Kamis, 20 Mei 2021

Belenggu Antroposentrisme

 

Belenggu Antroposentrisme

 

 



Judul Buku  :  Rokat Tase

Penulis        :  Muna Masyari

Penerbit       :  Penerbit Buku Kompas

Cetakan       :  Pertama, 2020

Tebal           :  177 halaman

ISBN           :  978-623-241-207-1

 

Dalam ‘The Politics’ Aristoteles pernah menulis pernyataan—yang kemudian menjadi dasar dari pandangan  antroposentrisme yang menyatakan bahwa setiap ciptaan yang lebih rendah ditujukan untuk kepentingan ciptaan yang lebih tinggi. Rene Descartes, Thomas Aquinas, dan Immanuel Kant adalah beberapa pemikir yang mendukung pandangan itu. Lantaran dianugerahi kehendak bebas dan kemampuan pikir, manusia yang diyakini sebagai ciptaan paling tinggi kemudian menjadi pusat dari segalanya.

Manusia adalah sumber konflik, apalagi jika sudah terbelit kepentingan. Bahkan dalam beragama pun, ketika manusia (disangka) menjadi pusat segala kepentingan, agama pun menjadi hanya sebatas alat pemuas, atau malah penghalang. Padahal agama diturunkan justru untuk mengatur mereka. Dalam perjalanan sejarah umat manusia, egoisme dalam antroposentrisme seringkali menjadi pemicu beragam konflik.

Kita bisa membaca itu dalam ‘Rokat Tase’, cerpen yang judulnya diadopsi menjadi judul buku ini. Tak seperti beberapa judul cerpen dalam buku ini yang cetak biru ceritanya hitam putih, ending cerpen ini menggambarkan penyesalan batin sang mertua, padahal akhirnya ia ‘berhasil’ memaksa menantunya untuk turut serta dalam acara pelarungan kepala sapi beserta persembahan lainnya dalam rangka rasa syukur atas hasil laut yang senantiasa melimpah (hal. 20). Itulah ‘rokat tase’, yang dalam pandangan si menantu tergolong perbuatan terlarang dalam agama, lantaran kemudian juga disusuli dengan pertunjukan ludruk atau orkes dangdut yang seringkali memicu perbuatan-perbuatan buruk. Sayangnya, keberhasilan sang mertua itu harus dibayar mahal lantaran kemudian si menantu yang tidak memiliki keterampilan melaut menjadi salah satu korban keganasan ombak pasang. Tak ada kompromi dalam keyakinan dua tokoh tersebut. Si menantu yang kalah posisi (dan otoritas) akhirnya menjadi ‘korban’.

Cerpen di atas sebenarnya bisa dibaca sebagai simbol model konflik yang biasa terjadi di negeri kita yang majemuk ini. Dalam realitanya, posisi dua tokoh (yang mewakili dua kelompok) tersebut bisa terbalik. Celakanya, penulis hanya menggambarkan penyesalan batin sebagai akhir konflik, yang seolah menyiratkan bahwa kasus-kasus semacam itu memang seringkali tak bisa dihentikan, diurai, atau (syukur-syukur) dicarikan jalan keluar.

Dalam ‘Tambang Sapi Karapan’ kita juga akan disuguhi konflik yang bermuara dari antroposentrisme. Tak hanya simbolisme dominasi joki atas sapi karapan melalui tambang sapi karapan, kita juga akan disuguhi tentang cerita klise dominasi lelaki atas perempuan. Suraksah meyakini sebuah pandangan bahwa Mukassar—jawara joki sapi karapan memiliki kedudukan istimewa tersendiri dan sepatutnya layak mendapatkan cinta Marsiyeh—anak perempuannya sendiri. Tanpa pernah peduli bahwa anak perempuannya itu justru memendam perasaan benci sekaligus jijik atas perlakuannya sendiri terhadap istri—ibu Marsiyeh (hal. 50).

Dari kasus tersebut, kita juga bisa bertanya apakah patrilinealisme merupakan akibat dari antroposentrisme? Jika menduga bahwa agamalah pencetusnya, rasanya argumen ini masih bisa dibantah, lantaran agama juga memberikan posisi tersendiri terhadap kaum perempuan—sesuai dengan daya dan fungsi sosialnya. Namun dalam beberapa cerpen yang disuguhkan Muna ini, kita diperlihatkan perihal posisi perempuan yang seringkali kalah posisi dalam tatanan adat yang masih bersumbu pada sistem patrilineal.

Dalam perjalanan sejarah budaya kita, feminisme menjadi bukti akan adanya dominasi itu. Ada sentimen-sentimen yang mengatakan bahwa kaum lelaki lebih tinggi derajatnya dan penciptaan perempuan hanya ditujukan untuk melayaninya. Maka tak heran jika kaum perempuan kemudian menggaungkan ‘perlawanan’ atas dominasi tersebut. Bacalah ‘Nyeor Pote’, ‘Kuburan Keenam’, atau ‘Pemesan Batik’ yang mengisahkan sakit hati, dendam kesumat, cara-cara licik, sekaligus keberanian—mendobrak ketidakadilan antargender tersebut.

Lepas dari semua cerita yang bergaya konvensional--yang kadang membuat jemu, buku yang menyajikan ragam Madura dalam fiksi ini mungkin bisa dijadikan model umum lokalitas masyarakat adat kita yang masih terbelenggu antroposentrisme—yang melahirkan beragam konflik. Dalam sejarah panjangnya, antroposentrisme ini kerap memunculkan figur-figur subjek yang memperalat apa pun demi menopang eksistensi serta kepentingannya. Namun sejalan dengan itu, muncul pula figur-figur yang berusaha menentangnya.

 

Artikel ini telah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat 12 Januari 2021 dalam versi pendek. 

Peresensi; Nur Hadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar