Minggu, 21 Oktober 2018

Laporan Pertanggungjawaban Penjurian Lomba Penulisan Artikel (Esai) SMANSARA



Laporan Pertanggungjawaban Penjurian Lomba Penulisan Artikel (Esai) SMANSARA





Menuliskan kembali pengalaman empiris seringkali memiliki kelebihan tersendiri. Di samping tinggal menggali ingatan sendiri, materi yang disampaikan juga terbilang dekat dengan dunia penulisnya sendiri sehingga naskah yang dihasilkan pun lebih detail, ‘bernyawa’, luwes, dan tak hanya melulu berisi konsep-konsep ‘kosong’ belaka, lantaran konsep-konsep pemikiran yang diusung penulis langsung terhubung dengan realita. Bukankah teori-teori pada dasarnya dilahirkan oleh realita yang sudah ada, dan bukan sebaliknya? Inilah kunci utama yang saya jadikan patokan dalam menilai tiga puluh naskah artikel siswa-siswi SMANSARA.

Ada empat unsur yang saya pakai untuk menilai artikel mereka. Pertama gaya penulisan, yakni mencakup keluwesan mereka dalam menyampaikan gagasan. Keruntutan dalam menyampaikan opini pribadi dengan penyertaan opini-opini penguat dari para ahli dibutuhkan kemahiran tersendiri agar terasa halus dan menyambung dengan sempurna. Bagi yang belum terbiasa, tak memiliki kecakapan, cara mengutip ini akan terlihat kaku dan terasa macam kumpulan kata-kata mutiara saja. Ini bisa dilihat antara karya pemenang pertama dengan karya peringkat kelima. “Sanitasi Harga Mati” terasa mulus, dan menemukan koneksinya dengan pengalaman empiris penulis, dibanding dengan “Indigenisasi Nilai-Nilai Perjuangan 1945 untuk Membangun Integritas Generasi Muda Masa Kini” yang hanya berisi konsep-konsep belaka. Meski karya peringkat kelima ini begitu rapi dalam mengutip opini penguat, namun masih butuh pengawangan untuk menemukan keterhubungannya dengan realita.
Kedua, kesesuaian tema dengan peristiwa-peristiwa aktual yang sedang terjadi dalam masyarakat kita. Karya peringkat kedua sebenarnya paling unggul dalam hal ini. Penulisnya kentara banget mengikuti perkembangan yang terjadi akibat politik praktis dalam bursa capres/cawapres—ketika politik identitas (politik yang lebih mementingkan/membidik identitas individu secara subjektif; suku, ras, agama) mulai menjadi ranah sasaran. “Kita” atau “Mereka” adalah bahasa simbol yang begitu cerdas untuk membahasakan adanya keterbelahan yang sesungguhnya amat bahaya bagi negeri Bhinneka Tunggal Ika ini. Penulis juga ‘ketahuan’ begitu teliti merekam perjalanan entitas Tionghoa, sejak dari masa kolonialisme hingga masa Reformasi. Hanya saja karya pemenang kedua ini lemah dalam hal opini pendukung, kerapian penulisan, dan lemah logika di paragraf-paragraf awal.
Ketiga, yakni keluwesan dalam berbahasa dan menggunakan patokan PUEBI. Tampaknya hampir semua peserta mengalami kesulitan dalam hal ini, dan saya pikir inilah PR utama yang harus diperhatikan oleh para guru mereka. Pemenang pertamanya saja masih kecolongan tak mampu menggunakan “di” sebagai kata depan. Padahal, prasyarat pertama untuk bisa masuk ke ranah media massa, keberesan dalam berbahasa adalah kunci utama. Apalagi kelima karya unggulan dalam lomba ini (terutama pemenang pertama, kedua, dan kelima) sebenarnya lumayan layak untuk langsung go media! Keluwesan di sini juga mencakup urut-urutan materi yang disampaikan dalam tulisan. Misal, dari pembuka, klimaks, lalu antiklimaks, baik menggunakan metode induksi atau deduksi, baik menggunakan metode tesis, antitesis, maupun sintesis.
Terakhir yakni perihal isi atau materi yang disampaikan. Dalam keterangan saya di atas, mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa “Indigenisasi…”  bisa lebih siap untuk go media ketimbang peringkat ketiga atau keempat, tapi malah hanya menempati posisi kelima? Alasan saya begini; lantaran karya peringkat kelima lebih banyak menggunakan kutipan, karya ini jadi terkesan kurang orisinil dan kurang pede dalam menyampaikan opininya sendiri.
Akhirnya, saya ucapkan selamat kepada para pemenang;
1)      Peringkat pertama yakni “Sanitasi Harga Mati” karya Adinda Destifany Zenniar. Karya ini bersumber dari pengalaman empiris penulis sehingga tulisan ini tak kehilangan benang merahnya dengan realita. Opini-opini pendukung dihadirkan dengan mulus untuk memperkuat opini penulis dengan pas.
2)      Peringkat kedua yakni “Kita atau Mereka: Dampak Politik Identitas pada Demokrasi di Indonesia” karya Fajar Avicenna. Karya ini begitu cerdas menggambarkan adanya perpecahan sosial akibat adanya politik identitas dalam konstelasi bursa capres/cawapres 2019.
3)      Peringkat ketiga yakni “Berhenti Menjadi Pembunuh” karya Aulia Isnaini. Karya ini memperlihatkan kedewasaan logika penulisnya dalam mempertanyakan dan menyalahkan praktik labeling terhadap individu-individu yang memiliki permasalahan kejiwaan.
4)      Peringkat keempat yakni “Budaya Ini Jarang Diketahui Banyak Orang. Apakah Kamu Salah Satunya?” karya Berlian Jimbun F. Karya ini memperlihatkan kepekaan dan pengetahuan penulis akan kekayaan budaya lokal sendiri yang penuh dengan filosofi bijak yang seharusnya bisa diaplikasikan dalam semua lema kehidupan. Karya ini lemah dalam penyajian, sehingga bentuknya lebih mirip reportase sebuah ritual budaya ketimbang sebuah naskah esai.
5)      Peringkat kelima yakni “Indigenisasi Nilai-Nilai Perjuangan 1945 untuk Membangun Integritas Generasi Masa Kini” karya Ahmad Madaul Ulum. Karya ini dengan fasih menghadirkan opini-opini (pendukung) untuk memperlihatkan kondisi generasi muda yang mulai luntur moral integritas nasionalismenya.


Nur Hadi/Adi Zamzam, Mijen – Demak, 20/10/2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar