Kesalahan Bahasa (yang Dimaklumi)?
Jika
Anda berkendara di jalanan, mungkin dengan mudahnya akan menemukan frasa
‘cucian motor/mobil’, ‘warung makan’, dan setipenya. Pernahkah Anda berpikir
bahwa sebenarnya ada kejanggalan dalam frasa tersebut? Imbuhan ‘-an’ dalam “cucian
motor” yang seharusnya memiliki arti hasil dari proses mencuci, justru
digunakan untuk menunjuk pada tempat pencucian motor. Frasa ‘warung makan’ juga
tidak berarti warungnya (yang sedang) makan. Tetapi lebih kepada pengertian
warung tempat memesan makanan. Namun lantaran kita (dianggap) sudah mafhum tentang
maksud dari sang pemasang tulisan tersebut, jadilah semuanya terasa/dianggap
wajar dan benar.
Charles
Sanders Peirce (1839-1914), filsuf, pemikir, matematikawan, sekaligus ilmuwan
yang dikenal sebagai tokoh semiotika dari Amerika (melalui Alex Sobur, 2003:
35) pernah mendedahkan perihal pendekatan akan tanda melalui keterkaitan dengan
objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab akibat
dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.
Dari sinilah kemudian kita mendapatkan kesimpulan bahwa setiap tanda bisa
ditentukan, dimaknai, dan dibuat melalui objeknya. Ketika papan yang
bertuliskan ‘cucian motor’ terbaca oleh mata, spontan kita langsung mendapatkan
gambaran interpretasi akan objek denotatif sebuah tempat yang digunakan untuk
mencuci motor. Kata “cucian” pun kemudian seolah menjadi terabaikan sebab
pemahaman sudah tertangkap oleh indera.
Dari
situ, penjelasan Umberto Eco bahwa satu tanda harusnya dihubungkan dengan
‘perihal isi’ jadi akan terbaca/lebih mengutamakan pada konsep fungsi. Jika
pembaca atau komunikan sudah mafhum dengan apa yang dimaksud oleh komunikator,
bahasa menjadi tak penting lagi, sebab fungsinya sudah tercapai. Bukankah
bahasa sebenarnya hanyalah alat untuk menyampaikan maksud semata? Fungsi bahasa
menjadi nisbi, bergantung siapa dan dari sudut mana ia memandang. Jika yang
memandang adalah awam, bahasa tersebut telah berfungsi sebagaimana mestinya.
Jika yang memandang adalah pakar bahasa, kesalahan itu meski terasa menggelikan
namun juga telah berfungsi sebagai penyampai pesan. Sebab, pemahaman adalah
milik semua, sementara bahasa hanyalah milik para pemerhatinya. Dikotomi ini
kemudian memang menjadi riskan dalam perkara ‘pembumi’an bahasa (yang baik dan
benar)—terutama sastra. Tapi itu tidak kita bicarakan dalam ruang ini dulu.
Kata
atau bentukan frasa semacam; ‘cucian motor’, ‘masakan spesial Padang’, ‘ayam
bakar Mbak Titik’, ‘aneka gorengan’, dan sejenisnya—yang berderet-deret di
pinggir jalan itu seolah telah berubah dan sama fungsinya dengan kata isyarat
‘ini’, ‘itu’, ‘di sini’, ‘di sana’, lantaran berfungsi sebagai petunjuk kepada
komunikan. Apalagi ketika bentukan frasa tersebut dibuat dengan menuruti kaidah
bahasa yang benar justru akan menimbulkan kesan lucu, aneh, tak wajar, juga
kurang praktis; ‘di sini adalah tempat untuk mencucikan motor Anda’, ‘di warung
makan kami, siap menyediakan beragam masakan spesial Padang’, ‘kami menyediakan
menu khas ayam bakar bikinan Mbak Titik yang jago bikin ayam bakar’, dlsb.
Prinsip kesederhanaan dan kenyamanan dalam berbahasa pun jadi terabaikan.
Apalagi frasa-frasa tersebut jelas dalam posisi sebagai iklan yang bahasanya
memakai prinsip, padat, praktis, dan kalau bisa; menarik.
Permasalahannya
sekarang adalah perihal toleransi dalam pembiaran kesalahan berbahasa (yang
dimaklumi?) tersebut. Apakah toleransi itu tak justru menimbulkan kerancuan,
sehingga bisa melahirkan reproduksi kesalahan yang berulang—terutama bagi
kalangan awam?
Lantas,
bagaimana pula cara memberikan sosialisasi untuk memberikan pengertian yang
benar kepada komunikator, perihal penyusunan frasa atau kalimat yang benar?
Bukankah hal itu terlihat seperti sebuah usaha yang sia-sia dan konyol—terlebih
jika komunikatornya adalah orang yang awam/masa bodo dengan bahasa? Sebab tanpa
penjelasan pun, komunikan sudah paham dengan apa yang dimaksud oleh papan-papan
nama itu.
Tampaknya,
sejak dari dilahirkan, manusia memang ditakdirkan harus bisa dan mau menerima
kesalahan-kesalahan bahasa yang mereka ciptakan sendiri. Buktinya, meski bayi
dan para anak begitu belepotan dalam berbahasa, toh para orangtuanya tetap
mampu menangkap apa yang dimaksudkan. Bahasa isyarat lebih dominan menggunakan
perasaan. Dan perasaan selalu lebih peka ketimbang indera. Jadi, pemakluman ini
sebenarnya hanyalah semacam jalan tengahnya saja.
Jadi
kalau nanti ada tetanggamu yang bilang, “Saya mau pergi ke cucian motor.” Saya
harap kamu sudah paham maksudnya. Tak usah meributkan kesalahan berbahasanya.
Kau hanya akan membuang-buang waktu. Begitu.*
*Nur Hadi, Laras Bahasa, lampung Post, 14 Maret 2019.
Gambar diambil dari Lampungpost.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar