Selasa, 05 November 2019

Psikologi Bahasa


Psikologi Bahasa



Pernahkah kita memikirkan perihal; ‘Bahasakah yang memengaruhi psikologi kita, ataukah sebaliknya? bahwa kondisi psikologi akan sangat memengaruhi bahasa kita?’

Dalam kajian sosiolinguistik, bahasa dipandang sebagai bagian dari tingkah laku sosial (social behavior) yang dipakai dalam komunikasi. Lantaran masyarakat terdiri dari kelompok kecil-kelompok kecil atau subjek terkecilnya adalah individu manusia itu sendiri, sistem interaksi ini jelas turut memengaruhi pola bahasa mereka, yang mana di dalamnya terdapat konflik, lobi-lobi, akomodasi, penyerapan, penolakan, dsb. Dari berbagai jenis sistem interaksi inilah kita bisa merasakan psikologi masyarakat/subjek penutur dari bahasa komunikasi yang berkembang di dalamnya.
Sebagai misal, bisa kita perhatikan bahasa yang dibuat oleh sekelompok  waria dan copet yang bertumbuh di Ibukota pada kurun tahun 80 dan 90an. Anda mungkin pernah mendengar bahasa kelompok waria yang menggunakan ‘rumus pembentukan’ dengan menyisipkan suku kata ‘fa’ dalam setiap penggalan suku kata; kafamufu cafantifik sefekafalifi. Atau bahasa kelompok copet yang mengganti sejumlah kosakata dengan simbol-simbol bentukan mereka sendiri. ‘Mangsa’ diganti dengan kata ‘tabungan’, ‘polisi’ diganti dengan kata ‘pentungan’, ‘melarikan diri’ diganti dengan kata ‘kaki seribu’, dsb. Ada dugaan—sebelum kemudian menjadi populer, bahwa bahasa tersebut awal mulanya dipakai intern, hanya antar kelompok mereka sendiri, agar tidak diketahui khalayak.
Sifat keekslusifan bahasa semacam itu menggambarkan bahwa subjek penutur terkesan menyadari eksistensi mereka yang berbeda dari khalayak umum. Ada semacam perasaan inferioritas yang mendorong untuk membuat sistem komunikasi yang berbeda, tak umum, dan praktis. Bayangkan jika di dalam bus ada sepasang copet yang memberi kode kepada rekannya dengan mengujarkan kata ‘polisi’, sungguh akan lebih aman jika dia cukup memberi kode dengan kata atau simbol ‘pentungan’, dan lalu diam-diam beringsut turun dari dalam bus.
Dalam tataran sosiolinguistik mikro, sifat keekslusifan semacam itu hampir serupa dengan ragam ‘dialek’ yang memecah-mecah bahasa ke dalam kelompok kecil. Akan tetapi kita tidak bisa serta merta menyebutnya sebagai dialek waria atau dialek copet lantaran bahasa ini tidak terpancang letak geografi sebagaimana ragam dialek yang menjadi satelit bagi bahasa utamanya. Sumarsono (Pustaka Pelajar; 2002) menyebut ada ciri penting dari sebuah ragam dialek, yakni adanya kesalingmengertian (mutual intelligible). Pemakai suatu dialek bisa mengerti dialek lain selama masih berada dalam lingkaran ‘bahasa ibu’ mereka. Ragam dialek tidak dibatasi kondisi psikologis dari subjek penutur, melainkan dipengaruhi oleh letak serta kondisi geografi tertentu. Sementara kedua ragam bahasa di atas dibuat justru lantaran memiliki maksud dan dalam situasi kondisi psikologi tertentu. Subjek penutur merasa perlu menggunakan bahasa tersebut demi membedakan diri sekaligus menyatakan penolakan terhadap dominasi sosial di sekitarnya.
Apakah kedua ragam bahasa di atas bisa juga disebut sebagai bahasa yang sudah berdiri sendiri? Hal itu masih belum memenuhi syarat juga lantaran kedua bahasa tersebut sifatnya hanya menganeksasi dari bahasa ibu. Atas situasi dan kondisi tertentulah bahasa tersebut kemudian dibuat. Tampaknya, kondisi psikologi memang turut menjadi faktor pembentukan sebuah ragam bahasa.
Belakangan, hal itu juga bisa kita perhatikan pada keekslusifan bahasa ‘kelompok tertentu’ yang menganeksasi bahasa agama. Kata ‘jihad’ yang pada mulanya bermakna ‘berjuang; bersungguh-sungguh’ bisa berubah menjadi ‘perang’. ‘Thaghut’ yang pada mulanya bermakna nama sebuah berhala kemudian bisa diasosiasikan kepada sebuah pemerintahan yang (dianggap) tak mampu menerapkan tata pemerintahan ideal yang seperti dalam anggapan kelompok tersebut. Hal tersebut bisa terjadi lantaran kondisi psikologi kelompok ini menganggap bahwa kita berada dalam situasi darurat perang. Bahasa agama yang semula berkonotasi ke hal-hal damai kemudian dapat berbelok menjadi berbau kekerasan.
Kita juga bisa memungut kata ‘kafir’ yang ketika di masa revolusi perjuangan kemerdekaan diasosiasikan kepada kelompok penjajah yang tak berperikemanusiaan dan (hampir) tindakannya tak mengenal agama. Namun situasi psikologi kata tersebut menjadi tak relevan lagi jika ‘ditudingkan’ kepada pemeluk agama lain yang tak seiman di masa sekarang. Meski pemeluk agama lain (dalam pandangan Islam) memang masuk dalam salah satu kategori ‘kafir’, tapi implikasinya dalam tataran psikologi komunikasi bisa menimbulkan efek tertentu yang seharusnya bisa dihindari.
Demikian juga kata ‘monyet’ (kera berbulu) atau ‘anjing’ (mamalia penjaga rumah yang kadang bersifat galak), bisa berubah maknanya juga jika digunakan dalam sebuah umpatan, “monyet, lu!”, “dasar anjing!”. Kata tersebut bahkan bisa berubah menjadi penanda rasis jika ditudingkan ke subjek individu dalam konteks hinaan. Pengasosiasian terhadap subjek yang lebih rendah otomatis juga membawa pesan serupa. Kita perlu ingat sekali lagi, bahasa hanya sekadar alat. Dan alat, tergantung dengan si pemakainya.
Tampaknya, untuk menjawab pertanyaan yang tertera di awal tulisan ini ibarat menjawab apakah ayam ataukah telur duluan yang diciptakan Tuhan. Pada satu fase kondisi psikologi penutur akan turut memengaruhi bahasa yang mereka pakai, namun pada fase lainnya justru bahasalah yang memengaruhi sang penutur.
Pada sebuah transaksi jual beli, untuk menyatakan maksud membeli baju, sang pembeli akan mengeluarkan kalimat penawaran. Namun, di episode berikutnya si pedagang bisa saja mengusir sang pembeli saat mendapatkan respons penghinaan atas barang dagangannya. Dalam tataran itu, koneksi antara bahasa dan kondisi psikologi masing-masing penutur menjadi saling berkait dan tak bisa diurai. Maka tepatlah nasihat Sayyidina Umar Ra.; Aku tidak pernah sekalipun menyesali diamku tetapi aku berkali-kali menyesali bicaraku. Sebab, kita atau bahasa kah yang menjadi tuannya?*


Nur Hadi, Lampung Post, Jum'at 6 September 2019.
Gambar Juan Miro via Pinterest.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar