Laporan Pertanggungjawaban Penjurian
Lomba Penulisan Artikel (Esai) SMANSARA
Menuliskan kembali pengalaman
empiris seringkali memiliki kelebihan tersendiri. Di samping tinggal menggali
ingatan sendiri, materi yang disampaikan juga terbilang dekat dengan dunia
penulisnya sendiri sehingga naskah yang dihasilkan pun lebih detail,
‘bernyawa’, luwes, dan tak hanya melulu berisi konsep-konsep ‘kosong’ belaka,
lantaran konsep-konsep pemikiran yang diusung penulis langsung terhubung dengan
realita. Bukankah teori-teori pada dasarnya dilahirkan oleh realita yang sudah
ada, dan bukan sebaliknya? Inilah kunci utama yang saya jadikan patokan dalam
menilai tiga puluh naskah artikel siswa-siswi SMANSARA.
Ada
empat unsur yang saya pakai untuk menilai artikel mereka. Pertama gaya
penulisan, yakni mencakup keluwesan mereka dalam menyampaikan gagasan.
Keruntutan dalam menyampaikan opini pribadi dengan penyertaan opini-opini
penguat dari para ahli dibutuhkan kemahiran tersendiri agar terasa halus dan
menyambung dengan sempurna. Bagi yang belum terbiasa, tak memiliki kecakapan,
cara mengutip ini akan terlihat kaku dan terasa macam kumpulan kata-kata
mutiara saja. Ini bisa dilihat antara karya pemenang pertama dengan karya
peringkat kelima. “Sanitasi Harga Mati” terasa mulus, dan menemukan koneksinya
dengan pengalaman empiris penulis, dibanding dengan “Indigenisasi Nilai-Nilai
Perjuangan 1945 untuk Membangun Integritas Generasi Muda Masa Kini” yang hanya
berisi konsep-konsep belaka. Meski karya peringkat kelima ini begitu rapi dalam
mengutip opini penguat, namun masih butuh pengawangan untuk menemukan
keterhubungannya dengan realita.
Kedua,
kesesuaian tema dengan peristiwa-peristiwa aktual yang sedang terjadi dalam
masyarakat kita. Karya peringkat kedua sebenarnya paling unggul dalam hal ini.
Penulisnya kentara banget mengikuti perkembangan yang terjadi akibat politik
praktis dalam bursa capres/cawapres—ketika politik identitas (politik yang lebih
mementingkan/membidik identitas individu secara subjektif; suku, ras, agama)
mulai menjadi ranah sasaran. “Kita” atau “Mereka” adalah bahasa simbol yang
begitu cerdas untuk membahasakan adanya keterbelahan yang sesungguhnya amat
bahaya bagi negeri Bhinneka Tunggal Ika ini. Penulis juga ‘ketahuan’ begitu
teliti merekam perjalanan entitas Tionghoa, sejak dari masa kolonialisme hingga
masa Reformasi. Hanya saja karya pemenang kedua ini lemah dalam hal opini
pendukung, kerapian penulisan, dan lemah logika di paragraf-paragraf awal.
Ketiga,
yakni keluwesan dalam berbahasa dan menggunakan patokan PUEBI. Tampaknya hampir
semua peserta mengalami kesulitan dalam hal ini, dan saya pikir inilah PR utama
yang harus diperhatikan oleh para guru mereka. Pemenang pertamanya saja masih
kecolongan tak mampu menggunakan “di” sebagai kata depan. Padahal, prasyarat
pertama untuk bisa masuk ke ranah media massa, keberesan dalam berbahasa adalah
kunci utama. Apalagi kelima karya unggulan dalam lomba ini (terutama pemenang
pertama, kedua, dan kelima) sebenarnya lumayan layak untuk langsung go media! Keluwesan di sini juga
mencakup urut-urutan materi yang disampaikan dalam tulisan. Misal, dari
pembuka, klimaks, lalu antiklimaks, baik menggunakan metode induksi atau
deduksi, baik menggunakan metode tesis, antitesis, maupun sintesis.
Terakhir
yakni perihal isi atau materi yang disampaikan. Dalam keterangan saya di atas,
mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa “Indigenisasi…” bisa lebih siap untuk go media ketimbang peringkat ketiga atau keempat, tapi malah hanya
menempati posisi kelima? Alasan saya begini; lantaran karya peringkat kelima
lebih banyak menggunakan kutipan, karya ini jadi terkesan kurang orisinil dan kurang
pede dalam menyampaikan opininya sendiri.
Akhirnya,
saya ucapkan selamat kepada para pemenang;
1)
Peringkat pertama yakni “Sanitasi Harga Mati” karya Adinda Destifany Zenniar. Karya ini
bersumber dari pengalaman empiris penulis sehingga tulisan ini tak kehilangan
benang merahnya dengan realita. Opini-opini pendukung dihadirkan dengan mulus untuk
memperkuat opini penulis dengan pas.
2)
Peringkat kedua yakni “Kita atau Mereka: Dampak Politik Identitas pada Demokrasi di Indonesia”
karya Fajar Avicenna. Karya ini begitu cerdas menggambarkan adanya
perpecahan sosial akibat adanya politik identitas dalam konstelasi bursa
capres/cawapres 2019.
3)
Peringkat ketiga yakni “Berhenti Menjadi Pembunuh” karya Aulia Isnaini. Karya ini
memperlihatkan kedewasaan logika penulisnya dalam mempertanyakan dan
menyalahkan praktik labeling terhadap
individu-individu yang memiliki permasalahan kejiwaan.
4)
Peringkat keempat yakni “Budaya Ini Jarang Diketahui Banyak Orang. Apakah Kamu Salah Satunya?” karya
Berlian Jimbun F. Karya ini memperlihatkan kepekaan dan pengetahuan penulis
akan kekayaan budaya lokal sendiri yang penuh dengan filosofi bijak yang
seharusnya bisa diaplikasikan dalam semua lema kehidupan. Karya ini lemah dalam
penyajian, sehingga bentuknya lebih mirip reportase sebuah ritual budaya
ketimbang sebuah naskah esai.
5)
Peringkat kelima yakni “Indigenisasi Nilai-Nilai Perjuangan 1945 untuk Membangun Integritas
Generasi Masa Kini” karya Ahmad Madaul Ulum. Karya ini dengan fasih
menghadirkan opini-opini (pendukung) untuk memperlihatkan kondisi generasi muda
yang mulai luntur moral integritas nasionalismenya.
Nur Hadi/Adi
Zamzam, Mijen – Demak, 20/10/2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar