Senin, 27 Februari 2017

Takdir dan Cinta



Takdir dan Cinta



Ibuku adalah lautan tak bertepi. Hilir segala keluh kesah kami anak-anaknya. Kami anak-anaknya adalah sungai-sungai kecil yang sering mengangkut berbagai sampah dan membuangnya ke lautan Ibu. Bahkan termasuk Bapak.
Kakakku, enggan sekolah, enggan bekerja, dan lebih memilih menjadi kelelawar Malioboro. Banyak sampah sering dibawanya pulang. Pernah digebuki preman karena merampas ladang mengamen orang. Pernah digaruk polisi karena mabuk cimeng. Puncaknya adalah ketika ditinggal pergi pacarnya, sampai-sampai kakakku benar-benar menjadi sampah yang mengotori rumah. Suatu hari tiba-tiba saja dia berubah menjadi banteng ketaton, membuat remuk dan pecah segala yang terjamah. Akhirnya kami terpaksa memborgol tangan kakinya dan lalu menyeretnya ke RSJ. Kini, tiap bulan ia harus rutin ke sana guna mengontrol perkembangan psikisnya. Siapa pula yang harus terperas jiwa raganya kalau bukan Ibu?

Bapakku adalah Werkudara yang sering menenggelamkan diri ke lautan tak kasatmata, mencari Dewa Ruci—meski beliau selalu mengingkari itu dengan segala serapahnya terhadap Ibu. Kata Bapak, ia menemukan kesejatian hidup justru bermula ketika Ibu mulai menggadaikan diri kepada kegelapan. Padahal keputusan Bapak melebur sebagai abdi dalem Keraton lah yang menurut kamusku terlalu sering menimbulkan gempa-gempa miris.
Sejak aku lulus SD dan menjadi bintang paling cemerlang, Bapak hanya diam, dan Ibulah yang mengayuh perahu menantang gelombang demiku. Pun ketika aku lulus SLTP dan menjadi komet yang mencengangkan banyak mata, Bapak pun hanya bilang terserah ibumu.
Kadang aku begitu benci Bapak yang telah menemukan Dewa Rucinya. Sebagai seorang pengageng, beliau hanya mendapat limabelas ribu per bulan. Beliau telah memberikan hidupnya kepada orang lain, sementara keluarganya Ibulah yang menghidupi. Kadang aku heran, bagaimana dulu Ibu bisa memilih Bapak?
“Dalam hidup kau harus punya tujuan, Nduk. Jika kau sudah yakin tujuan hidupmu ke mana, maka kejarlah,” ujar Bapak suatu ketika. Membuatku semakin limbung dalam kejengkelan yang aku sembunyikan. Bukankah beliau juga tahu, jer basuki mawa beya? Untuk meraih tujuan diperlukan biaya. Apa yang bisa aku harapkan dari lelaki itu? Apa aku harus memeras keringat Ibu lagi, sementara kedua adikku masih menggeliyut menyusu pula?
“Pengabdian adalah sesuatu yang tak bisa diukur dengan materi. Kau pun akan tahu nanti setelah mengalami,” ujaran itu seperti sebuah pembelaan Bapak atas pilihan hidup yang diambilnya.
Berbilang waktu aku coba memahami apa yang dimaksud Bapak dengan pengabdian itu. Menyaksikan senyumnya yang mengembang penuh kebahagiaan sehabis mementaskan lakon Dewa Ruci di Bangsal Magangan atau juga Bangsal Kencana. Kebanggaan yang diburunya adalah ketika Sultan memuji-mujinya sebagai kebanggaan Keraton.
“Kau lihat siapa para tamu itu tadi, Nduk? Beliau-beliau adalah para pembesar negeri ini. Bapak diperkenankan mengajarkan sesuatu kepada orang-orang besar itu. Kebahagiaan Bapak tak bisa diukur dengan uang.”
Tapi Bapak tak bisa mengajarkan sesuatu yang kau anggap agung itu kepada anak sendiri, sergahku dalam diam. Tak sadarkah Bapak jadi apa Kak Manyu sekarang? Sehelai bulu yang diombang-ambing angin. Menurutku, Ibulah yang sejatinya mengajari kami sesuatu. Kesabaran seluas laut, kekayaan sedalam laut, kekuatan yang tak pernah habis bak gelombang laut yang tak pernah henti. Meski di mata Bapak Ibu adalah tempat segala sampah yang patut dicaci maki!
*          *          *

Sarkem, itulah tempat yang selalu dilaknat Bapak dan dianggapnya sebagai penyebab tak langsung kerusakan Kak Manyu. Konon, tempat itu telah menjadi Pasar Kembang yang dipenuhi kupu-kupu malam sejak 125 tahun silam. Seiring dengan proses pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan Kota Suci[1] dengan Batavia, Bogor, Cianjur, Cilacap, dan Surabaya.
Namun tidak buatku. Bagiku, Sarkem adalah tempat lautanku berada. Tempat di mana setiap hari aku mencecap susu kehidupan. Tempat aku menemukan sebuah mutiara termahal; seorang ibu akan lebih merelakan dirinya dimangsa gelap demi hidup anak-anaknya daripada seorang bapak yang seringnya lebih suka mencari-cari kesenangannya sendiri.
“Kau akan meneruskan sekolah ke Jakarta?”
“Aku dapat beasiswa, Ibu.”
“Bagus, Ibu bangga dan akan selalu mendukungmu.”
“Tapi hanya sekadar bea pendidikannya. Untuk biaya hidup aku harus mengaisnya sendiri, Ibu.”
“Raihlah apa yang kamu impikan. Ibu akan membantumu dari sini. Selama ini kau sudah lihat Ibu kan? Ibu saja bisa menghidupi kalian, kenapa kau mesti khawatir tak bisa menghidupi diri sendiri?”
Setitik embun menyejukkan harapanku. Namun beberapa detik kemudian serasa ada yang mencekat tenggorokanku.
Kok wajahmu layu begitu?”
Bagaimana aku tak layu, Ibu? Berapa lama lagi aku harus menjadi taliputri di rerantingmu? Sampai kapan kau sanggup bertahan merelakan mahkotamu dicabik-cabik ribuan kumbang jalang demi menghidupi keempat bijimu yang belum tentu menjelma pohon kelak?
“Kau ragu dengan ucapan Ibu?”
Aku menggeleng. Aku tak pernah meragukan lautan kasih sayangmu, Ibu.
“Dengar, saat ini Ibu tak bisa mengharapkan kakakmu lagi. Cuma kaulah satu-satunya harapan Ibu. Ibu tak pernah meremehkanmu meski kau seorang perempuan.”
Dadaku bergetar hebat. Cuma aku? Takkah Ibu berharap pada Bapak untuk kembali ke jasad wadag Bima perkasa yang mampu mengayomi seluruh keluarganya? Inikah penyebab Ibu merelakan diri dimangsa gelap? Ibu rela menjadi tumbal kehidupan kami, sementara Bapak lebih asyik bercinta dengan Dewa Rucinya sebagai abdi dalem Keraton?
*          *          *

Betapa sumringahnya wajah lelaki itu sepulangnya dari Bangsal Ksatriyan. Tanpa kupinta, beliau berceloteh sendiri dengan riangnya bahwa surat kekancingan[2] yang kemarin datang kepadanya adalah berkah dari Keraton. Ngarsa Dalem menganugerahinya gelar Kanjeng Pangeran Haryo.
Namun tak ada pesta untuk itu. Selalu tak ada pesta untuk kebahagiaan Bapak. Hidup kami memang bukan bersumber dari pengabdian Bapak. Hidup kami bersumber dari kerelaan Ibu menerima segala serapah termasuk dari mulut Bapak sendiri. Yang ada paling khotbah-khotbah menjemukan yang tak pernah membuat perut kami kenyang.
“Ayo, Nduk,” Bapak menyuruhku gegas. Malas kulangkahkan kaki mengikuti Bapak ke alun-alun Keraton bagian Selatan.
“Perhatikanlah lapangan itu,” sepertinya Dewa Ruci mulai merasuki Bapak lagi.
Jujur, aku lebih suka memandangi hamparan langit biru daripada harus mengunyah ujaran-ujaran Bapak.
“Lapangan itu dikelilingi pakel dan kweni. Di tengah-tengahnya berjajar sepasang pohon beringin yang bagian atasnya dipangkas. Semua pohon-pohon itu dikelilingi pagar beton. Semua itu memang sengaja diatur sedemikian rupa, Nduk. Tak cuma alun-alun bagian Selatan ini, tapi seluruh tatanan Keraton juga. Semuanya memiliki makna simbolis. Sebenarnya Ngarsa dalem ingin mengajari nilai-nilai luhur untuk semua rakyatnya.”
Apakah semua itu bisa mengenyangkan perut kami, Pak?
“Pakel melambangkan akil balig atau kedewasaan. Kweni melambangkan wani atau keberanian. Beringin kembar itu melambangkan kemaluan yang sudah disunat. Sedangkan pagar beton melambangkan bahwa kemaluan mestilah ditutupi atau disembunyikan. Zaman sekarang, banyak sekali pakel, kweni, ataupun beringin yang tak lagi dibetoni. Setelah akil balig, setelah merasa memiliki keberanian, mereka tak segan-segan lagi mengumbar semua. Kau lihat ibumu itu?...”
Dan, kembali mengalirlah sampah-sampah itu dari mulut agung Bapak.
Kadangkala aku merasa aneh dengan kehidupanku. Aku dilahirkan dari Bapak yang selalu merasa dirinya sebagai cahaya dan Ibu yang selalu merasa dirinya penuh gelap. Bagaimana dulu mereka bisa bersatu dan menghadirkan kami? Mungkin semua itu terjadi dalam sebuah peristiwa yang sulit dan meyakitkan. Seperti ketika kau berada di antara gelap dan terang secara bersamaan. Bisakah kau membayangkannya?
“Kami sudah berdamai dengan masa-masa pertengkaran, Nduk,” ujar Ibu suatu ketika. Sesuatu hal yang sulit kubayangkan bagaimana alurnya.
“Kau lihat para pedagang itu?” tutur Bapak sewaktu kami menyusuri Jalan Malioboro hingga alun-alun Istana. “Mereka sebenarnya sedang bertengkar dengan kehidupan. Tapi mereka sudah bisa berdamai dengan hal itu.”
Aku masih hanya diam. Kesulitan mencerna.
“Karena ada satu hal yang mereka perjuangkan,” suara Ibu dan Bapak berbaur jadi satu.
“Kalian, anak-anakku…”
Ada yang merembes ke dalam dadaku. Rasanya seperti air mata, tapi sejuk nian.*


(Adi Zamzam, Solopos, Minggu 26 Februari 2017)
Ilustrasi diambil dari Pinterest.


[1] Kota Gede
[2] Surat keputusan pengangkatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar