Kesatria Kuda Terbang
“Lihat, ada kuda terbang di atas sana!”
Kami yang berada dalam warung spontan berhamburan keluar.
“Cuma yang punya rabun mata yang tak bisa melihatnya!” seru lelaki itu
lagi. Membuat kami yang sudah telanjur keluar warung acuh dari tawa.
“Ya Tuhan, betapa warnanya bak
cahaya!!” seru seorang pemuda sembari menunjuk ke arah langit. Membuat kedua
mataku menyipit ke arah awan-gemawan. Orang-orang yang masih bertahan dalam
toko akhirnya tak dapat menahan rasa penasaran.
“Ini benar-benar anugerah besar,” sahut lelaki itu. Sosok yang kemudian
menyembulkan tanya dalam benakku. Dia jelas bukan salah seorang warga desaku.
Kedua mataku tak ayal kembali tertuju ke langit begitu suara lain tak mau
kalah. “Kenapa dia tak mau terbang mendekat ya?”, “Kenapa dia hanya
berputar-putar jauh di atas sana?”,
“Sebelum kejadian ini, aku benar-benar tak percaya kuda terbang itu ada.”, “Aku
kira kuda terbang itu hanyalah hewan khayalan dalam dongeng-dongeng.”
Bahkan hingga kuda terbang telah pergi, orang-orang masih ramai
membicarakannya. Entah bagaimana orang-orang itu bisa bercerita sedemikian
rupa?
* * *
Hari-hari berikutnya orang-orang mulai ramai membicarakan siapa itu
Mahasula. Apa saja jasa yang telah diperbuatnya, dan terutama tentang
kelayakannya menggantikan posisi presiden yang sekarang. Nama orang itu populer
setelah beberapa kali kedatangan orang-orang yang kerap membagi-bagikan bantuan
di desa kami.
Kepopuleran Mahasula terus mengharum di atas berita-berita kebusukan
presiden sekarang. Bahkan nama itu selalu saja dikait-kaitkan dengan kemunculan
kesatria kuda terbang. Ada
yang mulai percaya bahwa Mahasula adalah calon kesatria terpilih yang akan
merubah kondisi negeri kami.
Kupikir hanya diriku seorang yang mengalami suasana buruk seperti itu.
Sampai suatu ketika aku dipertemukan nasib dengan Bongkarlah, istri Bankor yang
telah meninggal empat tahun silam. Kami bertemu secara tidak sengaja. Ia sering
menarik diri tiap kali orang-orang ramai membicarakan Mahasula. Wajahnya selalu
murung setiap nama Mahasula mengharum oleh aneka puji dan sanjungan
orang-orang. Di pasar, kios kami bertetangga. Mula-mula ia memang
menyembunyikan ceritanya. Namun perlahan, ia pun rela membuka masa lalu di
hadapanku. Aku hampir tak percaya jikalau dia memendam cerita sekelam itu.
“Kami dulu tinggal di desa di mana orang itu juga tinggal di sana. Kami memiliki dua
petak sawah yang menjadi penopang hidup kami. Sampai suatu ketika sawah kami
itu puso dan tak menjanjikan apa-apa lagi.”
“Mula-mula satu lahan jatuh ke
tangannya. Lalu satu per satu sawah-sawah itu jatuh ke tangannya, dengan
berbagai cara.”
“Lalu, bagaimana dengan… kematian suamimu?” tanyaku halus, tak nyaman
membuka luka yang sudah tertimbun waktu.
“Dia terlalu mencampuri urusan adiknya. Adiknya memiliki utang dengan
orang itu. Aku curiga dia mati dibunuh, entah dengan cara apa. Tapi aku tak mau
mayatnya jadi bahan perbincangan seisi desa. Akhirnya aku pindah ke sini
setelah menjual sawah kami ke orang lain,” dia mengakhiri ceritanya.
Cerita sedih itu terpendam di bawah riuhnya berita-berita harum tentang
segala tindak-tanduk Mahasula.
Pikiranku menjadi buruk karenanya. Bagaimana jika ternyata benar, sosok
Mahasula tak persis seperti yang mereka sangka?
Bah, kenapa aku sampai berpikir sejauh itu? Aku hanyalah seorang ibu
rumahtangga biasa. Musuh utamaku adalah saat harga-harga kebutuhan pokok
berebut naik mengistimewakan diri. Juga tentang soal bagaimana mengasuh
anak-anakku di tengah pergaulan yang semakin bebas tanpa aturan.
Belakangan ini suasana desaku memang kerap membuat mual. Entah bagaimana
mereka bisa terpengaruh dengan cerita tentang kuda terbang itu. Bahwa konon
akan muncul seorang kesatria yang bakal merubah keadaan negeri kami.
* * *
“Kuda terbang? Aku tidak melihatnya. Aku di sana waktu itu,” ujarku ketika mualku tak
tertahan lagi.
Orang-orang yang berjubel dalam toko itu seketika menoleh. Keriuhan membicarakan kuda terbang itu seketika
terhenti.
“Itu berarti kau sakit mata, ha-ha-ha,” celetuk seorang lelaki paruh baya.
Yang kemudian disusul celetukan-celetukan lain yang memojokkan.
“Apa kau berani bersumpah demi
Tuhan bahwa kau benar-benar melihat kuda terbang itu?” tantangku, yang langsung
bersambut dengan bantahan-bantahan dari yang lain.
“Sudah-sudah, jangan layani orang yang sakit mata,” lelaki itu berlagak
melerai padahal aku yakin bahwa ia hanya latah.
Betapa jengkel setengah mati. Baik kepada orang-orang itu maupun kepada
diriku sendiri. Ketika kusuarakan penglihatanku di tempat-tempat lain pun semua
orang masih tak percaya dan selalu menuduhku sakit mata. Dunia benar-benar
sudah gila!*
Kalinyamatan – Jepara, Desember 2013-2016
Terinspirasi oleh sebuah cerita rakyat dari China.
Adi Zamzam, Kedaulatan Rakyat, Minggu 12 February 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar