Masa
Depan; Hancur?
Beberapa waktu silam, ketika
berita perundungan seorang siswi SMU yang dilakukan oleh kawan-kawannya sendiri—hingga
merusak keperawanannya, merebak di media sosial, beragam tanggapan/status dan
komentar pun bermunculan pula di media sosial. Beberapa status tanggapan di
media sosial itu mengatakan bahwa para siswi tersebut telah merusak dan
menghancurkan masa depan korban perundungan dan pelecehan tersebut.
Dalam kasus yang hampir serupa,
seorang ayah diberitakan telah mencabuli anak kandungnya sendiri selama tiga
tahun hingga mengandung. Ketika berita tersebut diunggah di medsos oleh media bersangkutan, beragam
komentar juga bermunculan. Dan lagi-lagi komentar yang senada juga hadir dengan
sadisnya; bahwa si bapak jelas telah menghancurkan masa depan anak kandungnya
sendiri!
Adakah yang salah dari dua
komentar serupa tersebut?
Pertama, saya ingin
membicarakannya dari tataran kebahasaan dulu. Lantaran kita berbicara dari segi
bahasa, maka jelas kita harus mengetahui apa makna frasa tersebut. Masa lalu,
adalah masa yang sudah dilalui, masa yang sudah terjadi. Masa depan, adalah
masa yang berada di depan, belum dilalui, dan belum terjadi.
Masa lalu jelas akan membawa
pengaruh terhadap masa depan. Orang yang tadinya normal, mengalami kecelakaan
dan patah kaki, maka selanjutnya ia harus hidup dengan kecacatannya itu. Namun,
apakah masa depannya sudah hancur, atau (bahkan dalam skala kecil) rusak?
Seperti yang kita ketahui
sebelumnya, bahwa masa depan adalah masa yang belum diketahui, masa yang belum
terjadi, masa yang belum kita alami, masa yang absurd, lalu bagaimana bisa
rusak atau hancur? Kita hanya bisa menerka dan membayangkan berdasarkan variabel-variabel
yang kita ketahui, sementara variabel kehidupan/realita sebenarnya lebih
kompleks dan kadang tak terduga. Jika yang dimaksud adalah membawa perubahan
yang (dianggap) buruk, pemaknaan ini pun saya rasa masih belum tepat, sebab
pemaknaan dan penamaan ‘baik’ atau ‘buruk’ kembalinya menjadi subjektif, tergantung
subjek yang mengalaminya. Jika subjek kemudian merasa bahwa ia tidak bisa
melanjutkan hidupnya lagi, bahwa ia sudah tak bisa melakukan apa-apa lagi, maka
dari situlah bisa dikatakan bahwa masa depan subjek tersebut sudah rusak.
Lantas, kata apakah kiranya yang
bisa mewakili maksud netizen di atas?
Jika ‘rusak’ atau ‘hancur’ menjadi sesuatu yang dikhawatirkan, maka
sesungguhnya banyak hal yang bisa dikhawatirkan atas korban perundungan. Beberapa
hal buruk itu menjadi semacam ancaman tak kasat mata yang jika diabaikan
dikhawatirkan akan menjadi masa depan yang nyata. Dari sinilah pembicaraan
frasa ‘masa depan’ mulai bisa dikaji lewat tataran psikologi bahkan kemudian
tataran agama.
Saya tengah membayangkan ketika
Anda berada di dekat korban perundungan dan kemudian mengatakan, “Dia telah
menghancurkan masa depanmu. Masa depanmu sudah dirusak!” Kira-kira, apa yang
akan terjadi selanjutnya? Apakah masa depannya akan benar-benar menjadi rusak? Ataukah
masa depannya bisa berubah menjadi baik?
Kesalahan pertama dalam kasus
tersebut, Anda jelas bertindak sok tahu. Sementara kesalahan berikutnya,
kalimat Anda lah yang justru menambah beban psikologis bagi korban, alih-alih
menambah semangat hidupnya.
Dalam tataran agama, kata ‘rusak’
atau ‘hancur’ juga tidak diperbolehkan. Ketika menjenguk seseorang yang
tertimpa musibah, kita justru dianjurkan mengucapkan hal-hal yang baik-baik
saja.
Dalam skop yang lebih luas,
beberapa media massa kita juga kedapatan sering melakukan kesalahan yang sama
dengan kelakuan para netizen di atas.
Coba mari kita pelajari dengan saksama judul-judul yang saya ambilkan dari
beberapa media berikut ini.
Masa Depan Keluarga Ini Hancur
Lewat Sebuah Pesan di Whatsapp.
Masa Depan Mawar Hancur hingga
Hamil 2 Bulan.
Narkoba Dapat Hancurkan Masa
Depan Generasi Muda.
Masa Depan Hancur karena
Pergaulan Bebas.
Pada kalimat pertama, kata
‘hancur’ terasa benar berlebihan lantaran tentu saja keluarga tersebut masih
bisa merancang/menemukan jalan keluar untuk membangun kelangsungan keluarga.
Sementara kalimat kedua, sudah kita bahas sebelumnya, bahwa kalimat tersebut
kurang mengindahkan etiket. Kalimat ketiga, diksi ‘hancur’ juga bisa dinilai
kurang tepat lantaran kondisi masa depan masih dalam taraf dikhawatirkan dan terancam.
Sementara pada kalimat keempat, kata ‘hancur’ juga masih terasa mengambang dan
kurang tepat.
Sekali lagi, masa depan adalah
hal yang belum terjadi. Apa yang kita bayangkan dan khawatirkan, juga belum
tentu terjadi. Memang ada tanda-tanda yang bisa kita baca, namun tindakan dan
sikap kita di masa sekaranglah yang membawa risiko. Percayalah, masa depan kita
belum hancur selama kita masih mau berusaha, apa pun hasilnya!*
Nur Hadi, Dimuat Harian Lampung Post, 2
April 2020.
seberapun kelamnya masa lalu seseorang, masa depannya masih suci.
BalasHapus