Psikologi
Bahasa
Pernahkah kita memikirkan
perihal; ‘Bahasakah yang memengaruhi psikologi kita, ataukah sebaliknya? bahwa
kondisi psikologi akan sangat memengaruhi bahasa kita?’
Dalam kajian sosiolinguistik, bahasa
dipandang sebagai bagian dari tingkah laku sosial (social behavior) yang dipakai dalam komunikasi. Lantaran masyarakat
terdiri dari kelompok kecil-kelompok kecil atau subjek terkecilnya adalah
individu manusia itu sendiri, sistem interaksi ini jelas turut memengaruhi pola
bahasa mereka, yang mana di dalamnya terdapat konflik, lobi-lobi, akomodasi,
penyerapan, penolakan, dsb. Dari berbagai jenis sistem interaksi inilah kita
bisa merasakan psikologi masyarakat/subjek penutur dari bahasa komunikasi yang
berkembang di dalamnya.
Sebagai misal, bisa kita
perhatikan bahasa yang dibuat oleh sekelompok waria dan copet yang bertumbuh di Ibukota pada
kurun tahun 80 dan 90an. Anda mungkin pernah mendengar bahasa kelompok waria
yang menggunakan ‘rumus pembentukan’ dengan menyisipkan suku kata ‘fa’ dalam
setiap penggalan suku kata; kafamufu cafantifik sefekafalifi. Atau bahasa
kelompok copet yang mengganti sejumlah kosakata dengan simbol-simbol bentukan
mereka sendiri. ‘Mangsa’ diganti dengan kata ‘tabungan’, ‘polisi’ diganti
dengan kata ‘pentungan’, ‘melarikan diri’ diganti dengan kata ‘kaki seribu’,
dsb. Ada dugaan—sebelum kemudian menjadi populer, bahwa bahasa tersebut awal
mulanya dipakai intern, hanya antar kelompok mereka sendiri, agar tidak
diketahui khalayak.
Sifat keekslusifan bahasa semacam
itu menggambarkan bahwa subjek penutur terkesan menyadari eksistensi mereka
yang berbeda dari khalayak umum. Ada semacam perasaan inferioritas yang
mendorong untuk membuat sistem komunikasi yang berbeda, tak umum, dan praktis.
Bayangkan jika di dalam bus ada sepasang copet yang memberi kode kepada
rekannya dengan mengujarkan kata ‘polisi’, sungguh akan lebih aman jika dia
cukup memberi kode dengan kata atau simbol ‘pentungan’, dan lalu diam-diam
beringsut turun dari dalam bus.
Dalam tataran sosiolinguistik
mikro, sifat keekslusifan semacam itu hampir serupa dengan ragam ‘dialek’ yang
memecah-mecah bahasa ke dalam kelompok kecil. Akan tetapi kita tidak bisa serta
merta menyebutnya sebagai dialek waria atau dialek copet lantaran bahasa ini
tidak terpancang letak geografi sebagaimana ragam dialek yang menjadi satelit
bagi bahasa utamanya. Sumarsono (Pustaka Pelajar; 2002) menyebut ada ciri
penting dari sebuah ragam dialek, yakni adanya kesalingmengertian (mutual intelligible). Pemakai suatu dialek bisa mengerti dialek lain selama
masih berada dalam lingkaran ‘bahasa ibu’ mereka. Ragam dialek tidak dibatasi
kondisi psikologis dari subjek penutur, melainkan dipengaruhi oleh letak serta
kondisi geografi tertentu. Sementara kedua ragam bahasa di atas dibuat justru lantaran
memiliki maksud dan dalam situasi kondisi psikologi tertentu. Subjek penutur
merasa perlu menggunakan bahasa tersebut demi membedakan diri sekaligus
menyatakan penolakan terhadap dominasi sosial di sekitarnya.
Apakah kedua ragam bahasa di atas
bisa juga disebut sebagai bahasa yang sudah berdiri sendiri? Hal itu masih
belum memenuhi syarat juga lantaran kedua bahasa tersebut sifatnya hanya
menganeksasi dari bahasa ibu. Atas situasi dan kondisi tertentulah bahasa
tersebut kemudian dibuat. Tampaknya, kondisi psikologi memang turut menjadi
faktor pembentukan sebuah ragam bahasa.
Belakangan, hal itu juga bisa
kita perhatikan pada keekslusifan bahasa ‘kelompok tertentu’ yang menganeksasi
bahasa agama. Kata ‘jihad’ yang pada
mulanya bermakna ‘berjuang; bersungguh-sungguh’ bisa berubah menjadi ‘perang’.
‘Thaghut’ yang pada mulanya bermakna
nama sebuah berhala kemudian bisa diasosiasikan kepada sebuah pemerintahan yang
(dianggap) tak mampu menerapkan tata pemerintahan ideal yang seperti dalam
anggapan kelompok tersebut. Hal tersebut bisa terjadi lantaran kondisi
psikologi kelompok ini menganggap bahwa kita berada dalam situasi darurat
perang. Bahasa agama yang semula berkonotasi ke hal-hal damai kemudian dapat
berbelok menjadi berbau kekerasan.
Kita juga bisa memungut kata ‘kafir’ yang ketika di masa revolusi
perjuangan kemerdekaan diasosiasikan kepada kelompok penjajah yang tak
berperikemanusiaan dan (hampir) tindakannya tak mengenal agama. Namun situasi
psikologi kata tersebut menjadi tak relevan lagi jika ‘ditudingkan’ kepada
pemeluk agama lain yang tak seiman di masa sekarang. Meski pemeluk agama lain
(dalam pandangan Islam) memang masuk dalam salah satu kategori ‘kafir’, tapi implikasinya dalam tataran
psikologi komunikasi bisa menimbulkan efek tertentu yang seharusnya bisa
dihindari.
Demikian juga kata ‘monyet’ (kera
berbulu) atau ‘anjing’ (mamalia penjaga rumah yang kadang bersifat galak), bisa
berubah maknanya juga jika digunakan dalam sebuah umpatan, “monyet, lu!”,
“dasar anjing!”. Kata tersebut bahkan bisa berubah menjadi penanda rasis jika
ditudingkan ke subjek individu dalam konteks hinaan. Pengasosiasian terhadap
subjek yang lebih rendah otomatis juga membawa pesan serupa. Kita perlu ingat
sekali lagi, bahasa hanya sekadar alat. Dan alat, tergantung dengan si
pemakainya.
Tampaknya, untuk menjawab
pertanyaan yang tertera di awal tulisan ini ibarat menjawab apakah ayam ataukah
telur duluan yang diciptakan Tuhan. Pada satu fase kondisi psikologi penutur
akan turut memengaruhi bahasa yang mereka pakai, namun pada fase lainnya justru
bahasalah yang memengaruhi sang penutur.
Pada sebuah transaksi jual beli,
untuk menyatakan maksud membeli baju, sang pembeli akan mengeluarkan kalimat
penawaran. Namun, di episode berikutnya si pedagang bisa saja mengusir sang
pembeli saat mendapatkan respons penghinaan atas barang dagangannya. Dalam
tataran itu, koneksi antara bahasa dan kondisi psikologi masing-masing penutur
menjadi saling berkait dan tak bisa diurai. Maka tepatlah nasihat Sayyidina
Umar Ra.; Aku tidak pernah sekalipun menyesali diamku tetapi aku berkali-kali
menyesali bicaraku. Sebab, kita atau bahasa kah yang menjadi tuannya?*
Nur Hadi, Lampung Post, Jum'at 6 September 2019.
Gambar Juan Miro via Pinterest.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar