Sabtu, 30 Mei 2020

Dan Pembaca pun Boleh Bosan


Dan Pembaca pun Boleh Bosan



Awal tahun 2000-an boleh dibilang adalah era masa gemilangnya buku-buku fiksi islami. Dipelopori oleh majalah remaja Annida, sebuah media yang banyak memberikan jalan bagi para penulisnya untuk mengenalkan apa itu yang disebut sebagai sastra islami. Di majalah remaja inilah banyak bermunculan penulis-penulis yang sekarang namanya dikenal sebagai ‘pabrik’ fiksi islami—meski sebagiannya kemudian menyeberang ke sastra arus utama. Pada era itu pula banyak penerbit mulai membuka lini fiksi islami. Namun tujuh belas tahun kemudian (1992-2009), seiring dengan meredupnya booming fiksi islami, majalah ini pun akhirnya harus rela mengubur diri dalam dunia maya. Penyebabnya diduga tak lain dan tak bukan adalah jenuhnya pasar dalam merespons buku-buku berlabel fiksi islami. Sungguh ironi.

Di luar praduga tentang silang pendapat akan pendefinisian fiksi islami, antara kubu yang ‘mewajibkan’ adanya simbol-simbol Islam (pesantren, masjid, sarung, peci, jilbab, bahasa Arab, dll) dalam karya fiksi dengan kubu yang lebih condong ke karya yang ‘cukup hanya’ mengandung nilai universalitas Islam, di mana kubu terakhir ini kemudian dianggap mengaburkan sekat fiksi islami dan yang bukan. Akibat booming tersebut sering pula terdengar pendapat miring yang menjadikan karya islami menjadi semacam kacang goreng yang mudah dibikin, mudah dimakan (sebagai camilan), lalu mudah pula dilupakan. Apalagi karya yang begitu sarat dengan muatan ‘khotbah’ seringkali juga dicap sebagai karya medioker, hanya sebagai corong ‘pengeras suara’ bagi penulisnya. Padahal karya sastra yang baik diharapkan mampu menghadirkan kompleksitas kebenaran; bahwa dalam kejahatan kadangkala ada kebaikan yang tertutupi, dalam sebuah kebaikan ada kejahatan yang disamarkan, dalam kesedihan ada kebahagiaan yang tak terlihat, dalam kebahagiaan ada kesedihan yang disembunyikan, bahwa di antara hitam dan putih ada abu-abu, dsb.
Sikap membebek para penerbit yang hanya mengejar tren pasar juga dituding sebagai faktor primer kejenuhan pembaca. Mereka tak mampu membentuk ‘dinasti’ tersendiri—yang syukur justru bisa menjadi pembentuk selera pembaca. Keseragaman ini membuat stagnan dan ‘begitu-begitu saja’. Tak banyak penerbit yang mau membuat ‘gaya’ tersendiri dalam menyajikan buku-buku fiksi islami, baik dari segi konten (cara bertutur, ranah tema cerita, dll) maupun kemasan (cover buku, dll). Ketika “Ayat-Ayat Cinta” melejit, cover-nya juga turut menjadi sasaran para epigoner. Gaya bercerita, setting, sampai tema dalam AAC kemudian menjadi kiblat penilaian para penikmat fiksi.
Ketika demam AAC mulai meredup, menyusul kemudian demam Laskar Pelangi yang membawa gerbong fiksi bergaya semi otobiografi dengan embel-embel inspiratif. Pada kurun itu, fiksi jenis ini pun kemudian mendominasi pasar. Banyak penulis (yang sudah punya nama maupun yang baru dikenal) yang memiliki kisah hidup ‘luar biasa’ kemudian muncul ke permukaan ‘menjual’ dongeng-dongeng yang pernah mereka alami sendiri. Fiksi jenis ini pun kemudian meredup seiring kebosanan pembaca.
Pada titik ini, sepertinya ada yang dilupakan oleh para penulis dan industri penerbitan kita, yakni perihal ‘suguhan yang dirindukan pembaca’. Dalam setiap kurun tertentu, ketika pembaca mulai merasa jenuh dengan suguhan pasar perbukuan (fiksi), sesungguhnya pembaca tengah menunggu menu baru yang sanggup mengalihkan dari riuh rendah realita, memberikan persepsi baru terhadap permasalahan krusial yang tengah dihadapi masyarakat, atau setidaknya mengajak bertualang untuk menambah wawasan baru.
Mari kita tengok. ‘Ayat-Ayat Cinta’ yang menghidangkan tema poligami, mendapatkan sambutan hangat ketika gelombang Islam tengah meninggi. ‘Laskar Pelangi’ yang mengusung tema pendidikan bagi anak-anak pedalaman menemukan momentum urgensinya di tengah masanya pembicaraan kualitas pendidikan dalam negeri. ‘Lupus’ atau yang terbaru ‘Dilan’ yang menemukan gairah para anak muda generasi ‘lu’ ‘gue’. Sitti Nurbaya yang menemukan momentum di tengah masyarakat yang menginginkan ‘kebebasan’, dan masih banyak lagi contohnya tentu saja.
Khazanah sastra dunia juga seperti itu. Kelahiran semua karya besar senantiasa diiringi oleh revolusi budaya. “Uncle Tom’s Cabin”nya Harriet Beetcher Stowe lahir ketika ia melihat langsung praktik perbudakan yang ada di ‘Daerah Selatan’ (saat itu Amerika terbelah menjadi dua bagian. Kubu utara yang menolak perbudakan dan kubu selatan yang mempertahankan adanya perbudakan kaum kulit hitam). Atau juga “Trilogi Danzig”-nya Gunter Grass—peraih Nobel Sastra 1999 asal Jerman, yang lahir atas pergolakan batinnya selama masa Perang Dunia 1. Di tanah air kita sendiri, Tetralogi Pulau Buru karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, lahir atas kekritisannya mengabadikan pentingnya pendidikan literasi dan kebangsaan justru di saat ia berada dalam posisi sebagai korban krisis kebangsaan (tentu saja ada catatan panjang untuk penjelasan hal ini).
Kejelian mengamati dan membaca pergerakan permasalahan sosial budaya jelas amat dibutuhkan oleh para penulis kita. Penulis adalah sebuah buku harian yang berpikir dan (seharusnya) bergerak. Jangan hanya menunggu peristiwa besar terjadi atau menimpa. Kita tentu masih ingat dengan kreativitas Jules Verne sang pengarang “Around the World in Eighty Days” atau H.G. Wells dengan “Time Machine” itu. Imajinasi mereka yang menggelitik, unik, dan merangsang daya pikir, membuat para ilmuwan tak mau kalah untuk mewujudkan gagasan tersebut. Penulis sudah seharusnya memiliki kemampuan untuk menakar kecerdasan pembaca. Tentu saja, agar pembaca tidak (boleh) bosan. Dan dunia penerbitan (terutama fiksi islami) kita tidak stagnan lantaran hanya memproduksi karya-karya yang semata hanya menghibur dan menyenangkan seraya melupakan fungsi pokok akan pentingnya pendidikan literasi. Bukankah stagnan adalah posisi awal sebuah kemunduran? Begitu.*


Nur Hadi, Tabloid Minggu Pagi,  12-19 Maret 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar