Minggu, 02 Mei 2021

Antara Buku-Buku Gramedia, Aku, dan Cita-Cita yang Absurd Itu

 

 


 

Mengapa judul tulisan bebas ini saya beri judul sepanjang kereta api? Ya, lantaran isinya juga sama. Perihal cita-cita. Menurutku cita-cita adalah sesuatu yang panjang. Sesuatu yang tak pernah akan selesai.

Tidak percaya? Hehe, boleh-boleh saja. Boleh jadi, dirimu memang sudah meraih apa yang kau cita-citakan 5 tahun, 8 tahun, 10 tahun, atau bahkan 15 tahun silam. Aku dulu juga pernah seperti itu. Ingin tahu apa cita-citaku dulu—sewaktu aku masih SD?

 

Dulu sekali, aku pernah ingin menjadi guru. Ya, biasalah, anak-anak. Lantaran terinspirasi beberapa sosok guru SD yang kukagumi, aku pun menanamkan tekad akan menjadi seorang guru. Apalagi, kelak, di kemudian hari, aku juga berhutang budi dengan sesosok guru (guru madrasah diniyyah) yang menyekolahkanku ke jenjang Madrasah Aliyah, setelah Bapak memberiku kabar sedih bahwa beliau hanya mampu menyekolahkanku hingga tamat SMP (krisis moneter 1997 memukul telak bisnis kerajinan barlen Bapak).

Cita-cita itu akhirnya tercapai saat umurku menginjak 20-an Oleh guruku yang amat kukagumi itu, aku ditugasi untuk menggantikan beliau mengajar pada sekolah madrasah diniyyah wustha yang beliau rintis di desa kelahiranku. Dari situlah aku mulai merasakan denyut kehidupan seorang guru—utamanya guru madrasah, yang tak gampang itu. Ya memang tak gampang, sebab aku harus menguasai banyak materi keagamaan utamanya materi kebahasaan dalam bahasa Arab dalam umur semuda itu—tanpa melalui pintu pesantren.

Setelah merasa cita-citaku tercapai, ternyata aku mulai merasakan kekosongan. Dan setelah menjadi guru, lalu apa? Timbul banyak pertanyaan yang kemudian membuatku banyak berdebat dengan diri sendiri, hingga kemudian berujung pada keputusan untuk berhenti mengajar dan memilih meletakkan amanat yang telah diberikan guruku itu. Masih kuingat dengan baik, waktu itu tahun 2006, akhirnya aku memutuskan merantau ke Jogja, demi mencari pengalaman baru.

Mengapa harus kuceritakan sepenggal kisah hidupku dalam tulisan ini? Karena sampai detik ini, entah sudah berapa kali aku memiliki cita-cita yang akhirnya berubah dan terus berubah. Ada yang lantaran sudah tercapai, lantaran tergoda dengan sesuatu yang lain, bahkan ada yang lantaran sepertinya cita-cita tersebut berlaku seumur hidup dan tak akan pernah selesai sampai kematian menjemput.

Tahun 2004 adalah tahun ketika aku mendapatkan semacam ilham konyol untuk bercita-cita menjadi seorang sastrawan. Bayangkan, sastrawan! Sebelum kemudian aku tahu siapa itu sastrawan, dan apakah ada kepantasan, atau seberapa kuat aku akan menapaki jalan absurd menuju (menjadi) sastrawan, cita-cita tersebut benar-benar terasa menggairahkan. Ketika memenangi lomba penulisan cerita pendek di sebuah majalah, aku merasa bahwa cita-cita tersebut akan bisa kucapai—meski entah kapan.

Hingga akhirnya, setelah sekian tahun, setelah mengenal (baik melalui medium buku, televisi, dan koran) beberapa sosok sastrawan sungguhan, aku mulai merasa bahwa kali ini aku akan mengalami kegagalan telak. Sastrawan adalah sosok idealis nan gagah yang kenyataannya sulit untuk dicapai. Bahkan, beberapa sastrawan dalam sepengetahuanku, menolak disebut sebagai sastrawan padahal memang beliau-beliaulah yang layak menyandang gelar sastrawan itu. Pada satu titik, kemudian aku sampai pada pemikiran bahwa apa yang kita cita-citakan sebenarnya tidaklah penting-penting amat. Yang paling penting adalah seberapa bermanfaatnya kita terhadap kehidupan ini.

Sejak mendapatkan pemikiran itulah akhirnya aku hidup tanpa terbebani dengan cita-cita ini atau itu lagi. Keinginan untuk terus menebarkan kebermanfaatan tentu saja masih terus ada. AMJ (Akademi Menulis Jepara) yang selama ini kami asuh, juga berjalan atas landasan hal itu.

