Perihal Kematian Pengarang
Bagaimana pendapat Anda jika
penulis yang selama ini karya-karyanya Anda kenal begitu romantis dan bertutur
bahasa lembut namun kemudian secara langsung Anda melihatnya marah,
berkata-kata tak senonoh, kotor, dan terasa begitu jauh dari apa yang Anda
dapatkan dalam karya-karyanya? Apakah penulis fiksi harus selalu sama seperti
(setidaknya) tokoh utama yang pernah dibuatnya?
Jika Anda beranggapan bahwa sosok
penulis akan terwakili secara penuh dalam setiap karyanya, saya percaya cepat
atau lambat Anda akan kecewa. Betapapun penulis yang Anda percaya itu adalah
seorang motivator atau penceramah agama. Anda akan senantiasa mendapatkan dua
kemungkinan; kecewa lantaran penulisnya lebih buruk dari (muatan) karya-karyanya,
atau kagum lantaran ternyata penulisnya lebih baik/bagus dari (muatan)
karya-karyanya.
Dalam kondisi demikian, pelacakan
sosok penulis dalam karya-karyanya sebenarnya terasa kurang mencukupi dan
kompatibel. Sekalipun pelacakan itu melalui jalur karya-karya biografi maupun
otobiografinya, akan ada bagian-bagian lain dari si penulis yang mungkin
sengaja dihilangkan, sengaja dibesarkan, tak sengaja terbuang, tertutup oleh bahasa
dan penafsiran, atau bahkan sisipan dari orang lain (semisal editor atau si
penulis biografi sendiri). Penulisan biografi terkadang juga terpengaruh oleh
subjektivitas. Apa yang kita dapat hanya akan sebatas apa yang diketahui dan
terpetakan pada periode penulisan tersebut/tertentu, atau bisa jadi apa yang
disukai/tidak disukai oleh penyusunnya.
Dari titik inilah teori ‘new criticism’ mendapatkan
relevansinya. Bahwa menafsir karya idealnya tidak dilakukan melalui sosok
penulisnya, begitupun sebaliknya. Kita bisa saja mendapatkan ‘sebagian diri
penulis’ di dalam karyanya, namun bukankah itu tidak bisa dianggap mewakili
keseluruhannya? Penulis—sebagaimana manusia lainnya, adalah makhluk yang ‘belum
selesai’ dan senantiasa mengalami ‘proses menjadi’. Ia, pada periode tertentu
bisa jadi tengah menjadi teks A lantaran terpengaruh oleh teks A1 dan A2,
kemudian pada periode berikutnya ia telah menjadi teks B setelah terpengaruh
oleh teks B1 dan B2. Penulis sejatinya hanyalah sebuah tempat bertemu,
bertarung, bernegoisasi, dan bersinerginya beragam teks untuk menjadi sebuah
teks baru. Kata Roland Barthes—melalui Sapardi (2018; 212), satu-satunya
kemampuan yang menjadi milik pengarang adalah membuat adonan tulisan
menghadapkan berbagai-bagai jenis kutipan dengan yang lain, sedemikian rupa
sehingga tidak bisa berpijak pada salah satunya saja. Allen kemudian
menambahkan—melalui Sapardi juga (2018; 213), bahwa pembaca adalah ruang tempat
semua yang membentuk karangan itu tercatat tanpa ada satu pun terlewat; keutuhan
teks tidak ada pada asal-usulnya tetapi pada sasarannya. Kelahiran pembaca mau
tidak mau berarti kematian pengarang. Tafsiran pembacalah yang sebenarnya telah
‘membunuh’ pengarang. Tafsiran itulah yang sebenarnya kemudian didapat oleh
pembaca. Dan tafsiran itu sendiri kemudian harus berinteraksi lagi dengan
teks-teks yang berada di dalam diri pembaca sendiri.
Apa yang kita lihat sejatinya
bukanlah realita sebenarnya, demikian intisari yang pernah diucapkan Plato.
Demikian juga berlaku dengan apa yang kita baca pada penulis. Ketika menuliskan
sebuah teks, seluruh teks-teks yang telah terkumpul dalam diri penulis akan
turut berperan; entah itu untuk disaring, diperas, dicampur, atau dibenturkan.
Sementara residu pertemuan antar dan interteks itu selesai dicetak, penulisnya
telah mengalami fase baru lagi dalam menghadapi teks-teks baru lagi di
sekelilingnya. Entah dari bacaan, tontonan, kawan dan handai tolan, sistem
sosial, dan sebagainya. Karya, ibarat sebuah potret yang memotret sebuah momen
tertentu dari seorang penulis. Ia bisa menjadi corong (mulut), namun jelas tak
bisa menggambarkan sosok penulis secara utuh.
Ketika sebuah karya tulis
terbukukan, maka bisakah kita menafsir sesuatu yang masih ‘hidup’ dan
‘berproses’ dengan seuatu yang sudah ‘dibekukan’ tersebut? Lebih jelasnya, mari
kita menengok ke dalam proses kreativitas itu dulu.
Dalam sebuah karya fiksi,
sebutlah terdapat tiga tokoh yang mewakili sifat putih, hitam, dan abu-abu.
Untuk ketiganya, tugas seorang penulis tentu saja hanya menghidupkan ketiganya
dengan mengikuti plot yang yang telah ia susun/rencanakan. Untuk ketiganya,
bisa saja penulis mampu membuat kata-kata bijak, kata-kata ambigu, bahkan
kata-kata kotor demi menyesuaikan adegan, situasi, dan penokohan. Dalam
potongan kecilnya, bisa saja seorang penulis ‘menyusup’ dan memasukkan sebagian
pengalaman empiris, emosi pribadi, atau opini. Tetapi, bisakah Anda yakin bahwa
tulisan itu adalah ejawantah dari penulis seutuhnya?
Dalam sebuah karya
nonfiksi—terutama yang berlabel ‘how to’,
meskipun itu berisikan kalimat-kalimat motivasi atau ceramah sang penulis,
malah lebih mewakili apa yang ada dalam tema tulisan ini. Sang penulis karya
jenis ini akan cenderung untuk mengumpulkan materi-materi ideal yang ia kuasai
atau hanya didapat dari sumber/referensi lain. Ia dituntut untuk menyajikan
kelengkapan dan keluasan referensi, betapapun kadang penulisnya sendiri belum
tentu menguasai/melakukan apa yang ia tulis tersebut. Sebagai contoh keclnya, jika
Anda mencermati salat Jumat, ketika berkhotbah sang imam bahkan senantiasa
membubuhkan kalimat pengingat semacam ‘semoga khotbah ini juga menjadi
pengingat bagi diri sendiri”, lantaran dalam kondisi berkhotbah, sang imam
memang dituntut harus memberikan materi yang baik-baik saja. Soal kehidupannya
setelah khotbah selesai, adalah perkara
lain lagi. Maka tak usah heran jika
Anda pernah membaca kisah hidup seorang penulis hebat yang mati bunuh diri.
Demikian juga dalam karya bergenre
opini atau esai yang notabene hanya berisi pendapat penulis. Ilmu pengetahuan
dan pendapat jelas akan berkembang sesuai pengalaman empiris penulis. Bisa jadi,
ketika hari ini ia menulis opini yang menentang, besok sudah menulis opini yang
mendukung setelah menemukan alasan-alasan yang ia anggap layak untuk didukung. Opini
bisa berkembang dan dipengaruhi oleh lobi-lobi dengan beragam teks yang
mengepung penulis. Begitu.*
Nur Hadi*
Foto: esai pernah dimuat di Harian Rakyat Sultra dan Tabloid Minggu Pagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar