Selasa, 20 Maret 2018

Belajar Merawat Multikulturalisme dari Negeri Kangguru



Belajar Merawat Multikulturalisme dari Negeri Kangguru



Judul Buku  :  Hidup Damai di Negeri Multikultur
Penulis        :  Forum Alumni MEP Australia-Indonesia
Penerbit       :  PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan       :  Pertama, Maret 2017
Tebal           :  679 halaman
ISBN           :  978-602-03-5143-8


Ditulis oleh 77 alumnus Forum Alumni Muslim Exchange Program (MEP) Australia-Indonesia, buku ini akan memberikan bentangan beragam pengalaman pribadi yang bersumber dari pengalaman langsung para alumnus ketika bersinggungan dengan komunitas keagamaan, budayawan, praktisi pendidikan, aktivis sosial-kemasyarakatan, serta pemerintah, baik di Australia maupun Indonesia. Program yang telah jalan sepuluh tahun ini diharapkan bisa menjadi sarana untuk meluruskan kekeliruan persepsi antar dua negara, sehingga terciptalah pandangan-pandangan positif, terlebih pasca gesekan-gesekan yang diakibatkan oleh radikalisme Islam dari sejumlah oknum yang mengatasnamakan Islam atas tindakan mereka.
Latarbelakang Australia yang dibangun oleh kaum pendatang yang berasal dari Vietnam, India, Sri Lanka, China, Korea, Timur Tengah, dan Indonesia, mau tak mau mendorong negeri kangguru untuk juga memegang prinsip ‘berbeda-beda, tetapi tetap satu jua’. Buku ini akan memperlihatkan kepada kita, dengan berbagai wacana dan aksi nyata, baik pemerintah dan juga warganya, dalam menekankan sikap toleransi.
Tantangan multikultural inilah yang kemudian mendorong perubahan kebijakan pemerintah Australia. Menurut pemaparan dari salah satu pejabat komisi multikultural negara bagian Victoria, setidaknya ada tiga perubahan kebijakan yang telah dilakukan pemerintah. Kebijakan asimilasi (sebelum 1970-an), kebijakan pluralisme (1970-2000), dan kebijakan multikulturalisme (2000-sampai sekarang), diatur sedemikian rupa sehingga seseorang bisa menjadi warga Aussie tanpa harus meninggalkan identitas budayanya sendiri (hal. 101).
Salah satu usaha Australia dalam menciptakan kedamaian dan kerukunan antarumat beragama adalah dengan menciptakan interfaith dialogue (dialog antar-iman). Dari dialog semacam inilah kemudian didapatkan bahwa sejumlah pandangan negatif atas Islam seringkali hanya bermula dari perspektif yang salah serta kekurangpahaman akan konteks budaya di mana Islam tersebut tumbuh dan berkembang (hal. 81). Namun demikian, lantaran konteks permasalahan imigran yang dihadapi Australia berbeda dengan permasalahan imigran yang dihadapi Eropa, seperti halnya Indonesia—isu multikulturalisme pun jadi lebih  mudah dikelola.
Sejauh ini imigran di Australia telah terintegrasi dan mengalami keberhasilan dalam proses asimilasi budaya. Setiap entitas diberi hak untuk mengekspresikan identitas budaya tradisi disertai kewajiban menerima nilai-nilai demokratik liberal dan institusi-institusinya, seperti demokrasi parlementer, aturan hukum bersama, kesetaraan jender, kebebasan beragama dan berpendapat. Keberagaman bahkan dipandang sebagai keuntungan ekonomi, lantaran dengan keberadaan multietnis tersebut, Australia justru mendapatkan kemudahan dalam menjalin komunikasi tanpa adanya gegar budaya.*

Nur Hadi, Radar Surabaya Minggu 11 Maret 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar