Selasa, 21 Februari 2017

Kesatria Kuda Terbang



Kesatria Kuda Terbang



“Lihat, ada kuda terbang di atas sana!”
Kami yang berada dalam warung spontan berhamburan keluar.
“Cuma yang punya rabun mata yang tak bisa melihatnya!” seru lelaki itu lagi. Membuat kami yang sudah telanjur keluar warung acuh dari tawa.
 “Ya Tuhan, betapa warnanya bak cahaya!!” seru seorang pemuda sembari menunjuk ke arah langit. Membuat kedua mataku menyipit ke arah awan-gemawan. Orang-orang yang masih bertahan dalam toko akhirnya tak dapat menahan rasa penasaran.
“Ini benar-benar anugerah besar,” sahut lelaki itu. Sosok yang kemudian menyembulkan tanya dalam benakku. Dia jelas bukan salah seorang warga desaku.

Kedua mataku tak ayal kembali tertuju ke langit begitu suara lain tak mau kalah. “Kenapa dia tak mau terbang mendekat ya?”, “Kenapa dia hanya berputar-putar jauh di atas sana?”, “Sebelum kejadian ini, aku benar-benar tak percaya kuda terbang itu ada.”, “Aku kira kuda terbang itu hanyalah hewan khayalan dalam dongeng-dongeng.”
Bahkan hingga kuda terbang telah pergi, orang-orang masih ramai membicarakannya. Entah bagaimana orang-orang itu bisa bercerita sedemikian rupa?
*             *          *

Hari-hari berikutnya orang-orang mulai ramai membicarakan siapa itu Mahasula. Apa saja jasa yang telah diperbuatnya, dan terutama tentang kelayakannya menggantikan posisi presiden yang sekarang. Nama orang itu populer setelah beberapa kali kedatangan orang-orang yang kerap membagi-bagikan bantuan di desa kami.
Kepopuleran Mahasula terus mengharum di atas berita-berita kebusukan presiden sekarang. Bahkan nama itu selalu saja dikait-kaitkan dengan kemunculan kesatria kuda terbang. Ada yang mulai percaya bahwa Mahasula adalah calon kesatria terpilih yang akan merubah kondisi negeri kami.
Kupikir hanya diriku seorang yang mengalami suasana buruk seperti itu. Sampai suatu ketika aku dipertemukan nasib dengan Bongkarlah, istri Bankor yang telah meninggal empat tahun silam. Kami bertemu secara tidak sengaja. Ia sering menarik diri tiap kali orang-orang ramai membicarakan Mahasula. Wajahnya selalu murung setiap nama Mahasula mengharum oleh aneka puji dan sanjungan orang-orang. Di pasar, kios kami bertetangga. Mula-mula ia memang menyembunyikan ceritanya. Namun perlahan, ia pun rela membuka masa lalu di hadapanku. Aku hampir tak percaya jikalau dia memendam cerita sekelam itu.
“Kami dulu tinggal di desa di mana orang itu juga tinggal di sana. Kami memiliki dua petak sawah yang menjadi penopang hidup kami. Sampai suatu ketika sawah kami itu puso dan tak menjanjikan apa-apa lagi.”
 “Mula-mula satu lahan jatuh ke tangannya. Lalu satu per satu sawah-sawah itu jatuh ke tangannya, dengan berbagai cara.”
“Lalu, bagaimana dengan… kematian suamimu?” tanyaku halus, tak nyaman membuka luka yang sudah tertimbun waktu.
“Dia terlalu mencampuri urusan adiknya. Adiknya memiliki utang dengan orang itu. Aku curiga dia mati dibunuh, entah dengan cara apa. Tapi aku tak mau mayatnya jadi bahan perbincangan seisi desa. Akhirnya aku pindah ke sini setelah menjual sawah kami ke orang lain,” dia mengakhiri ceritanya.
Cerita sedih itu terpendam di bawah riuhnya berita-berita harum tentang segala tindak-tanduk Mahasula.
Pikiranku menjadi buruk karenanya. Bagaimana jika ternyata benar, sosok Mahasula tak persis seperti yang mereka sangka?
Bah, kenapa aku sampai berpikir sejauh itu? Aku hanyalah seorang ibu rumahtangga biasa. Musuh utamaku adalah saat harga-harga kebutuhan pokok berebut naik mengistimewakan diri. Juga tentang soal bagaimana mengasuh anak-anakku di tengah pergaulan yang semakin bebas tanpa aturan.
Belakangan ini suasana desaku memang kerap membuat mual. Entah bagaimana mereka bisa terpengaruh dengan cerita tentang kuda terbang itu. Bahwa konon akan muncul seorang kesatria yang bakal merubah keadaan negeri kami.
*          *          *

“Kuda terbang? Aku tidak melihatnya. Aku di sana waktu itu,” ujarku ketika mualku tak tertahan lagi.
Orang-orang yang berjubel dalam toko itu seketika menoleh. Keriuhan  membicarakan kuda terbang itu seketika terhenti.
“Itu berarti kau sakit mata, ha-ha-ha,” celetuk seorang lelaki paruh baya. Yang kemudian disusul celetukan-celetukan lain yang memojokkan.
 “Apa kau berani bersumpah demi Tuhan bahwa kau benar-benar melihat kuda terbang itu?” tantangku, yang langsung bersambut dengan bantahan-bantahan dari yang lain.
“Sudah-sudah, jangan layani orang yang sakit mata,” lelaki itu berlagak melerai padahal aku yakin bahwa ia hanya latah.
Betapa jengkel setengah mati. Baik kepada orang-orang itu maupun kepada diriku sendiri. Ketika kusuarakan penglihatanku di tempat-tempat lain pun semua orang masih tak percaya dan selalu menuduhku sakit mata. Dunia benar-benar sudah gila!*



Kalinyamatan – Jepara, Desember 2013-2016
Terinspirasi oleh sebuah cerita rakyat dari China.








Adi Zamzam, Kedaulatan Rakyat, Minggu 12 February 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar