Belajar Merawat Multikulturalisme dari
Negeri Kangguru
Judul Buku : Hidup
Damai di Negeri Multikultur
Penulis :
Forum Alumni MEP Australia-Indonesia
Penerbit :
PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan :
Pertama, Maret 2017
Tebal : 679 halaman
ISBN :
978-602-03-5143-8
Ditulis oleh 77 alumnus Forum Alumni Muslim Exchange Program (MEP) Australia-Indonesia, buku ini akan
memberikan bentangan beragam pengalaman pribadi yang bersumber dari pengalaman
langsung para alumnus ketika bersinggungan dengan komunitas keagamaan,
budayawan, praktisi pendidikan, aktivis sosial-kemasyarakatan, serta
pemerintah, baik di Australia maupun Indonesia. Program yang telah jalan
sepuluh tahun ini diharapkan bisa menjadi sarana untuk meluruskan kekeliruan
persepsi antar dua negara, sehingga terciptalah pandangan-pandangan positif,
terlebih pasca gesekan-gesekan yang diakibatkan oleh radikalisme Islam dari
sejumlah oknum yang mengatasnamakan Islam atas tindakan mereka.
Latarbelakang Australia yang dibangun oleh kaum pendatang
yang berasal dari Vietnam, India, Sri Lanka, China, Korea, Timur Tengah, dan
Indonesia, mau tak mau mendorong negeri kangguru untuk juga memegang prinsip
‘berbeda-beda, tetapi tetap satu jua’. Buku ini akan memperlihatkan kepada
kita, dengan berbagai wacana dan aksi nyata, baik pemerintah dan juga warganya,
dalam menekankan sikap toleransi.
Tantangan multikultural inilah yang kemudian mendorong
perubahan kebijakan pemerintah Australia. Menurut pemaparan dari salah satu
pejabat komisi multikultural negara bagian Victoria, setidaknya ada tiga
perubahan kebijakan yang telah dilakukan pemerintah. Kebijakan asimilasi
(sebelum 1970-an), kebijakan pluralisme (1970-2000), dan kebijakan
multikulturalisme (2000-sampai sekarang), diatur sedemikian rupa sehingga
seseorang bisa menjadi warga Aussie tanpa harus meninggalkan identitas
budayanya sendiri (hal. 101).
Salah satu usaha Australia dalam menciptakan kedamaian
dan kerukunan antarumat beragama adalah dengan menciptakan interfaith dialogue (dialog antar-iman). Dari dialog semacam inilah
kemudian didapatkan bahwa sejumlah pandangan negatif atas Islam seringkali
hanya bermula dari perspektif yang salah serta kekurangpahaman akan konteks
budaya di mana Islam tersebut tumbuh dan berkembang (hal. 81). Namun demikian, lantaran
konteks permasalahan imigran yang dihadapi Australia berbeda dengan
permasalahan imigran yang dihadapi Eropa, seperti halnya Indonesia—isu
multikulturalisme pun jadi lebih mudah
dikelola.
Sejauh ini imigran di Australia telah terintegrasi dan mengalami
keberhasilan dalam proses asimilasi budaya. Setiap entitas diberi hak untuk
mengekspresikan identitas budaya tradisi disertai kewajiban menerima
nilai-nilai demokratik liberal dan institusi-institusinya, seperti demokrasi
parlementer, aturan hukum bersama, kesetaraan jender, kebebasan beragama dan berpendapat.
Keberagaman bahkan dipandang sebagai keuntungan ekonomi, lantaran dengan
keberadaan multietnis tersebut, Australia justru mendapatkan kemudahan dalam menjalin
komunikasi tanpa adanya gegar budaya.*
Nur Hadi, Radar Surabaya Minggu 11 Maret 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar