Pertanggungjawaban Fiksi Terhadap Dunia
Realitas
Fiksi adalah sebuah media yang dalam tataran penyajiannya senantiasa
menggunakan kode dan tanda sebagai pengganti objek dalam dunia realitas. Baik
dalam karya realis, realis magis, apalagi surealis. Sang pengarang bisa dengan
leluasa memainkan kode atau tanda yang ia pinjam untuk memengaruhi pembaca, tak
peduli kode atau tanda yang ia pinjam berupa objek mati atau makhluk hidup. Ia
berusaha memakai daya sihir dunia hiperrealitas untuk mengail kepercayaan
pembaca atau berusaha mengubah keyakinan pembaca yang telah mapan.
Dalam pandangan
Baudrillard (seorang filsuf postmodernisme kelahiran Reims, Perancis 27
Juli 1929) hiperrealitas lahir dari perkawinan antara kepalsuan dengan
keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta campur aduk dengan
rekayasa, tanda melebur dengan realitas, atau dusta bersenggama dengan
kebenaran. Batasan-batasan kebenaran, kepalsuan, kejujuran, kebohongan,
keaslian, isu, dan realitas, seolah-olah tak bisa dibedakan lagi lantaran sudah
sangat merasuknya kode/tanda dalam benak pembaca/audien/masyarakat. Keterbauran
ini dimulai dari sebuah proses yang dinamakan dengan konsep simulasi/simulacra.
Simulasi dalam pandangan Baudrillard yakni proses
penciptaan kenyataan melalui model konseptual atau yang berhubungan dengan
‘mitos’ yang tidak dapat dilihat
kebenarannya dalam kenyataan. Model ini kemudian bertransformasi menjadi
penentu pandangan kita tentang kenyataan/realitas. Segala hal yang mencakup
semua lini kebutuhan manusia semisal; kebutuhan rumah tangga, kebutuhan
kecantikan, seni, pendidikan, dll.—ditayangkan melalui berbagai media (massa
dan digital) dengan berbagai model ideal (yang sekiranya bisa diterima dengan
baik/atau bahkan kalau bisa dipuja oleh audiens) sehingga batas antara simulasi
dan kenyataan menjadi tercampur aduk hingga menciptakan hiperrealitas.
Masyarakat/audien/pembaca yang tidak sadar akan pengaruh simulasi dan tanda ini
pun kemudian kerap kali teperdaya—efeknya, mereka pun senantiasa berupaya
mencoba segala hal baru yang ditawarkan oleh produk simulasi tadi dengan cara,
membeli, memilih, memuja, mengutuk, mengultuskan, dsb. Mereka terhipnotis oleh
daya ilusional fiksi.
Dari sinilah kemudian kita bisa berkesimpulan bahwa
sebenarnya semua benda ini merupakan tanda/kode bagi mereka yang mampu melihat
dunia di belakangnya.
Inilah era—yang kini tengah kita masuki—yang sering
disebut sebagai era postmodern, yakni ketika kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi telah menguapkan realitas. Realitas tak hanya diceritakan,
direpresentasikan, atau disebarluaskan, namun bisa juga dimodifikasi, direkayasa,
dibuat, dan disimulasi, sehingga mengaburkan perbedaan antara yang nyata dengan
yang imajiner, yang benar dengan yang palsu.
Sebagai contoh, misalkan saja tentang iklan sabun pemutih
kulit. Dalam iklan-iklan yang dijejalkan oleh media televisi, tanpa sadar para
penonton sebenarnya tengah dicekoki/disihir untuk berpikir bahwa kulit yang
baik adalah kulit yang putih mulus. Padahal sebenarnya tidak. Atau misalnya
sebuah iklan minuman A yang mengandung zat ini itu, yang merupakan minuman
paling baik untuk kesehatan. Perekayasaan ini tentu saja membawa maksud
tersembunyi. Minuman A tersebut tentulah bukan hal pokok yang mampu menunjang
kesehatan konsumen lantaran kesehatan itu sendiri memiliki banyak faktor yang
ditentukan tak hanya dengan sebuah minuman yang mengandung zat ini itu.
Dalam dunia perfiksian modern kita dewasa ini, kita pun
sebenarnya bisa melihat gejala pemutarbalikan fakta dengan pemanfaatan proses
simulasi ini. Serealis apa pun kisah yang ia fiksikan (bahkan yang berdasar
pengalaman nyata sekalipun), pasti takkan bisa lepas dari jerat simulasi. Misalnya
saja dalam karya ‘Sitti Nurbaya’ yang sudah tersohor dan dikenal luas oleh para
pembaca itu. Mengingat Sitti Nurbaya, pastilah pembaca langsung tersulut dengan
ingatan/keyakinan tentang kawin paksa yang menyakitkan. Padahal tidak semua
perkawinan yang dilantari dengan perjodohan orangtua selalu saja berakhir
dengan derita. Atau misalnya ‘Laskar Pelangi’ yang telah mendunia itu, yang
seolah-olah menanamkan kepercayaan bahwa kualitas pendidikan luar negeri lebih
baik dari kualitas pendidikan negeri sendiri, bahwa para penerima beasiswa
kualitasnya lebih baik dibanding mahasiswa kampung yang menyambi berjualan
kakilima untuk membiayai kuliahnya. Padahal standar kesuksesan setiap individu
tentulah berbeda. Dan semua tidak selalu seperti itu. Bahkan kenyataannya orang
yang tak lulus SD pun bisa memiliki ratusan anak buah sarjana.
Mengingat hal tersebut di atas, pembacaan secara kritis
terhadap segala hal yang berbau simulasi/fiksi tentulah amat dibutuhkan. Sebab
dunia rekaan ini memiliki keterbatasan dalam hal faktor-faktor pembentuk
dibanding dunia realitas yang maha luas dan serba tak pasti. Ia, bisa jadi
hanya mewakili sebagian kecil kebenaran, dan tak seluruhnya. Kebenaran memiliki
kompleksitas, demikian pula hal-hal lainnya.
Pembacaan secara kritis ini seharusnya bisa menjadi sebuah
upaya menuju pertanggungjawaban terhadap duania realitas. Entah itu melalui
medium kritik atau karya dekonstruksi yang memungkinkan untuk melahirkan sebuah
pemikiran baru. Beberapa penulis (yang mungkin merasa berdosa dengan fiksi yang
melulu membawa embel-embel muatan nilai tertentu) bahkan mulai sengaja
meggunakan teknik pematah daya ilusional fiksi dalam karya mereka. Karya-karya
sejenis ini biasanya ditandai dengan kalimat-kalimat ‘penyadar’ semacam; bahwa cerita ini hanya sekadar fiksi, dalam
cerita fiksi ini, dsb. Ia seolah ingin lepas tangan terhadap apa yang
terjadi dengan pembaca yang telanjur ia seret dalam dunia rekaannya. Toh
bukankah bentuk pertanggungjawaban itu rupa-rupa juga? Begitu.*
Nur Hadi, Lampung Post, Minggu 17 September 2017
Prediksi Skor Piala Dunia Belgia VS Panama 18 Juni 2018
BalasHapusPrediksi Skor Belgia VS Panama 18 Juni 2018
Prediksi Bola Belgia VS Panama 18 Juni 2018
Prediksi Akurat Piala Dunia Belgia VS Panama 18 Juni 2018
Prediksi Skor Portugal VS Maroko 20 Juni 2018