Baca; Tentang AMJ

Akhirnya aku tak berani lagi memelihara cita-cita. Jika Dilan pernah bilang “Rindu itu berat”, aku mau bilang, “yang berat itu sebenarnya mengejar cita-cita”. Sebab setelah cita-cita itu tercapai, akan timbul sebuah kekosongan, hingga kemudian kau menginginkan cita-cita lain lagi (umumnya yang lebih tinggi dan lebih menarik) untuk mengisi kekosongan jiwa itu. Seperti yang sudah kubilang di awal tulisan, cita-cita adalah sesuatu yang tak akan pernah selesai, sampai jasad kita dikubur dan diberi nisan. Jadi, dalam mengejar cita-cita, aku berprinsip untuk santai saja. Pun kalau tidak kesampaian, tidak akan ada rasa kecewa yang terlalu mendalam.

Eit, lantas apa sih hubungan cerita ngalor-ngidul di atas dengan buku-buku Gramedia? Jelas ada hubungannya. Bahkan, selama perjalanan hidup saya dalam menyusuri cita-cita yang absurd itu, buku-buku terbitan Gramedia banyak memberi andil yang tak mudah dilupa. Apalagi dalam kurun tahun 2013 hingga 2017 ketika aku sempat menggantungkan hidup dari penghasilan sebagai penulis freelance beragam genre tulisan; dari mulai cerpen, esai, resensi buku, hingga belakangan puisi.

Harus diakui, beberapa buku terbitan Gramedia yang pernah kubaca memberikan suguhan referensi yang luas dan mendalam dibandingkan buku-buku terbitan penerbit lain. Premis yang disuguhkannya pun rata-rata bukan masalah ringan yang akan hilang meski mungkin bukunya sudah tidak beredar di toko-toko buku lagi.

Salah satu buku yang pernah aku baca itu adalah “Anak Cino, Pencarian Jati Diri Keluarga Cina di Pedesaan Jawa” karya Handoko Widagdo yang terbit pada tahun 2017 silam. Buku ini disajikan dengan gaya bionarasi; menarasikan sejarah hidup keluarga sembari menggelar perjalanan sejarah kelompok Cina di Indonesia. Dengan gaya narasi yang segar itu, membaca sejarah jadi tidak merasa bosan. Dengan senang hati, ingatanku bekerja menandai kejadian-kejadian penting yang terselip di antara runtut kisah hidup si Handoko. Melalui buku inilah aku mendapatkan banyak pesan penting tersirat yang selama ini belum aku ketahui—terkait kondisi warga keturunan Tionghoa. Dan akhirnya terbitlah beberapa resensi buku tersebut di beberapa media cetak.


     Bahwa warga keturunan Tionghoa sebenarnya sama-sama merasakan masalah yang sama dengan warga pribumi, terutama atas persoalan yang timbul akibat kebijakan pemerintah. Memoar itu menjadi semacam dekonstruksi terhadap anggapan yang menyatakan bahwa “anak Cino” adalah entitas terpisah, atau bahkan anak tiri Indonesia, meski dalam perjalanan panjangnya sering mengalami diskriminasi. Buku ini memberikan jendela dengan pemandangan yang amat luas bagi saya, lantaran hidup saya yang tak sekali dua bersinggungan dengan anak-anak Cino itu. Mengapa banyak warga keturunan Tionghoa yang lebih sukses di bidang bisnis ketimbang politik, dan lain sebagainya. Buku yang (sepertinya) membawa misi berat ini terasa enteng dibaca lantaran disuguhkan dalam sebuah cerita. Singkat cerita, buku ini mengubah banyak paradigma berpikir saya. Dan perubahan paradigma berpikir itu bisa kau baca melalui cerpen saya yang terinspirasi buku keren ini, dan kebetulan berhasil termuat dalam Koran Tempo. 

Baca; Rumah Pahlawan, Adi Zamzam

Gramedia tampaknya juga berusaha memberikan jendela kepada pembaca untuk melongok Indonesia secara lebih mendalam. Sebut saja buku-buku fiksi karya teman seangkatan saya, Muna Masyari (Rokat Tase), Guntur Alam (Jurai), atau Faisal Oddang (Dari Puya ke Puya) yang menghadiahi pembaca dengan lokalitas alam sosial budaya mereka. Membaca karya-karya mereka mengingatkanku dengan dengan Harian Kompas—masih satu induk perusahaan dengan Gramedia—yang  menerakan semboyan “Amanat Hati Nurani Rakyat”, bahwa 

 

"Gramedia Grup tampaknya memang memperlihatkan cetak biru upaya pengabadian beragam permasalahan keIndonesiaan".

 

Kerja pengabadian lewat buku. Kita seolah digiring menuju pemikiran, jika ingin membaca Indonesia, bacalah buku-buku Gramedia. Gramedia seolah menjadi pintu gerbang untuk menuju semua persoalan keIndonesiaan.

 Sebagai contoh kecil lagi, jika kamu pernah membaca “Negeri Harapan” karya Gayatri, dkk. kamu akan menemukan bahwa masalah yang disajikan di dalamnya pernah menjadi perbincangan nasional selama sekian waktu. Baca; Gayatri, dkk. Negeri Harapan  Atau “Penanganan Konflik Lingkungan, Kasus Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis Lampung” yang memaparkan sejumlah konflik sosial budaya di sekitar kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis. Baca; Gamal Pasya, Penanganan Kasus Bukit Rigis 

Buku-buku tersebut memberikan suguhan yang terasa tak lekang meski akan tertimbun ribuan premis persoalan lainnya. Dan aku lagi-lagi merasa beruntung lantaran kedua buku tersebutlah yang memberikan inspirasi hingga menjadi sebuah cerpen yang akhirnya menjadi nominasi pemenang dalam Lomba Cerpen Krakatau Award. Baca; Krakatau Award 2018

Selama ini saya mencatat jika keberhasilan menerbitkan buku di bawah lini Gramedia (Grup) kemudian menjadi semacam impian beberapa orang. Mereka bangga jika menjadi bagian dari Gramedia (Grup). Ada semacam anggapan tak tertulis yang berkembang di antara benak para penulis (dan pembaca), bahwa jika sudah mampu menerbitkan buku di sana, berarti sudah diakui sebagai penulis jempolan. Aku tak sepenuhnya setuju dengan anggapan tersebut, meski mengakui bahwa Gramedia memang tampak begitu selektif dalam memilih bahan-bahan yang hendak dijadikan buku. Bisa saja aku menyebut beberapa nama penulis terkenal yang karya-karyanya telah diterbitkan di sini. Gramedia seolah memberikan citra berkelas dalam ranah perbukuan. Apalagi hal tersebut didukung dengan jaringan toko buku yang menjadi mata tombak dalam penyebaran buku-buku terbitannya. Hal itulah yang membuatku menyimpan keinginan untuk (suatu saat nanti) menerbitkan buku di sana juga.

Aku tak mau menyebut keinginan itu sebagai cita-cita. Bukan lantaran tahu kadar kesulitannya dan takut gagal, tapi sebagaimana yang telah kuceritakan di awal, cita-cita adalah sesuatu yang takkan pernah berhenti dan seringnya hanya membawakan rasa kecewa. Kecewa lantaran setelah tercapai, tugas hidup kita seolah sudah selesai. Padahal setelah itu kita akan dihadapkan pada sebuah dilematika; setelah menerbitkan buku, lalu apa? Bukankah lebih baik menulis lagi, dan lagi? Sampai mati, sampai tak ada lagi yang bisa dibagi.

Pada titik tersebut, kamu mungkin akan bertanya-tanya, sebegitu pentingkah menulis, atau terutama menerbitkan buku?

Oh, sepertinya kamu butuh diajak jalan-jalan dulu untuk menelusuri ingatan saat pandemi Covid-19 mulai memaksa semua penduduk bumi dianjurkan untuk lebih baik berdiam diri di rumah saja. Selain peralatan telekomunikasi digital yang canggih, buku-buku ternyata juga menjadi salah satu penyelamat warga dunia. Selain menjadi ajang berbagi pengetahuan, setidaknya buku (baik dalam bentuk cetak fisik maupun digital) juga punya andil menahan laju mobilitas manusia. 

 

"Namun demikian, meski laju fisik tertahan kondisi pandemi, buku tetap memberikan akses mobilitas pikiran".

 

Buku adalah kumpulan pengalaman dan pengetahuan yang sudah dibekukan dan siap dibagikan kepada kamu-kamu yang miskin dan lapar pengetahuan. Dan Gramedia mengajari kita untuk terus berbagi kepada dunia, sekaligus memberi contoh bahwa orang-orang yang senang berbagi akan mendapatkan tempat khusus nan terpuji. Bukankah keren, saat pemikiranmu bisa dibaca oleh khalayak luas, syukur-syukur bisa turut memengaruhi cara berpikir mereka juga?

Bagaimana, apa kamu mulai tertarik untuk menulis sebuah buku? Tulis kalimat pertamamu sekarang juga ya! Aku sudah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar