Dan Pembaca pun Boleh Bosan
Awal tahun 2000-an boleh dibilang adalah era masa gemilangnya buku-buku
fiksi islami. Dipelopori oleh majalah remaja Annida, sebuah media yang banyak
memberikan jalan bagi para penulisnya untuk mengenalkan apa itu yang disebut
sebagai sastra islami. Di majalah remaja inilah banyak bermunculan
penulis-penulis yang sekarang namanya dikenal sebagai ‘pabrik’ fiksi islami—meski
sebagiannya kemudian menyeberang ke sastra arus utama. Pada era itu pula banyak
penerbit mulai membuka lini fiksi islami. Namun tujuh belas tahun kemudian
(1992-2009), seiring dengan meredupnya booming
fiksi islami, majalah ini pun akhirnya harus rela mengubur diri dalam dunia
maya. Penyebabnya diduga tak lain dan tak bukan adalah jenuhnya pasar dalam
merespons buku-buku berlabel fiksi islami. Sungguh ironi.
Di luar praduga tentang silang pendapat akan pendefinisian fiksi islami,
antara kubu yang ‘mewajibkan’ adanya simbol-simbol Islam (pesantren, masjid,
sarung, peci, jilbab, bahasa Arab, dll) dalam karya fiksi dengan kubu yang
lebih condong ke karya yang ‘cukup hanya’ mengandung nilai universalitas Islam,
di mana kubu terakhir ini kemudian dianggap mengaburkan sekat fiksi islami dan
yang bukan. Akibat booming tersebut sering
pula terdengar pendapat miring yang menjadikan karya islami menjadi semacam
kacang goreng yang mudah dibikin, mudah dimakan (sebagai camilan), lalu mudah
pula dilupakan. Apalagi karya yang begitu sarat dengan muatan ‘khotbah’
seringkali juga dicap sebagai karya medioker, hanya sebagai corong ‘pengeras
suara’ bagi penulisnya. Padahal karya sastra yang baik diharapkan mampu
menghadirkan kompleksitas kebenaran; bahwa dalam kejahatan kadangkala ada
kebaikan yang tertutupi, dalam sebuah kebaikan ada kejahatan yang disamarkan, dalam
kesedihan ada kebahagiaan yang tak terlihat, dalam kebahagiaan ada kesedihan yang
disembunyikan, bahwa di antara hitam dan putih ada abu-abu, dsb.
Sikap membebek para penerbit yang hanya mengejar tren
pasar juga dituding sebagai faktor primer kejenuhan pembaca. Mereka tak mampu
membentuk ‘dinasti’ tersendiri—yang syukur justru bisa menjadi pembentuk selera
pembaca. Keseragaman ini membuat stagnan dan ‘begitu-begitu saja’. Tak banyak
penerbit yang mau membuat ‘gaya’ tersendiri dalam menyajikan buku-buku fiksi
islami, baik dari segi konten (cara bertutur, ranah tema cerita, dll) maupun
kemasan (cover buku, dll). Ketika “Ayat-Ayat Cinta” melejit, cover-nya juga
turut menjadi sasaran para epigoner. Gaya
bercerita, setting, sampai tema dalam AAC kemudian menjadi kiblat penilaian
para penikmat fiksi.
Ketika demam AAC mulai meredup, menyusul kemudian demam
Laskar Pelangi yang membawa gerbong fiksi bergaya semi otobiografi dengan
embel-embel inspiratif. Pada kurun itu, fiksi jenis ini pun kemudian
mendominasi pasar. Banyak penulis (yang sudah punya nama maupun yang baru
dikenal) yang memiliki kisah hidup ‘luar biasa’ kemudian muncul ke permukaan
‘menjual’ dongeng-dongeng yang pernah mereka alami sendiri. Fiksi jenis ini pun
kemudian meredup seiring kebosanan pembaca.
Pada titik ini, sepertinya ada yang dilupakan oleh para
penulis dan industri penerbitan kita, yakni perihal ‘suguhan yang dirindukan
pembaca’. Dalam setiap kurun tertentu, ketika pembaca mulai merasa jenuh dengan
suguhan pasar perbukuan (fiksi), sesungguhnya pembaca tengah menunggu menu baru
yang sanggup mengalihkan dari riuh rendah realita, memberikan persepsi baru
terhadap permasalahan krusial yang tengah dihadapi masyarakat, atau setidaknya mengajak
bertualang untuk menambah wawasan baru.
Mari kita tengok. ‘Ayat-Ayat Cinta’ yang menghidangkan
tema poligami, mendapatkan sambutan hangat ketika gelombang Islam tengah
meninggi. ‘Laskar Pelangi’ yang mengusung tema pendidikan bagi anak-anak
pedalaman menemukan momentum urgensinya di tengah masanya pembicaraan kualitas
pendidikan dalam negeri. ‘Lupus’ atau yang terbaru ‘Dilan’ yang menemukan
gairah para anak muda generasi ‘lu’ ‘gue’. Sitti Nurbaya yang menemukan
momentum di tengah masyarakat yang menginginkan ‘kebebasan’, dan masih banyak
lagi contohnya tentu saja.
Khazanah sastra dunia juga seperti itu. Kelahiran semua
karya besar senantiasa diiringi oleh revolusi budaya. “Uncle Tom’s Cabin”nya
Harriet Beetcher Stowe lahir ketika ia melihat langsung praktik perbudakan yang
ada di ‘Daerah Selatan’ (saat itu Amerika terbelah menjadi dua bagian. Kubu
utara yang menolak perbudakan dan kubu selatan yang mempertahankan adanya
perbudakan kaum kulit hitam). Atau juga “Trilogi Danzig”-nya Gunter
Grass—peraih Nobel Sastra 1999 asal Jerman, yang lahir atas pergolakan batinnya
selama masa Perang Dunia 1. Di tanah air kita sendiri, Tetralogi Pulau Buru
karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, lahir atas kekritisannya
mengabadikan pentingnya pendidikan literasi dan kebangsaan justru di saat ia
berada dalam posisi sebagai korban krisis kebangsaan (tentu saja ada catatan
panjang untuk penjelasan hal ini).
Kejelian mengamati dan membaca pergerakan permasalahan
sosial budaya jelas amat dibutuhkan oleh para penulis kita. Penulis adalah
sebuah buku harian yang berpikir dan (seharusnya) bergerak. Jangan hanya
menunggu peristiwa besar terjadi atau menimpa. Kita tentu masih ingat dengan
kreativitas Jules Verne sang pengarang “Around the World in Eighty Days” atau
H.G. Wells dengan “Time Machine” itu. Imajinasi mereka yang menggelitik, unik,
dan merangsang daya pikir, membuat para ilmuwan tak mau kalah untuk mewujudkan
gagasan tersebut. Penulis sudah seharusnya memiliki kemampuan untuk menakar
kecerdasan pembaca. Tentu saja, agar pembaca tidak (boleh) bosan. Dan dunia
penerbitan (terutama fiksi islami) kita tidak stagnan lantaran hanya
memproduksi karya-karya yang semata hanya menghibur dan menyenangkan seraya
melupakan fungsi pokok akan pentingnya pendidikan literasi. Bukankah stagnan
adalah posisi awal sebuah kemunduran? Begitu.*
Nur Hadi, Tabloid Minggu Pagi, 12-19 Maret 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar