Penulis dan Kata-Kata Bijaknya
Dalam sebuah status media sosial,
salah seorang teman saya pernah menuliskan amarah perihal penipuan yang pernah
dialaminya terkait setoran dana yang telah ia berikan kepada seorang penulis.
Katanya, sekian persen dari hasil penjualan buku hendak disumbangkan ke
sejumlah yayasan penyantun anak yatim dan kegiatan yang intinya para pemberi
dana gotong royong akan diikutkan serta dalam kegiatan yang ia galang. Namun
setelah sekian bulan menunggu, sungguh jauh dari kenyataan. Ia telah kena tipu.
Teman saya ini pun kemudian tanpa ragu menumpahkan semua kekesalannya dalam
sebuah status media sosial. Betapa, di ranah mereka yang biasa menyuarakan
kebaikan (lewat tulisan) pun ternyata juga ada penipunya.
Saya akan mengajak Anda untuk melupakan
kasus penipuan itu dulu. Entah mengapa saya justru teringat dengan apa yang
pernah dinyatakan oleh Roland Barthes, seorang kritikus sastra, filsuf, ahli
linguistik dan semiotika kelahiran Cherbourg, Normandia—Perancis, 12 November
1915, perihal kematian pengarang. Katanya, (Sapardi, 2018: 194-195) ketika
dalam proses menulis teks, pengarang mengalami proses kematiannya dan ketika
teks selesai ditulisnya ia benar-benar sudah lenyap atau mati, suatu peristiwa
yang kemudian disusul dengan kelahiran pembaca. Sapardi Djoko Damono (dalam
“Alih Wahana”, 2018) kemudian memberikan catatan kaki bahwa ‘bahasa’lah yang
kemudian melahirkan sastra, sama sekali bukan pengarang. Yang berbicara dalam
teks, yang melakukan sesuatu, bukanlah ‘aku’ pengarang, melainkan kuasa bahasa
yang kemudian dilahirkan kembali oleh (tafsiran) pembaca. Maka tak heran jika
satu teks, kadang bisa melahirkan sekian tafsir oleh sekian pembaca.
Dalam posisi tersebut, pengarang
benar-benar berada dalam posisi lepas tanggung jawab atas apa yang telah ia
tulis. Pengarang dan tulisannya adalah masing-masing subjek yang berdiri
sendiri, dan ditopang oleh unsur-unsurnya sendiri. Sastra adalah hasil budaya
yang otonom. Maka salah jika kemudian ada seseorang, alih-alih seorang
kritikus, yang menanyakan makna sebuah karya kepada penulisnya, sebab pemaknaan
sebenarnya telah didapat oleh masing-masing pembaca dari hasil pembacaannya
sendiri. Pemaknaan disarikan dari berbagai unsur yang ia temukan di dalam
karya. Salah, jika pemaknaan kemudian dikait-kaitkan dengan semua ‘jejak’ sang
pengarang baik dalam agama, bahan bacaan, pergaulan, lingkungan sosial, atau
bahkan keluarga. Sebab, bagaimana jika sang pengarang benar-benar sudah mati
dan tak bisa dilacak ‘jejak-jejak’nya lagi?
Dari sinilah teori kematian
pengarang yang dikemukakan Barthes menemukan relevansinya dengan kasus di atas,
ketika sang pengarang diketahui masih hidup, berkelakuan negatif, namun mampu
menghasilkan teks-teks yang menyuarakan suara kebaikan. Sebuah teks dihasilkan
oleh proses intertekstualitas yang terjadi dalam subjek pengarang.
Lepas dari sebuah ‘ayat Al Quran’
yang melaknat para pengarang (tekstualnya, penyair) yang tak sekata seperbuatan
dengan apa-apa yang pernah dituliskannya, sebenarnya secara tak kasat mata dalam
kasus tersebut sudah memperlihatkan dua subjek yang berbeda. Toh setiap
perbuatan buruk sudah pasti akan mendapatkan laknat. Kata-kata telah menemukan
jalannya sendiri, seperti juga sang pengarang yang telah menentukan jalannya
sendiri. Kata-kata telah menjadi bahan tenunan teks, sementara jalan pengarang
telah membentuk takdir. Maka tak usah heran ketika ada seorang pengarang yang hanya
dengan menemukan paragraf pertama, cerita selanjutnya sudah bisa menemukan
jalannya sendiri. Seolah pengarang hanyalah seorang penenun yang menyatukan
beragam warna benang untuk kemudian disatukan menjadi sebuah kain. Seorang
pengarang adalah sebuah jalan takdir yang harus dilewati kata-kata itu sendiri
untuk menjadi sebuah teks. Sebagai contoh, ketika seorang pengarang memunculkan
tokoh baik dan buruk, bukankah secara otomatis dia juga harus menyiapkan
dialog-dialog yang dianggap mampu mewakili/menjiwai setiap tokoh dalam tiap
kondisinya? Seorang pengarang akan senantiasa dituntut menyusun tenunan
kata-kata sesuai tokoh-tokoh yang ia ceritakan. Kata-kata, bisa jadi hanyalah
sekadar tuntutan sebuah jalannya cerita yang dibutuhkan untuk memuluskan sebuah
karya.
Senada pandangan Barthes di atas,
Carlos Fuentes—penulis asal Meksiko, juga berkeyakinan bahwa bahasa dapat
melakukan sesuatu sebagaimana ia dapat ditempatkan sebagai sesuatu. Dapat saya
bayangkan bahwa kata demi kata yang ditenun sedemikian rupa—menyerupai
mantra-mantra ajaib, memang mampu memengaruhi ribuan bahkan jutaan pembacanya.
Gaung ‘lawan!’ yang diteriakkan Wiji Thukul telah benar-benar membangkitkan
perlawanan di negeri ini, seperti halnya puisi-puisi Muhammad Iqbal yang
menjadi embrio kelahiran Negara Pakistan, dan novel Uncle Tom’s Cabin-nya
Harriet Beecher Stowe yang menggerakkan hati jutaan orang untuk menghapus
perbudakan di Negeri Paman Sam di masa awal revolusi kemerdekaan mereka. Betapa
dayanya tenunan kata-kata itu.
Di balik semua itu, lantas
bagaimana dengan posisi pengarang? Bukankah tulisan takkan pernah ada tanpa
peran langsung seorang pengarang?
Dari sinilah kelompok kritik yang
dikenal sebagai new criticism muncul
(Damono, 2018; 198). Sebagaimana dalam pandangan Barthes, jika pengarang adalah
markas tempat bertemunya berbagai teks, maka kita akan sampai pada pendapat
T.S. Eliot bahwa orisinalitas mutlak sebenarnya adalah omong kosong. Lantaran
tidak orisinal, bukanlah si pengarang yang memiliki teks, melainkan teks-teks
yang bertemu di dalam dirinya.
Jadi—kembali ke kasus di atas,
apakah penulis, seniman, atau siapa pun penghasil teks, lantas bisa lepas
tanggung jawab dari semua karyanya? Sepertinya, yang wajib
dipertanggungjawabkan adalah proses ‘pembacaan’nya atas teks-teks sebelumnya.
Kata Sapardi, bahasa hanya bisa didapat lewat meniru, sementara menulis hanya
bisa didapat lewat membaca. Jika seorang penulis pernah mendapatkan pemahaman
tentang kebaikan dari proses membacanya, mengapa ia tidak bisa mewujudkannya
dalam perilaku? Begitu. Maka keindependenan teks dan penulis pun mengada.*
Dimuat Lampung Post, Minggu 1 Juli 2018
*Gambar; Pinterest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar