Selasa, 18 Februari 2020

Perihal Kematian Pengarang

Perihal Kematian Pengarang






Bagaimana pendapat Anda jika penulis yang selama ini karya-karyanya Anda kenal begitu romantis dan bertutur bahasa lembut namun kemudian secara langsung Anda melihatnya marah, berkata-kata tak senonoh, kotor, dan terasa begitu jauh dari apa yang Anda dapatkan dalam karya-karyanya? Apakah penulis fiksi harus selalu sama seperti (setidaknya) tokoh utama yang pernah dibuatnya?

Jika Anda beranggapan bahwa sosok penulis akan terwakili secara penuh dalam setiap karyanya, saya percaya cepat atau lambat Anda akan kecewa. Betapapun penulis yang Anda percaya itu adalah seorang motivator atau penceramah agama. Anda akan senantiasa mendapatkan dua kemungkinan; kecewa lantaran penulisnya lebih buruk dari (muatan) karya-karyanya, atau kagum lantaran ternyata penulisnya lebih baik/bagus dari (muatan) karya-karyanya.
Dalam kondisi demikian, pelacakan sosok penulis dalam karya-karyanya sebenarnya terasa kurang mencukupi dan kompatibel. Sekalipun pelacakan itu melalui jalur karya-karya biografi maupun otobiografinya, akan ada bagian-bagian lain dari si penulis yang mungkin sengaja dihilangkan, sengaja dibesarkan, tak sengaja terbuang, tertutup oleh bahasa dan penafsiran, atau bahkan sisipan dari orang lain (semisal editor atau si penulis biografi sendiri). Penulisan biografi terkadang juga terpengaruh oleh subjektivitas. Apa yang kita dapat hanya akan sebatas apa yang diketahui dan terpetakan pada periode penulisan tersebut/tertentu, atau bisa jadi apa yang disukai/tidak disukai oleh penyusunnya.
Dari titik inilah teori ‘new criticism’ mendapatkan relevansinya. Bahwa menafsir karya idealnya tidak dilakukan melalui sosok penulisnya, begitupun sebaliknya. Kita bisa saja mendapatkan ‘sebagian diri penulis’ di dalam karyanya, namun bukankah itu tidak bisa dianggap mewakili keseluruhannya? Penulis—sebagaimana manusia lainnya, adalah makhluk yang ‘belum selesai’ dan senantiasa mengalami ‘proses menjadi’. Ia, pada periode tertentu bisa jadi tengah menjadi teks A lantaran terpengaruh oleh teks A1 dan A2, kemudian pada periode berikutnya ia telah menjadi teks B setelah terpengaruh oleh teks B1 dan B2. Penulis sejatinya hanyalah sebuah tempat bertemu, bertarung, bernegoisasi, dan bersinerginya beragam teks untuk menjadi sebuah teks baru. Kata Roland Barthes—melalui Sapardi (2018; 212), satu-satunya kemampuan yang menjadi milik pengarang adalah membuat adonan tulisan menghadapkan berbagai-bagai jenis kutipan dengan yang lain, sedemikian rupa sehingga tidak bisa berpijak pada salah satunya saja. Allen kemudian menambahkan—melalui Sapardi juga (2018; 213), bahwa pembaca adalah ruang tempat semua yang membentuk karangan itu tercatat tanpa ada satu pun terlewat; keutuhan teks tidak ada pada asal-usulnya tetapi pada sasarannya. Kelahiran pembaca mau tidak mau berarti kematian pengarang. Tafsiran pembacalah yang sebenarnya telah ‘membunuh’ pengarang. Tafsiran itulah yang sebenarnya kemudian didapat oleh pembaca. Dan tafsiran itu sendiri kemudian harus berinteraksi lagi dengan teks-teks yang berada di dalam diri pembaca sendiri.
Apa yang kita lihat sejatinya bukanlah realita sebenarnya, demikian intisari yang pernah diucapkan Plato. Demikian juga berlaku dengan apa yang kita baca pada penulis. Ketika menuliskan sebuah teks, seluruh teks-teks yang telah terkumpul dalam diri penulis akan turut berperan; entah itu untuk disaring, diperas, dicampur, atau dibenturkan. Sementara residu pertemuan antar dan interteks itu selesai dicetak, penulisnya telah mengalami fase baru lagi dalam menghadapi teks-teks baru lagi di sekelilingnya. Entah dari bacaan, tontonan, kawan dan handai tolan, sistem sosial, dan sebagainya. Karya, ibarat sebuah potret yang memotret sebuah momen tertentu dari seorang penulis. Ia bisa menjadi corong (mulut), namun jelas tak bisa menggambarkan sosok penulis secara utuh.
Ketika sebuah karya tulis terbukukan, maka bisakah kita menafsir sesuatu yang masih ‘hidup’ dan ‘berproses’ dengan seuatu yang sudah ‘dibekukan’ tersebut? Lebih jelasnya, mari kita menengok ke dalam proses kreativitas itu dulu.
Dalam sebuah karya fiksi, sebutlah terdapat tiga tokoh yang mewakili sifat putih, hitam, dan abu-abu. Untuk ketiganya, tugas seorang penulis tentu saja hanya menghidupkan ketiganya dengan mengikuti plot yang yang telah ia susun/rencanakan. Untuk ketiganya, bisa saja penulis mampu membuat kata-kata bijak, kata-kata ambigu, bahkan kata-kata kotor demi menyesuaikan adegan, situasi, dan penokohan. Dalam potongan kecilnya, bisa saja seorang penulis ‘menyusup’ dan memasukkan sebagian pengalaman empiris, emosi pribadi, atau opini. Tetapi, bisakah Anda yakin bahwa tulisan itu adalah ejawantah dari penulis seutuhnya?
Dalam sebuah karya nonfiksi—terutama yang berlabel ‘how to’, meskipun itu berisikan kalimat-kalimat motivasi atau ceramah sang penulis, malah lebih mewakili apa yang ada dalam tema tulisan ini. Sang penulis karya jenis ini akan cenderung untuk mengumpulkan materi-materi ideal yang ia kuasai atau hanya didapat dari sumber/referensi lain. Ia dituntut untuk menyajikan kelengkapan dan keluasan referensi, betapapun kadang penulisnya sendiri belum tentu menguasai/melakukan apa yang ia tulis tersebut. Sebagai contoh keclnya, jika Anda mencermati salat Jumat, ketika berkhotbah sang imam bahkan senantiasa membubuhkan kalimat pengingat semacam ‘semoga khotbah ini juga menjadi pengingat bagi diri sendiri”, lantaran dalam kondisi berkhotbah, sang imam memang dituntut harus memberikan materi yang baik-baik saja. Soal kehidupannya setelah khotbah selesai, adalah perkara lain lagi. Maka tak usah heran jika Anda pernah membaca kisah hidup seorang penulis hebat yang mati bunuh diri.
Demikian juga dalam karya bergenre opini atau esai yang notabene hanya berisi pendapat penulis. Ilmu pengetahuan dan pendapat jelas akan berkembang sesuai pengalaman empiris penulis. Bisa jadi, ketika hari ini ia menulis opini yang menentang, besok sudah menulis opini yang mendukung setelah menemukan alasan-alasan yang ia anggap layak untuk didukung. Opini bisa berkembang dan dipengaruhi oleh lobi-lobi dengan beragam teks yang mengepung penulis. Begitu.*

Nur Hadi*
Foto: esai pernah dimuat di Harian Rakyat Sultra dan Tabloid Minggu Pagi
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar