompok hitam’, ‘aliran hitam’, dan ‘ilmu hitam’. Namun warna hitam mengalami pergeseran makna ketika berada dalam frasa ‘kambing hitam’, di mana ia justru menjadi personifikasi korban atas tuduhan palsu yang disengaja. Pun ketika ia dipakai dalam upacara perkabungan, dan menjadi penanda perasaan sedih serta kehilangan.

Warna oranye dalam frasa ‘pasukan oranye’ juga langsung bisa diasosiasikan ke dalam makna tertentu. Warna itu bahkan menjadi ciri khas bagi para pemadam kebakaran lantaran seragam/pakaian yang sudah melekat sekian tahun. Oranye, yang dalam penelitian Jung, masuk dalam kategori warna-warna beraura ‘panas’ dikatakan membawa aura penyemangat baik kepada pemakai maupun orang-orang yang memandangnya.

Putih yang diidentikkan dengan makna bersih, suci, baik, dan benar, telah dipercaya dan dikonstruksi pemaknaannya oleh manusia di masa lampau sebagaimana warna abu-abu yang dijadikan sebagai simbol keragu-raguan, tokoh ambigu, ketidakpercayaan, atau peralihan (antara baik dan buruk). Dalam cerita atau dongeng-dongeng berbau kepahlawanan, tokoh baik sering digambarkan muncul atau lahir dari cahaya, memancarkan aura putih bersih, dan atau memiliki ilmu yang memancarkan cahaya (berwarna menyilaukan/putih?). Bendera putih yang muncul dalam sebuah peperangan, telah disepakati sebagai tanda menyerah dan keluar dari pertikaian. Pun mengapa pakaian para tenaga medis berwarna putih, lantaran ia tidak termasuk dalam dua kubu yang berseteru.

Namun, kita tetap harus memperhatikan konteks kalimat. “Sartono merupakan tokoh abu-abu”, tidak bisa disamakan dengan “Ceritanya masih abu-abu”. Lantaran ‘abu-abu’ merupakan kata sifat, maka pemaknaannya harus mengikuti kata benda yang disifati. ‘Sartono’ dan ‘cerita’ jelas merupakan dua subjek yang berbeda meski pemaknaan ‘abu-abu’ bisa mengandung arti kebelumjelasan keduanya.

Warna, tampaknya telah menjadi bagian konstruksi budaya dan daya ungkap bahasa.*

 

 

photo/Ilustrasi/fluff.indiquehair.com

Nur Hadi, Harian Kompas, 19 Mei 2020

 Lampung Post, 30 Mei 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar