Takdir dan Cinta
Ibuku
adalah lautan tak bertepi. Hilir segala keluh kesah kami anak-anaknya. Kami
anak-anaknya adalah sungai-sungai kecil yang sering mengangkut berbagai sampah
dan membuangnya ke lautan Ibu. Bahkan termasuk Bapak.
Kakakku,
enggan sekolah, enggan bekerja, dan lebih memilih menjadi kelelawar Malioboro.
Banyak sampah sering dibawanya pulang. Pernah digebuki preman karena merampas
ladang mengamen orang. Pernah digaruk polisi karena mabuk cimeng. Puncaknya adalah ketika ditinggal pergi pacarnya,
sampai-sampai kakakku benar-benar menjadi sampah yang mengotori rumah. Suatu
hari tiba-tiba saja dia berubah menjadi banteng ketaton, membuat remuk dan pecah
segala yang terjamah. Akhirnya kami terpaksa memborgol tangan kakinya dan lalu
menyeretnya ke RSJ. Kini, tiap bulan ia harus rutin ke sana guna mengontrol perkembangan psikisnya.
Siapa pula yang harus terperas jiwa raganya kalau bukan Ibu?
Bapakku
adalah Werkudara yang sering menenggelamkan diri ke lautan tak kasatmata,
mencari Dewa Ruci—meski beliau selalu mengingkari itu dengan segala serapahnya
terhadap Ibu. Kata Bapak, ia menemukan kesejatian hidup justru bermula ketika
Ibu mulai menggadaikan diri kepada kegelapan. Padahal keputusan Bapak melebur
sebagai abdi dalem Keraton lah yang menurut kamusku terlalu sering menimbulkan
gempa-gempa miris.
Sejak
aku lulus SD dan menjadi bintang paling cemerlang, Bapak hanya diam, dan Ibulah
yang mengayuh perahu menantang gelombang demiku. Pun ketika aku lulus SLTP dan
menjadi komet yang mencengangkan banyak mata, Bapak pun hanya bilang terserah
ibumu.
Kadang
aku begitu benci Bapak yang telah menemukan Dewa Rucinya. Sebagai seorang pengageng, beliau hanya mendapat
limabelas ribu per bulan. Beliau telah memberikan hidupnya kepada orang lain, sementara
keluarganya Ibulah yang menghidupi. Kadang aku heran, bagaimana dulu Ibu bisa
memilih Bapak?
“Dalam
hidup kau harus punya tujuan, Nduk. Jika kau sudah yakin tujuan hidupmu ke
mana, maka kejarlah,” ujar Bapak suatu ketika. Membuatku semakin limbung dalam
kejengkelan yang aku sembunyikan. Bukankah beliau juga tahu, jer basuki mawa beya? Untuk meraih
tujuan diperlukan biaya. Apa yang bisa aku harapkan dari lelaki itu? Apa aku
harus memeras keringat Ibu lagi, sementara kedua adikku masih menggeliyut menyusu
pula?
“Pengabdian
adalah sesuatu yang tak bisa diukur dengan materi. Kau pun akan tahu nanti
setelah mengalami,” ujaran itu seperti sebuah pembelaan Bapak atas pilihan
hidup yang diambilnya.
Berbilang
waktu aku coba memahami apa yang dimaksud Bapak dengan pengabdian itu. Menyaksikan
senyumnya yang mengembang penuh kebahagiaan sehabis mementaskan lakon Dewa Ruci
di Bangsal Magangan atau juga Bangsal Kencana. Kebanggaan yang diburunya adalah
ketika Sultan memuji-mujinya sebagai kebanggaan Keraton.
“Kau
lihat siapa para tamu itu tadi, Nduk? Beliau-beliau adalah para pembesar negeri
ini. Bapak diperkenankan mengajarkan sesuatu kepada orang-orang besar itu.
Kebahagiaan Bapak tak bisa diukur dengan uang.”
Tapi
Bapak tak bisa mengajarkan sesuatu yang kau anggap agung itu kepada anak sendiri, sergahku dalam
diam. Tak sadarkah Bapak jadi apa Kak Manyu sekarang? Sehelai bulu yang
diombang-ambing angin. Menurutku, Ibulah yang sejatinya mengajari kami sesuatu.
Kesabaran seluas laut, kekayaan sedalam laut, kekuatan yang tak pernah habis
bak gelombang laut yang tak pernah henti. Meski di mata Bapak Ibu adalah tempat
segala sampah yang patut dicaci maki!
* * *
Sarkem,
itulah tempat yang selalu dilaknat Bapak dan dianggapnya sebagai penyebab tak
langsung kerusakan Kak Manyu. Konon, tempat itu telah menjadi Pasar Kembang
yang dipenuhi kupu-kupu malam sejak 125 tahun silam. Seiring dengan proses
pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan Kota Suci[1]
dengan Batavia, Bogor,
Cianjur, Cilacap, dan Surabaya.
Namun
tidak buatku. Bagiku, Sarkem adalah tempat lautanku berada. Tempat di mana
setiap hari aku mencecap susu kehidupan. Tempat aku menemukan sebuah mutiara
termahal; seorang ibu akan lebih
merelakan dirinya dimangsa gelap demi hidup anak-anaknya daripada seorang bapak
yang seringnya lebih suka mencari-cari kesenangannya sendiri.
“Kau
akan meneruskan sekolah ke Jakarta?”
“Aku
dapat beasiswa, Ibu.”
“Bagus,
Ibu bangga dan akan selalu mendukungmu.”
“Tapi
hanya sekadar bea pendidikannya. Untuk biaya hidup aku harus mengaisnya
sendiri, Ibu.”
“Raihlah
apa yang kamu impikan. Ibu akan membantumu dari sini. Selama ini kau sudah
lihat Ibu kan? Ibu saja bisa menghidupi kalian, kenapa kau mesti khawatir tak
bisa menghidupi diri sendiri?”
Setitik
embun menyejukkan harapanku. Namun beberapa detik kemudian serasa ada yang
mencekat tenggorokanku.
“Kok wajahmu layu begitu?”
Bagaimana
aku tak layu, Ibu? Berapa lama lagi aku harus menjadi taliputri di rerantingmu?
Sampai kapan kau sanggup bertahan merelakan mahkotamu dicabik-cabik ribuan kumbang
jalang demi menghidupi keempat bijimu yang belum tentu menjelma pohon kelak?
“Kau
ragu dengan ucapan Ibu?”
Aku
menggeleng. Aku tak pernah meragukan lautan kasih sayangmu, Ibu.
“Dengar,
saat ini Ibu tak bisa mengharapkan kakakmu lagi. Cuma kaulah satu-satunya
harapan Ibu. Ibu tak pernah meremehkanmu meski kau seorang perempuan.”
Dadaku
bergetar hebat. Cuma aku? Takkah Ibu berharap pada Bapak untuk kembali ke jasad
wadag Bima perkasa yang mampu mengayomi seluruh keluarganya? Inikah penyebab
Ibu merelakan diri dimangsa gelap? Ibu rela menjadi tumbal kehidupan kami,
sementara Bapak lebih asyik bercinta dengan Dewa Rucinya sebagai abdi dalem
Keraton?
* * *
Betapa
sumringahnya wajah lelaki itu sepulangnya dari Bangsal Ksatriyan. Tanpa
kupinta, beliau berceloteh sendiri dengan riangnya bahwa surat kekancingan[2]
yang kemarin datang kepadanya adalah berkah dari Keraton. Ngarsa Dalem
menganugerahinya gelar Kanjeng Pangeran Haryo.
Namun
tak ada pesta untuk itu. Selalu tak ada pesta untuk kebahagiaan Bapak. Hidup
kami memang bukan bersumber dari pengabdian Bapak. Hidup kami bersumber dari
kerelaan Ibu menerima segala serapah termasuk dari mulut Bapak sendiri. Yang
ada paling khotbah-khotbah menjemukan yang tak pernah membuat perut kami
kenyang.
“Ayo,
Nduk,” Bapak menyuruhku gegas. Malas kulangkahkan kaki mengikuti Bapak ke
alun-alun Keraton bagian Selatan.
“Perhatikanlah
lapangan itu,” sepertinya Dewa Ruci mulai merasuki Bapak lagi.
Jujur,
aku lebih suka memandangi hamparan langit biru daripada harus mengunyah ujaran-ujaran
Bapak.
“Lapangan
itu dikelilingi pakel dan kweni. Di tengah-tengahnya berjajar sepasang pohon
beringin yang bagian atasnya dipangkas. Semua pohon-pohon itu dikelilingi pagar
beton. Semua itu memang sengaja diatur sedemikian rupa, Nduk. Tak cuma alun-alun
bagian Selatan ini, tapi seluruh tatanan Keraton juga. Semuanya memiliki makna
simbolis. Sebenarnya Ngarsa dalem ingin mengajari nilai-nilai luhur untuk semua
rakyatnya.”
Apakah
semua itu bisa mengenyangkan perut kami, Pak?
“Pakel
melambangkan akil balig atau kedewasaan. Kweni melambangkan wani atau keberanian. Beringin kembar
itu melambangkan kemaluan yang sudah disunat. Sedangkan pagar beton
melambangkan bahwa kemaluan mestilah ditutupi atau disembunyikan. Zaman sekarang,
banyak sekali pakel, kweni, ataupun beringin yang tak lagi dibetoni. Setelah
akil balig, setelah merasa memiliki keberanian, mereka tak segan-segan lagi
mengumbar semua. Kau lihat ibumu itu?...”
Dan,
kembali mengalirlah sampah-sampah itu dari mulut agung Bapak.
Kadangkala
aku merasa aneh dengan kehidupanku. Aku dilahirkan dari Bapak yang selalu
merasa dirinya sebagai cahaya dan Ibu yang selalu merasa dirinya penuh gelap.
Bagaimana dulu mereka bisa bersatu dan menghadirkan kami? Mungkin semua itu
terjadi dalam sebuah peristiwa yang sulit dan meyakitkan. Seperti ketika kau
berada di antara gelap dan terang secara bersamaan. Bisakah kau
membayangkannya?
“Kami
sudah berdamai dengan masa-masa pertengkaran, Nduk,” ujar Ibu suatu ketika.
Sesuatu hal yang sulit kubayangkan bagaimana alurnya.
“Kau
lihat para pedagang itu?” tutur Bapak sewaktu kami menyusuri Jalan Malioboro
hingga alun-alun Istana. “Mereka sebenarnya sedang bertengkar dengan kehidupan.
Tapi mereka sudah bisa berdamai dengan hal itu.”
Aku
masih hanya diam. Kesulitan mencerna.
“Karena
ada satu hal yang mereka perjuangkan,” suara Ibu dan Bapak berbaur jadi satu.
“Kalian,
anak-anakku…”
Ada
yang merembes ke dalam dadaku. Rasanya seperti air mata, tapi sejuk nian.*
(Adi Zamzam,
Solopos, Minggu 26 Februari 2017)
Ilustrasi diambil dari Pinterest.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar