Jumat, 17 Agustus 2018

Masuk Nominasi Krakatau Award (Lagi) 2018

   



     Setelah dua tahun absen dari ajang lomba-lomba, alhamdulillah akhirnya tahun ini bisa mencatatkan nama lagi di ajang Lomba Cerpen Krakatau Award 2018. Meski di berita-berita telah tersebar insiden salah ketik nama, hahaha...
     Berita ini saya kutip dari berita-berita yang sudah tersebar itu. Tentu saja setelah perbaikan atas nama saya sendiri.
     "Rindu Tak Berujung di Tanjung Setia" mungkin takkan tertera dalam lomba ini jika bukan lantaran jasa Mas Mashdar Zainal. Tanggal 27 Juli, ketika saya harus sendirian menunggui Emak di RSI Kudus akibat penyakit vertigonya yang kambuh, saya yang memang sudah niat ikut even ini baru bisa menyelesaikan tiga lembar naskah. Itu pun saya ketik di telepon genggam. Saking sebal dan stressnya, saya menghibur diri dengan menuliskan kegalauan/kegagalan saya untuk ikut even yang pada mulanya dibatasi tanggal pengirimannya sampai tanggal 27 Juli pukul 24.00 WIB saja di status WA. Tanpa dinyana, Mas Mashdar mengomentari status receh saya itu, dan mengatakan, "Kan diperpanjang sampai 2 Agustus, Mas..."
     Bisa dibayangkan reaksi saya waktu itu...
     Dan inilah hasilnya... hamdalah...meski cuma masuk nominee ^_^



______________
Anugerah Krakatau sekaitan Festival Krakatau 2018 yang ditaja Dinas Pariwisata Provinsi Lampung itu diikuti sebanyak 100 peserta/cerpen. Rilda, putri asli Lampung, satu-satunya peserta dari luar negeri. Ia bermukin di Inggris. Sementara lainnya dari Aceh, Sumatera Barat, Sumut, Riau, Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan dari kota/daerah di Indonesia.

Cerpen “Bukan Sebambangan” mengisahkan tentang perkawinan yang mengatasnamakan kawin lari (sebambangan) bagi masyarakat adat Lampung. Bukan sebambangan yang pernah terjadi di Lampung Timur, juga di masyarakat Lampung di Lampung Utara yang dikenal meramut/ngeramut, menjadi kritik dalam cerpen ini. Rilda menyorot soal negatif dari ngeramut tersebut, karena “menggelapkan” nasib masa depan perempuan. Sebab “bukan” sebambangan, lebih cenderung melarikan (meramut) anak gadis orang dengan atas nama sebambangan.

Selain “Bukan Sebambangan”, di urutkan kedua adalah cerpen “Nedes” karya Fajar Mesaz dari Mesuji. Cerpen ini mengangkat adat nedes (nenemo) masyarakat Lampung di Pagardewa, Tulangbawamg Barat. Fajar adalah novelis “Maafkan Aku Kuala Mesuji” yang juga kerap mengangkat masalah sosial di Lampung.
Sementara juara 3 diraih cerpen “Litografi” karya Rahmad Sudirman. Jurnalis yang pernah menjuarai Krakatau Award 2017 ini menyoal silsilah keadatan dan tradisi masyarakat Lampung masa kini, seperti melulis di tempat yang licin.

Demkian dikatakan Kepala Bidang Kelembagaan Dinas Pariwisata Provinsi Lampung Linda Libiyanti Sumadewi, Selasa (7/8/2018) usai rapat juri di Dinas Pariwisata.

Dijelaskan Linda,
KA di samping sebagai bentuk sosialisasi, juga untuk membangun apresiasi masyrakat terhadap pariwisata dan seni budaya daerah Lampung.
“Pariwisata Lampung memiliki keunikan dan pesona tersendiri, begitu juga dengan seni budaya yang kaya dan beragam,” katanya.
Dengan adanya KA, lanjutnya, kita berharap pariwisata dan seni budaya Lampung, bukan hanya dikenal tapi juga menarik minat masyarakat untuk berkunjung ke daerah ini.

Terpisah, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Lampung Budoharto Herman N. mengatakan, Krakatau Award menjadi bagian dari Festival Krakatau karena nilai positif bagi promosi pariwisata dan senibudaya Lampung.
Dengan digelarnya KA, diharapkan masyarakat di luar Lampung akan mencari tahu dan belajar untuk mengenal kebudayaan dan destinasi wisata yang ada di daerah ini.
“Walaupun cerita yang ditulis oleh sastrawan tersebut adalah fiksi, namun tafsir hasil transpormasi budaya menjadi kekayaan bagi daerah ini,” ujar dia.

Dewan kurator, Yanusa Nugroho (ketua), Isbedy Stiawan ZS dan Syaiful Irba Tanpaka (anggota), juga memilih 10 cerpen nominasi tanpa ranking. Ke 10 cerpen tersebut adalah;
1. “Bediom” karya Heny Sulistiyani
2. “Sebagai Duyung Saat Berdomisili di Gunung Krakatau” (Rahmat Ali)
3. “Jalan Bengkunat (Rizki Andika)
4. “Gadis Sukamenanti” (Sulis Setia Markhamah)
5. “Suara dari Menara Siger” (Sammad Hasibuan)
6. “Hakikat Sekura” (Wi Noya)
7. “Bunga Kopi dalam Tapis Penagantin” (Rama Safra)
8. “Di Kaki Gunung Pesagi” (Handry TM)
9. “Rumah Kita” (Roni Tabroni) dan
10. “Rindu Tak Berujung di Tanjung Setia” (Nur Hadi). ^_^

Yanusa Nugroho mewakili dewan kurator menjelaskan, menulis cerita untuk sebuah lomba atau apa pun yang bertolak pada tema tertentu, ada begitu banyak kendala, misalnya, jika itu menyangkut adat-istiadat, maka kita tak bisa hanya ‘mengetahui’ lewat bacaan semata; tanpa bertanya pada para pemangkunya. Jika hal ini ‘dipaksakan’ maka kisah yang kita paparkan terasa ‘mengada-ada’.
“Inilah yang umumnya muncul pada naskah-naskah yang saya baca pada KA 2018. Tentu jika saya tuliskan umumnya, itu pun berdasarkan dugaan saya semata; karena persoalan tradisi/adat/kebiasaan sangatlah beragam di negeri kita ini.
Umumnya, peserta, seolah meletakkan adat sebagai latar semata dan menyebutkan–katakanlah: nemui nyimah– sebagai sebingkai foto bunga di ruang tamu kita. ‘Mutiara’ adat ini tidak muncul sebagai fokus pengisahan, tetapi sekadar ada, bahkan sekadar disebutkan saja,” ujar sastrawan asal Jakarta yang karya-karyanya kerap dimuat Kompas dan media cetak lain serta sejumlah buku cerpen/novel tunggal.
Akan tetapi, tiga naskah yang akhirnya diputuskan sebagai terbaik, ternyata memang, menurut dia, tampaknya ditulis dengan ‘riset’ yang cukup baik; bahkan dari sisi pengisahan, layak disebut cerita pendek. Pada ‘Bukan Sebambangan’ misalnya, gambaran perempuan yang memegang sabit, dengan kegeramannya, dan sebagainya, muncul sebagai sosok yang hidup. (R)
  Foto: Pantai Mbayuran. Saya ambil sebagai image "Rindu Tak Berujung di Tanjung Setia" lantaran beririsan dengan cerita dalam cerpen itu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar