Selasa, 20 Maret 2018

Pertanggungjawaban Fiksi Terhadap Dunia Realitas



Pertanggungjawaban Fiksi Terhadap Dunia Realitas




Fiksi adalah sebuah media yang dalam tataran penyajiannya senantiasa menggunakan kode dan tanda sebagai pengganti objek dalam dunia realitas. Baik dalam karya realis, realis magis, apalagi surealis. Sang pengarang bisa dengan leluasa memainkan kode atau tanda yang ia pinjam untuk memengaruhi pembaca, tak peduli kode atau tanda yang ia pinjam berupa objek mati atau makhluk hidup. Ia berusaha memakai daya sihir dunia hiperrealitas untuk mengail kepercayaan pembaca atau berusaha mengubah keyakinan pembaca yang telah mapan.

Dalam pandangan  Baudrillard (seorang filsuf postmodernisme kelahiran Reims, Perancis 27 Juli 1929) hiperrealitas lahir dari perkawinan antara kepalsuan dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta campur aduk dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, atau dusta bersenggama dengan kebenaran. Batasan-batasan kebenaran, kepalsuan, kejujuran, kebohongan, keaslian, isu, dan realitas, seolah-olah tak bisa dibedakan lagi lantaran sudah sangat merasuknya kode/tanda dalam benak pembaca/audien/masyarakat. Keterbauran ini dimulai dari sebuah proses yang dinamakan dengan konsep simulasi/simulacra.
Simulasi dalam pandangan Baudrillard yakni proses penciptaan kenyataan melalui model konseptual atau yang berhubungan dengan ‘mitos’  yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Model ini kemudian bertransformasi menjadi penentu pandangan kita tentang kenyataan/realitas. Segala hal yang mencakup semua lini kebutuhan manusia semisal; kebutuhan rumah tangga, kebutuhan kecantikan, seni, pendidikan, dll.—ditayangkan melalui berbagai media (massa dan digital) dengan berbagai model ideal (yang sekiranya bisa diterima dengan baik/atau bahkan kalau bisa dipuja oleh audiens) sehingga batas antara simulasi dan kenyataan menjadi tercampur aduk hingga menciptakan hiperrealitas. Masyarakat/audien/pembaca yang tidak sadar akan pengaruh simulasi dan tanda ini pun kemudian kerap kali teperdaya—efeknya, mereka pun senantiasa berupaya mencoba segala hal baru yang ditawarkan oleh produk simulasi tadi dengan cara, membeli, memilih, memuja, mengutuk, mengultuskan, dsb. Mereka terhipnotis oleh daya ilusional fiksi.
Dari sinilah kemudian kita bisa berkesimpulan bahwa sebenarnya semua benda ini merupakan tanda/kode bagi mereka yang mampu melihat dunia di belakangnya.
Inilah era—yang kini tengah kita masuki—yang sering disebut sebagai era postmodern, yakni ketika kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah menguapkan realitas. Realitas tak hanya diceritakan, direpresentasikan, atau disebarluaskan, namun bisa juga dimodifikasi, direkayasa, dibuat, dan disimulasi, sehingga mengaburkan perbedaan antara yang nyata dengan yang imajiner, yang benar dengan yang palsu.
Sebagai contoh, misalkan saja tentang iklan sabun pemutih kulit. Dalam iklan-iklan yang dijejalkan oleh media televisi, tanpa sadar para penonton sebenarnya tengah dicekoki/disihir untuk berpikir bahwa kulit yang baik adalah kulit yang putih mulus. Padahal sebenarnya tidak. Atau misalnya sebuah iklan minuman A yang mengandung zat ini itu, yang merupakan minuman paling baik untuk kesehatan. Perekayasaan ini tentu saja membawa maksud tersembunyi. Minuman A tersebut tentulah bukan hal pokok yang mampu menunjang kesehatan konsumen lantaran kesehatan itu sendiri memiliki banyak faktor yang ditentukan tak hanya dengan sebuah minuman yang mengandung zat ini itu.
Dalam dunia perfiksian modern kita dewasa ini, kita pun sebenarnya bisa melihat gejala pemutarbalikan fakta dengan pemanfaatan proses simulasi ini. Serealis apa pun kisah yang ia fiksikan (bahkan yang berdasar pengalaman nyata sekalipun), pasti takkan bisa lepas dari jerat simulasi. Misalnya saja dalam karya ‘Sitti Nurbaya’ yang sudah tersohor dan dikenal luas oleh para pembaca itu. Mengingat Sitti Nurbaya, pastilah pembaca langsung tersulut dengan ingatan/keyakinan tentang kawin paksa yang menyakitkan. Padahal tidak semua perkawinan yang dilantari dengan perjodohan orangtua selalu saja berakhir dengan derita. Atau misalnya ‘Laskar Pelangi’ yang telah mendunia itu, yang seolah-olah menanamkan kepercayaan bahwa kualitas pendidikan luar negeri lebih baik dari kualitas pendidikan negeri sendiri, bahwa para penerima beasiswa kualitasnya lebih baik dibanding mahasiswa kampung yang menyambi berjualan kakilima untuk membiayai kuliahnya. Padahal standar kesuksesan setiap individu tentulah berbeda. Dan semua tidak selalu seperti itu. Bahkan kenyataannya orang yang tak lulus SD pun bisa memiliki ratusan anak buah sarjana.
Mengingat hal tersebut di atas, pembacaan secara kritis terhadap segala hal yang berbau simulasi/fiksi tentulah amat dibutuhkan. Sebab dunia rekaan ini memiliki keterbatasan dalam hal faktor-faktor pembentuk dibanding dunia realitas yang maha luas dan serba tak pasti. Ia, bisa jadi hanya mewakili sebagian kecil kebenaran, dan tak seluruhnya. Kebenaran memiliki kompleksitas, demikian pula hal-hal lainnya.
Pembacaan secara kritis ini seharusnya bisa menjadi sebuah upaya menuju pertanggungjawaban terhadap duania realitas. Entah itu melalui medium kritik atau karya dekonstruksi yang memungkinkan untuk melahirkan sebuah pemikiran baru. Beberapa penulis (yang mungkin merasa berdosa dengan fiksi yang melulu membawa embel-embel muatan nilai tertentu) bahkan mulai sengaja meggunakan teknik pematah daya ilusional fiksi dalam karya mereka. Karya-karya sejenis ini biasanya ditandai dengan kalimat-kalimat ‘penyadar’ semacam; bahwa cerita ini hanya sekadar fiksi, dalam cerita fiksi ini, dsb. Ia seolah ingin lepas tangan terhadap apa yang terjadi dengan pembaca yang telanjur ia seret dalam dunia rekaannya. Toh bukankah bentuk pertanggungjawaban itu rupa-rupa juga? Begitu.*


Nur Hadi, Lampung Post, Minggu 17 September 2017

1 komentar: