Minggu, 31 Mei 2020

Kesalahan Bahasa (yang Dimaklumi?)


Kesalahan Bahasa (yang Dimaklumi)?




Jika Anda berkendara di jalanan, mungkin dengan mudahnya akan menemukan frasa ‘cucian motor/mobil’, ‘warung makan’, dan setipenya. Pernahkah Anda berpikir bahwa sebenarnya ada kejanggalan dalam frasa tersebut? Imbuhan ‘-an’ dalam “cucian motor” yang seharusnya memiliki arti hasil dari proses mencuci, justru digunakan untuk menunjuk pada tempat pencucian motor. Frasa ‘warung makan’ juga tidak berarti warungnya (yang sedang) makan. Tetapi lebih kepada pengertian warung tempat memesan makanan. Namun lantaran kita (dianggap) sudah mafhum tentang maksud dari sang pemasang tulisan tersebut, jadilah semuanya terasa/dianggap wajar dan benar.

Charles Sanders Peirce (1839-1914), filsuf, pemikir, matematikawan, sekaligus ilmuwan yang dikenal sebagai tokoh semiotika dari Amerika (melalui Alex Sobur, 2003: 35) pernah mendedahkan perihal pendekatan akan tanda melalui keterkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Dari sinilah kemudian kita mendapatkan kesimpulan bahwa setiap tanda bisa ditentukan, dimaknai, dan dibuat melalui objeknya. Ketika papan yang bertuliskan ‘cucian motor’ terbaca oleh mata, spontan kita langsung mendapatkan gambaran interpretasi akan objek denotatif sebuah tempat yang digunakan untuk mencuci motor. Kata “cucian” pun kemudian seolah menjadi terabaikan sebab pemahaman sudah tertangkap oleh indera.
Dari situ, penjelasan Umberto Eco bahwa satu tanda harusnya dihubungkan dengan ‘perihal isi’ jadi akan terbaca/lebih mengutamakan pada konsep fungsi. Jika pembaca atau komunikan sudah mafhum dengan apa yang dimaksud oleh komunikator, bahasa menjadi tak penting lagi, sebab fungsinya sudah tercapai. Bukankah bahasa sebenarnya hanyalah alat untuk menyampaikan maksud semata? Fungsi bahasa menjadi nisbi, bergantung siapa dan dari sudut mana ia memandang. Jika yang memandang adalah awam, bahasa tersebut telah berfungsi sebagaimana mestinya. Jika yang memandang adalah pakar bahasa, kesalahan itu meski terasa menggelikan namun juga telah berfungsi sebagai penyampai pesan. Sebab, pemahaman adalah milik semua, sementara bahasa hanyalah milik para pemerhatinya. Dikotomi ini kemudian memang menjadi riskan dalam perkara ‘pembumi’an bahasa (yang baik dan benar)—terutama sastra. Tapi itu tidak kita bicarakan dalam ruang ini dulu.
Kata atau bentukan frasa semacam; ‘cucian motor’, ‘masakan spesial Padang’, ‘ayam bakar Mbak Titik’, ‘aneka gorengan’, dan sejenisnya—yang berderet-deret di pinggir jalan itu seolah telah berubah dan sama fungsinya dengan kata isyarat ‘ini’, ‘itu’, ‘di sini’, ‘di sana’, lantaran berfungsi sebagai petunjuk kepada komunikan. Apalagi ketika bentukan frasa tersebut dibuat dengan menuruti kaidah bahasa yang benar justru akan menimbulkan kesan lucu, aneh, tak wajar, juga kurang praktis; ‘di sini adalah tempat untuk mencucikan motor Anda’, ‘di warung makan kami, siap menyediakan beragam masakan spesial Padang’, ‘kami menyediakan menu khas ayam bakar bikinan Mbak Titik yang jago bikin ayam bakar’, dlsb. Prinsip kesederhanaan dan kenyamanan dalam berbahasa pun jadi terabaikan. Apalagi frasa-frasa tersebut jelas dalam posisi sebagai iklan yang bahasanya memakai prinsip, padat, praktis, dan kalau bisa; menarik.
Permasalahannya sekarang adalah perihal toleransi dalam pembiaran kesalahan berbahasa (yang dimaklumi?) tersebut. Apakah toleransi itu tak justru menimbulkan kerancuan, sehingga bisa melahirkan reproduksi kesalahan yang berulang—terutama bagi kalangan awam?
Lantas, bagaimana pula cara memberikan sosialisasi untuk memberikan pengertian yang benar kepada komunikator, perihal penyusunan frasa atau kalimat yang benar? Bukankah hal itu terlihat seperti sebuah usaha yang sia-sia dan konyol—terlebih jika komunikatornya adalah orang yang awam/masa bodo dengan bahasa? Sebab tanpa penjelasan pun, komunikan sudah paham dengan apa yang dimaksud oleh papan-papan nama itu.
Tampaknya, sejak dari dilahirkan, manusia memang ditakdirkan harus bisa dan mau menerima kesalahan-kesalahan bahasa yang mereka ciptakan sendiri. Buktinya, meski bayi dan para anak begitu belepotan dalam berbahasa, toh para orangtuanya tetap mampu menangkap apa yang dimaksudkan. Bahasa isyarat lebih dominan menggunakan perasaan. Dan perasaan selalu lebih peka ketimbang indera. Jadi, pemakluman ini sebenarnya hanyalah semacam jalan tengahnya saja.
Jadi kalau nanti ada tetanggamu yang bilang, “Saya mau pergi ke cucian motor.” Saya harap kamu sudah paham maksudnya. Tak usah meributkan kesalahan berbahasanya. Kau hanya akan membuang-buang waktu. Begitu.*

*Nur Hadi, Laras Bahasa, lampung Post, 14 Maret 2019. 
Gambar diambil dari Lampungpost.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar